Muda dan "Berbahaya" di Festival Sastra
…Jiwa dari jiwa
Hasrat bergema
Nurani dan fikiran
Saling berbisikan
Seraya berkata,”Wahai gulita malam temanilah bayang-bayang mimpi di alam”
Siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi…
Kurator Bengkulu Writers Festival Kurnia Effendi terkejut usai membaca penggalan sajak tadi. Tanpa banyak pertimbangan lagi, ia loloskan sajak ini menjadi bagian dari sajak-sajak lain yang telah terkurasi. Lebih dari 100 orang jumlahnya. Kurnia lebih terkejut lagi ketika tahu bahwa penulis sajak ini bernama Tessa Nova Rahmanda, seorang siswa kelas 3 IPA SMA Negeri 3 Seluma, Bengkulu.
“Saya tidak menyangka di daerah ada benih penyair yang sungguh menjanjikan,” kata Kurnia, yang hadir dalam Bengkulu Writers Festival, 13-15 September 2019 di Bengkulu. Festival ini dihelat untuk kedua kalinya dengan fokus pada pelibatan para penulis muda dengan tema “Seni, Anak Muda, dan Tradisi”. Oleh sebab itulah festival secara khusus menjaring para penulis muda dari seluruh Bengkulu.
Tessa menjadi salah satu dari 23 penulis muda Bengkulu yang berkesempatan mengikuti Bengkulu Writers Festival (BWF) dan bertemu dengan para penyair senior seperti Kurnia, Fikar W Eda, Iyut Fitra, Masmuni Mahatma, dan Wacana Minda (Malaysia). “Engak nyangka aja sih. Itu puisi pertama yang aku tulis dan dikirim di hari terakhir, hihi…” kata Tessa bangga.
Kebanggaan Tessa semakin beralasan karena puisi karyanya bersanding dalam satu buku antologi bertajuk “Perjumpaan” bersama dengan para penyair lain dari seluruh Indonesia dan Malaysia. Buku antologi ini berisi puisi, cerpen, esai, dan cuplikan novel yang berhasil lolos dari kurasi para kurator.
“Genre sastra yang beragam inilah yang membedakan BWF dengan festival serupa di Indonesia,” kata Ketua Panitia BWF Willy Ana. Seluruh penulis yang karya-karyanya dinyatakan lolos kurasi diundang ke Bengkulu. Di antaranya hadir Reani Retno, alumnus Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara Medan. Reani rela bersusah-payah naik bus dari Medan, yang memakan waktu lebih dari 12 jam.
“Itu pun harus melalui Pekanbaru, Padang, terus Bengkulu, dan dengan uang sendiri,” kata Reani, yang menulis cerpen berjudul “Boegenville”. Cerpen ini, kata Kurnia, seolah menjadi tanda bahaya bagi para penulis senior.
“Reani punya bakat dan kemauan keras. Dia akan berbahaya,” ungkap Kurnia. Sementara Reani sendiri merasa, ia cuma penulis lokal, yang karya-karyanya baru dimuat di media-media lokal di Medan. “Suatu kali mungkin ke media nasional,” tekad Reani.
Kurnia Effendi juga menilai cerpenis Wendy Fermana dari Palembang, yang cerpennya juga lolos dari lubang seleksi, termasuk dalam angkatan muda yang berbahaya. “Karya-karya Wendy mengacu pada karya-karya sastra dunia. Jadi dia punya karya yang berbeda dari sastra yang pernah kita kenal,” kata Kurnia.
Saat menjadi pembicara dalam saresehan BWF Wendy mengatakan bahwa ia membaca karya-karya para pemenang Nobel sebagai bagian dari caranya mengakses pengetahuan. “Bukan semata untuk menulis, tetapi untuk menyerap pengetahuan langsung dari sumbernya,” katanya.
Kompetisi
Dalam waktu berdekatan Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 15-21 September 2019 menggelar Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Bandarlampung. Ratusan siswa yang mewakili 34 provinsi berekompetisi dalam sembilan cabang kesenian antara lain: baca puisi, cipta puisi, tari kreasi, monolog, film pendek, desain poster, kriya, gitar solo, dan vokal solo.
Ketua Dewan Juri Monolog Iman Soleh mengungkapkan para siswa tak hanya mampu memainkan lakon monolog secara baik, tetapi menunjukkan apresiasi yang sungguh-sungguh terhadap dunia seni. Menurut Iman, sebagai dramawan, ia nyaris tidak bisa mendeteksi aktivitas dan kreativitas anak-anak muda selama ini lewat forum-forum kesenian. “Nyatanya banyak yang mampu memainkan lakon dengan baik,” katanya.
Ia memberi contoh, pemenang pertama Tamara Shintia Putri dari Bandarlampung. Siswa kelas 3 SMA Negeri Sumberjaya, Bandarlampung ini, berhasil menghayati peranan sebagai seorang dokter yang bertugas di pedalaman Papua. “Tamara berakting sangat natural, tetapi penuh penghayatan,” kata Iman.
Masih banyak saudara kita yang butuh bantuan, seperti di Papua misalnya
Tamara sendiri menyatakan lakon Dokter Jawa yang ia bawakan benar-benar membuatnya menyadari bahwa Indonesia itu begitu luas. “Masih banyak saudara kita yang butuh bantuan, seperti di Papua misalnya,” katanya sembari berujar banyak dapat ilmu saat mengikuti ajang FLS2N.
Juri lomba Tari Kreasi, Nungki Kusumastuti mengatakan FLS2N yang dihelat Kemendikbud setiap tahun, punya maanfaat besar dalam membentuk karakter anak-anak muda Indonesia. Mereka tak hanya dibiasakan berada dalam persaingan, tetapi yang lebih penting makin mengerti bahwa Indonesia tak hanya Jawa.
“Banyak daerah lain dengan keragaman budayanya yang unik dan itulah Indonesia,” kata penari senior ini. Pengenalan sejak dini tentang keragaman etnis dan budaya Indonesia, kata Nungki, menjadi penting dalam konteks bernegara belakangan ini. “Indonesia tidak tunggal, ia dibentuk dalam keberagaman,” tambahnya.
Menurut sutradara Wawan Sofwan, yang turut menjadi juri monolog di FLS2N, Indonesia membutuhkan forum-forum kebudayaan untuk memperkenalkan keunikan Indonesia secara halus. Dengan cara ini, katanya, infiltrasi radikalisme bisa dicegah. Ia merasa prihatin, sebagian pelaku terorisme di Indonesia adalah anak-anak muda, yang terpapar radikalisme melalui jejaring sosial. “Jadi forum-forum seperti FLS2N sangat penting. Lewat kesenian anak-anak muda belajar memahami karakter masing-masing suku di Indonesia dalam level yang setara,” katanya.
Willy Ana merasa bersyukur di tengah-tengah penyelenggaraan BWF, para penulis muda Bengkulu berinisiatif membentuk wadah komunikasi bernama Forum Penulis Muda Bengkulu. Pembentukan forum itu dicetuskan ketika para penulis mengadakan kunjungan ke Pulau Tikus, berjarak sejam perjalanan dari kota Bengkulu. “Komunitas menjadi penting untuk mengenalkan literasi kebudayaan sejak dini,” kata Ana. Menulis, katanya, menjadi kreativitas paling penting dalam memperdalam pemahaman tentang berbagai perbedaan.
Dengan menulis praktis mereka harus membaca dan itu berarti pula mendalami persoalan untuk mengasah sensitivitas
“Dengan menulis praktis mereka harus membaca dan itu berarti pula mendalami persoalan untuk mengasah sensitivitas,” ujar penyair kelahiran Bengkulu ini.
Pelajar seperti Tessa dan anak muda seperti Reani, pertama-tama ingin menjajal batas-batas kreativitas dalam diri. Keduanya berkeinginan tak sekadar mengejar popularitas, tetapi menjadikan dunia tulis-menulis sebagai pintu masuk untuk memperkaya batin. Reani bersedia jauh-jauh datang dari Medan ke Bengkulu dengan ongkos sendiri, karena ingin berada dalam lingkaran kreativitas yang membuatnya selalu berpikir positif.
“Menulis itu cara untuk mengapresiasi dan berbagi,” katanya. Jadi memang, anak-anak muda ini akan menjadi “berbahaya” dalam waktu-waktu mendatang…