Empat perempuan ilmuwan meraih penghargaan dari L’Oreal-UNESCO yang diserahkan di Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019). Mereka mengembangkan inovasi ilmiah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Oleh
Ida Setyorini
·2 menit baca
Empat perempuan ilmuwan meraih penghargaan dari L’Oreal-UNESCO yang diserahkan di Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019). Mereka mengembangkan inovasi ilmiah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Para peneliti tersebut berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Udayana, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
”Di dunia, kompetisi ini telah berlangsung selama 21 tahun. Sementara di Indonesia baru 16 tahun. L’Oreal adalah perusahaan berbasis sains dan bisnisnya bermula dari sains, yakni penemuan pertama pewarna rambut,” kata Melanie Masriel, Communications, Public Affairs, and Sustainability Director L’Oreal Indonesia.
Para peraih penghargaan tersebut adalah Widiastuti Karim dari Universitas Udayana Denpasar, Ayu Savitri Nurinsiyah dari LIPI, Osi Arutanti dari LIPI, dan Swasmi Puwajanti dari BPPT.
Widiastuti sejak kecil mengenal dan mencintai ekosistem laut. Dia studi di Fakultas Kelautan dan Perikanan serta meneliti fungsi biologi green fluorescent proteins (GPP) guna mengatasi pemutihan pada karang. Tujuannya, dapat merehabilitasi ekosistem terumbu karang di Indonesia.
Sementara Ayu adalah salah satu ahli terbaik dalam hal fauna keong darat Jawa. Perkenalan Ayu dengan keong bermula ketika berkumpul dengan para sepupunya dan salah satunya terluka karena menginjak beling di kebun. Dia takjub karena tantenya tenang saja dan memerintahkan para sepupunya ke kebun guna mencari keong racun di pohon pisang.
”Peristiwa itu terjadi ketika saya masih kelas 2 SMA dan sejak itu saya banyak membaca buku tentang keong. Jumlah keong ternyata ada 1.800 jenis dan 255 di antaranya ada di Jawa. Keong racun ternyata tinggi protein dan kolagen. Hal itu yang membuat perdarahan di kaki sepupu saya dulu langsung berhenti begitu ditempelkan tubuh keong di kakinya yang luka,” tutur Ayu mengenang.
Peneliti dari LIPI lainnya, Osi, memilih soal teknologi pengolahan air yang ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan kelangkaan air bersih.
”Saya meneliti alternatif fotokatalis yang terjangkau, bisa direalisasikan, efisien, dan dapat diaktivasi dengan tenaga surya. Fotokatalis adalah proses oksidasi di dalam air yang dapat mendekomposisi polutan organik yang dipecah menjadi karbon dioksida dan H2O. Air yang tercemar melalui proses ini dapat terurai dan aman bagi lingkungan,” ujar Osi.
Swasmi dari BPPT juga meneliti soal air. Namun, fokusnya adalah bittern, yakni produk samping dari pembuatan garam yang dimanfaatkan sebagai bahan baku fungsional nanomaterial untuk menangani isu polusi air. Dia berharap dapat membantu penyediaan air bersih yang bebas kontaminan di Indonesia melalui pendekatan nanoteknologi dengan biaya yang terjangkau.