Belajar Sendiri atau Ramai-Ramai, Sama Asyiknya
Mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi bukan hanya punya kemampuan finansial. Tak kalah penting adalah mengatur diri agar semua berjalan seimbang, mau dan berani mengorbankan beberapa hal, serta fokus hingga akhir masa kuliah. Pasalnya masuk kuliah jauh lebih mudah ketimbang keluar kuliah dengan gelar sarjana di tangan.
Jika semasa SD sampai SMA, belajar masih dipantau orangtua plus mendapat bantuan dari bimbingan belajar, begitu kuliah semua serba sendiri. Artinya, mau kuliah atau terlambat atau bolos sekalipun, silakan saja. Apalagi jika kuliah di luar kota dan jauh dari orangtua.
Merasa bebas bisa melakukan banyak hal, banyak mahasiswa lupa bahwa kesempatan kuliah itu harus mereka selesaikan dengan sukses. Lupa bagaimana mengatur diri dan waktu untuk belajar dan bersantai. Hingga kini, banyak mahasiswa hanya bisa belajar jika suasana sepi dan tenang karena konsentrasinya terpecah jika mendengar banyak orang berbicara. Namun, ada pula yang tenang-tenang saja karena bisa belajar dalam suasana ramai dan heboh sekalipun.
Untuk itu, Kompas mencari tahu bagaimana mahasiswa belajar sesuai pribadi masing-masing. Hal itu penting karena bisa membantu memaksimalkan cara menyerap pelajaran. Jajak pendapat Litbang Kompas medio November lalu, memotret gaya belajar mahasiswa di berbagai kota di 34 provinsi.
Setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Apalagi bagi mahasiswa tempat belajar berbagai macam ilmu dengan berbagai bentuk penyampaian mata kuliah. Gaya belajar mahasiswa bisa dilihat dari bagaimana cara belajarnya, suasana belajar yang disukai, dan tempat favorit yang dipilih untuk belajar.
Lebih kurang 45 persen responden muda mengaku suka belajar dengan membuat catatan poin-poin penting ringkasan pelajaran atau membuat catatan selengkap mungkin. Sementara, seperempat lebih dari mahasiswa lainnya (25,8 persen) lebih menyukai belajar dengan cara menghafal sambil menjelaskan ulang materi pelajaran. Jadi, dengan cara ini mahasiswa mencoba menjelaskan seperti seorang dosen. Sebanyak lebih kurang 12 persen mahasiswa lainnya, lebih suka belajar dengan cara berdiskusi dengan teman-teman.
Cara belajar lainnya yang disukai adalah dengan berpraktik, mendengarkan audio, dan ada pula yang merasa cukup memahami materi dengan mendengarkan dosen ketika mengajar atau mendengarkan penjelasan teman.
Suasana dan tempat
Suasana belajar juga menentukan efektif tidaknya mata pelajaran mudah terserap. Hampir enam dari 10 responden muda (59,8 persen) lebih suka belajar sendiri. Sebanyak 35,4 persen suka belajar sendirian dengan suasana tenang, sedangkan hampir seperempat mahasiswa lainnya mengaku lebih bisa menyerap pelajaran jika belajar sendirian tetapi sambil mendengarkan musik. Namun demikian, ada juga empat dari 10 mahasiswa lebih senang belajar berkelompok dengan teman-teman sambil berdiskusi atau berkumpul bareng teman tetapi belajar masing-masing.
Tipe ini yang seringkali terlihat belajar berkelompok di kafe-kafe sebagai tempat favorit untuk berkumpul. Ada 17,7 persen responden mahasiswa yang menjadikan kafe tempat favorit untuk belajar. Selain merasa nyaman, bisa makan sambil berdiskusi dengan teman, dan yang pasti mencari jaringan wifi gratis.
Namun demikian, sepertiga lebih mahasiswa masih menjadikan kamar tidur baik di rumah maupun di tempat kos adalah ruang favorit untuk belajar. Bisa sambil tiduran, nonton televisi, atau mendengerkan musik, pokoknya bisa sesuka hati dan yang pasti waktunya fleksibel.
Perpustakaan juga diakui 17,2 persen responden mahasiswa sebagai tempat favorit untuk belajar. Suasana tenang di perpustakaan dinilai sangat mendukung. Ruang-ruang dan sudut kampus lainnya juga disenangi sebagai tempat untuk belajar. Ada pula sebagian responden yang memfavoritkan ruang belajar sebagai ruang paling nyaman untuk bisa belajar dengan serius.
Proses belajar bagaimana mahasiswa menerima dan menyerap materi pelajaran dengan baik juga dipengaruhi bagaimana cara dosen menyampaikan materi pelajaran tersebut. Hasil jajak pendapat menunjukkan separuh responden lebih mudah memahami materi kuliah jika dilakukan dengan berdiskusi dua arah dan diperkaya dengan tanya jawab.
Sementara sebanyak 27,3 persen responden lebih menyukai teknik penyampaian belajar dengan banyak melakukan praktik. Sebanyak 7,6 persen senang jika dosen menggunakan audio visual dalam mengajar, sementara 7,2 persen suka jika diberi banyak tugas, dan 4,4 persen lainnya lebih suka jika hanya mendengarkan penjelasan satu arah sesuai dengan isi buku.
Simak pendapat mahasiswa jurusan Broadcasting, Muhammad Aryah Saputra, mahasiswa Universitas Budi Luhur yang senang belajar sendiri. Dua senang suasana sunyi kala belajar dan lebih suka sendiri. Alasannya, dengan cara begitu dia lebih muda mengerti dan memahami mata kuliah.
"Saya tipe orang yang lebih suka dengan suasana yang tak berisik, susah fokus sama pelajarannya kalau mendengar banyak suara orang,” ujar Aryah di Jakarta Selatan, Senin (2/12/2019).
Mahasiswa kini sedang proses pengerjaan skripsi ini, mengatakan belajar di tempat yang tenang memudahkan dia dalam mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan. "Belajar di perpustakaan lebih nyaman buat saya. Apalagi sedang bikin skripsi, perpustakaan memudahkan saya mencari bahan untuk sripsi," ucap Aryah.
Jika bosan, Aryah akan berhenti belajar kemudian istirahat atau sibuk dengan hape baru melanjutkan belajar lagi.
Berbeda dengan Anisa Nurpadila, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. "Saya lebih suka belajar kelompok, dengan teman-teman dekat. Biasanya belajar di kedai kopi atau di kafe-kafe," kata Anisa di Tangerang Selatan, Jumat, (29/11/2019). Dia menilai, sistem belajar kelompok lebih efektif untuk dirinya.
Saat belajar, Anisa dengan mudah sharing atau konsultasi mengenai mata pelajaran yang tidak dia pahami. Misalnya, mata kuliah Statistika. "Banyak rumus, yang jika kurang paham satu rumus saja akhirnya malah susah memahami semua. Jika belajar berkelompok pasti lebih efektif belajar dan komunikasinya," ujarnya.
Secara pribadi, Anisa tidak pusing soal lokasi belajar. Artinya dia oke saja belajar di kae, kedai kopi, atau rumah makan, serta rumah. "Memilih kafe lebih karena ingin suasananya," ucap Anisa enteng.
Tiap gaya belajar yang ada memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang terpenting untuk mendapatkan ilmu yang optimal harus menggunakan segala potensi yang ada untuk menghasilkan sesuatu yang maksimal pula.
Berikut ini beberapa pendapat mahasiswa mengenai gaya belajar mahasiswa:
Metode Klasik
Dian Nafiatul Awaliyah, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang
Ujian Akhir Semester (UAS) adalah libur panjang dari siswa sampai mahasiswa. Semuanya punya cara masing-masing dalam belajar, mulai dari sistem kebut semalam, bahkan sampai sejam. Ada juga yang sejak jauh-jauh hari mempelajari aneka materi dan menyiapkan diri. Bagi mereka, cara belajarnya paling efisien untuk dirinya.
Semula, saya tipe pelajar SKS alias sistem kebut semalam. Namun, hal itu tidak efektif untuk mahasiswa seperti saya, jam tidur saja kekurangan apalagi untuk sistem kebut semalam. Jadi selama menjadi mahasiswa saya punya cara lain agar lebih mudah memahami dan menyerap materi.
Cara ini saya sebut metode klasik, metode yang saya temukan dan ciptakan sendiri. Perlu bagi saya menemukan tempat hening plus iringan musik indie atau suara hujan di internet. Karena saya domisili di pondok pesantren yang ramai, tempat sepi bagi saya adalah tempat menjemur baju atau menara tandon air, seraya memandang langit atau rembulan. Saya mereview ulang materi semasa kuliah dalam suasana tenang. Materi bacaan lebih mudah masuk dan dipahami.
Aktif Bertanya
Iin Prasetyo, Program studi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan
Saat ini, belajar, berorganisasi, plus bekerja paruh waktu berlaku bagi sebagian mahasiswa termasuk saya. Karena aktif berorganisasi di Lembaga Pers Mahasiswa, saya harus lebih jeli mengatur waktu belajar di kelas dan berorganisasi, apalagi menjelang ujian.
Ujian merupakan motivasi dan momentum yang membuat mahasiswa terpaksa menyempatkan belajar. Kadang menjelang ujian, belajar bisa saja terabaikan karena kegiatan berorganisasi harus diselesaikan saat itu juga. Maka, jika jelang ujian saya susun strategi agar bisa menjawab soal-soal ujian. Sehari-hari di kelas, saya selalu usahakan untuk maksimal memahami materi dengan fokus dan aktif bertanya, kemudian mengulanginya lagi.
Sesungguhnya, perkara belajar adalah tanggung jawab mahasiswa. Maka, belajar pun bukan hanya menjelang ujian. Biasanya saya mencatat beberapa materi di notes. Di notes itu saya mencatat materi berupa mind mapping agar saya bisa menghafalnya. Selain itu, saya usahakan membeli buku rekomendasi dosen. Bagi saya, tidak ada istilah berhemat dengan tidak membeli buku karena buku adalah sumbangsih terbesar saat ujian menjelang.
Di Perpustakaan
Fikri Aly Azmi, jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
Belajar adalah kebutuhan primer dalam menunjang kehidupan akademis urusan sekolah dan kuliah. Karena begitu pentingnya dalam belajar, banyak beragam cara ditempuh seorang pelajar agar apa yang dipelajari tidak menguap sia-sia. Secara pribadi, selain belajar di kelas-kelas kuliah, saya suka menghabiskan waktu untuk belajar secara mandiri, tanpa ada gangguan dari orang lain.
Jadi, perpustakaan sepi adalah tempat favorit bagi saya dalam menerima ilmu. Saat sunyi, saya lebih mudah berkonsentrasi dalam membaca atau dalam mengerjakan tugas.
Bagi saya pribadi, belajar tidak melulu di kelas karena bisa di mana saja. Lumrah bagi mahasiswa sedari dini menemukan tempat dan waktu guna menunjang terjadinya proses pembelajar. Mereka yang bergairah belajar pada dini hari, segera putuskan belajar pada saat jam tersebut. Beda dengan mereka yang lebih menyukai belajar dengan berdiskusi. Kumpulkan teman-teman di suatu tempat, dan ajak mereka belajar bersama. Berhenti bertumpu dengan sistem pembelajaran di ruang kelas, mulailah eksplorasi dirimu dengan pembelajaran yang sesuai dengan karaktermu demi meraih hasil memuaskan.
(*)