Menonton film di bioskop menjadi hiburan utama bagi anak muda. Lihat saja, setiap malam Minggu, hampir semua bioskop di mal ramai.
Oleh
·4 menit baca
Menonton film di bioskop menjadi hiburan utama bagi anak muda. Lihat saja, setiap malam Minggu, hampir semua bioskop di mal ramai. Proses menonton di bioskop konvensional sama: membeli tiket sesuai dengan film dan jam tayang yang tersedia, masuk ke studio yang ditentukan, kemudian duduk bersama puluhan hingga ratusan penonton yang lain. Apakah ada cara lain menonton film? Bioskop alternatif jawabannya!
Bioskop alternatif menjamur di Jakarta, tetapi eksistensinya belum terekspos secara luas sehingga belum banyak anak muda yang tahu dan datang berkunjung. Keunikan bioskop alternatif terletak pada jenis film yang diputar. Bioskop alternatif yang mengapresiasi film dengan nilai seni yang tinggi sering kali kurang peminat sehingga kebanyakan tidak bertahan lama. Film seperti itu juga tidak ditayangkan sama sekali di bioskop komersial.
Bioskop rasa rumah
Salah satu bentuk bioskop alternatif adalah bioskop mini yang terletak di lantai bawah (basement) Mal Dharmawangsa Square, Subtitles. Pemilik Subtitles, Riko, membuka bioskop mini ini dengan memutarkan koleksi DVD miliknya yang berjumlah sekitar 4.000 judul. Koleksi film bioskop mini ini beragam, mulai dari film yang masih berwarna hitam dan putih seperti Charlie Chaplin hingga film zaman sekarang, seperti Avengers: Infinity War. Genrenya pun lengkap, mulai dari drama, horor, hingga laga. ”Ini filmnya original semua. Kebanyakan didapat dari luar negeri,” ujar Imam Hambali, karyawan Subtitles yang sudah bekerja selama empat tahun.
Kalau mau menonton di bioskop ini, bisa menyewa studio dan memilih sendiri film yang ingin ditonton di salah satu dari empat studio yang disediakan. Setiap studio yang hanya cukup untuk kapasitas delapan orang itu diberi nama sutradara-sutradara legendaris, yaitu Kurosawa, Kubrick, Fellini, dan Kiarostami.
Di dalam studio tersedia sofa, bantal, selimut, dan telepon yang bisa digunakan jika perlu bantuan atau ingin memesan makanan. Selain studio, juga ada kafe dan tempat untuk menjual merchandise atau cindera mata film. Beberapa koleksi DVD di sini juga bisa kita beli.
Untuk memilih film, tersedia tablet sebagai directory yang membantu melihat ketersediaan film yang ingin ditonton kemudian akan diambilkan DVD-nya oleh karyawan. Bioskop Subtitles buka setiap hari dengan harga sewa satu studio durasi 2 jam sebesar Rp 185.000 untuk hari kerja (Senin-Kamis) dan Rp 240.000 untuk akhir pekan (Jumat-Minggu). Bioskop ini memberikan harga spesial untuk sesi pertama pada hari kerja, yaitu Rp 150.000 jika Anda reservasi pada pukul 10.00. Walaupun letak bioskop mini ini tersembunyi, Subtitles selalu ramai pengunjung, loh!
”Setiap hari pasti ada pengunjung, tapi yang paling ramai itu hari Jumat dan Sabtu,” tutur Imam.
Menginspirasi
Selain Subtitles, ada lagi bioskop alternatif lain yang keren, yakni Sinema Sang Akar, di Tebet Barat, Jakarta Selatan. Bioskop yang mengadakan pemutaran film rutin setiap Sabtu dan Minggu ini unik karena memiliki entitas lain selain bioskop, yaitu ruang rekaman dan studio kopi.
Tak hanya pada Sabtu dan Minggu, Sinema Sang Akar juga bisa dipesan di hari lain. Mereka tidak menyediakan filmnya, mereka hanya menyewakan ruangan bioskop. Harganya Rp 600.000 per tiga jam untuk sewa ruangan, dan untuk screening Rp 30.000 per film. Harga tersebut cukup terjangkau untuk mahasiswa yang merupakan segmen utama Sinema Sang Akar.
Menurut Petra Paramita selaku pemrogram Sinema Sang Akar, jumlah penonton yang datang ke pemutaran film sering tidak terduga. ”Audience sangat tidak bisa diduga, seperti saat memutar Laut Bercerita, selalu full house,” ujarnya.
”Ada juga film yang dikira bagus, ternyata penonton yang datang enggak terlalu banyak. Kebanyakan penonton masih sekitar anak kuliahan. Tapi tergantung filmnya juga, sih. Seperti filmnya Mas Hanung itu (Sultan Agung) banyak ibu ibu yang nonton,” kata Petra.
Sinema Sang Akar juga mengambil bagian penting dalam pengembangan film Indonesia karena memang kebanyakan film yang ditayangkan adalah film karya anak bangsa. ”Kita tidak pernah membagi porsi antara film Indonesia dan luar negeri, tapi memang kebanyakan film Indonesia,” kata Petra.
Berawal dari sebuah sanggar, Sinema Sang Akar awalnya hanya untuk kegiatan pembelajaran. ”Awalnya, tujuan ada sinema itu untuk belajar karena kita ada kelas film juga, tapi, kan, sayang kalau buat belajar saja, jadi kita sewakan,” ucap Petra.
Petra merasa keunggulan bioskop alternatif dari bioskop konvensional adalah penonton bisa mendiskusikan film yang baru saja yang mereka tonton. ”Nah, experience diskusi seperti itu, kan, tidak ada di bioskop komersial,” kata Petra.