Mahasiswa Berinovasi Mencari Solusi Berbagai Masalah
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri menciptakan inovasi yang bisa membantu mencari solusi dari berbagai masalah di masyarakat. Mereka sangat peduli dengan kondisi dengan masyarakat di sekitarnya.
Oleh
Soelastri Soekirno
·6 menit baca
Keprihatinan seringkali memunculkan ide brilian. Itu yang dialami para mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara dan Institut Teknologi Bandung. Mereka kemudian membuat alat pengumpul biji buah sawit, alat penyerap polutan di dalam ruangan, kertas dari bahan dasar non kayu serta pengendali panen madu. Tim dari empat universitas negeri tersebut, Rabu (27/11/2019) tampil di Tanoto Student Research Awards yang diadakan oleh Tanoto Foundation di Jakarta.
Keterlibatan Tanoto Foundation ke perguruan tinggi negeri tersebut, selain menjadi mitra yang menyediakan bea siswa bagi mahasiswa berprestasi, institusi itu juga memberikan biaya bagi proposal penelitian yang terpilih.
Diantara inovasi yang mendapat penghargaan dari Tanoto, ada karya mesin pengumpul biji buah sawit bernama Erbron-C buatan mahasiswa IPB yang meraih medali emas pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional ke 32 tahun 2019. November lalu, alat yang sama meraih medali perak pada ASEAN-India Grassroot Innovation Forum yang diadakan Department of Science and Technology, Republic of Philipines tahun 2019.
Kelahiran alat itu tak lepas dari kepedulian para penciptanya. Sekitar sepuluh tahun lalu, Tegar Nur Hidayat (20), mahasiswa Jurusan Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian IPB, selalu merasa bingung ketika melihat ceceran biji sawit di area lahan kelapa sawit di Kalimantan Selatan tempat ayahnya bekerja. Biji sawit itu bagian dari brondolan (bonggolan) buah sawit yang dipanen oleh para pekerja tetapi terjatuh pada proses panen.
Ia berpikir, alangkah sayang biji sawit itu terbuang begitu saja. Ia juga melihat betapa berat tugas buruh perkebunan kelapa sawit yang harus memunguti biji sawit dengan tangan mereka. Sejak itu Tegar yang menghabiskan masa sekolah SD hingga SMA di sekitar perkebunan kelapa sawit mulai memikirkan cara mengatasi kondisi tersebut.
Perasaan sama dirasakan Sanhaji (21), kakak angkatan tegar di Jurusan Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Ketika ia melakukan praktik kerja lapangan di perkebunan sawit di Jonggol, Jawa Barat, ia menjumpai pemandangan yang sama.
Para buruh perkebunan sawit juga berkeluh kesah serupa. Mereka kesulitan mengumpulkan biji buah sawit yang tercecer dalam kondisi tubuh sudah capek dan diburu waktu. “Para pekerja tak cukup punya waktu untuk mengumpulkan biji yang berjatuhan dalam jumlah banyak karena waktunya tak cukup. Jam kerja mereka mulai dari jam tujuh pagi sampai jam 10 atau 11 mobil perusahaan sudah menjemput biji sawit untuk dibawa ke pabrik,” ujar Sanhaji.
Tahun 2017, keduanya secara tak sengaja bertemu di kampus, lalu memperbincangkan kasus sama di perkebunan sawit. Sejak itulah mereka sepakat membuat inovasi yang kemudian diberi nama Erbron-C (ergonomic Brondolan –Collector).
Selain beranggota Tegar dan Sanhaji, ada mahasiswa IPB yang lain. Mereka, Affan Afrizal Gani, Dikki Pratama dan Maulana Malik Yusuf. Kelimanya bahu membahu membuat alat itu supaya bisa digunakan dengan mudah oleh buruh di lahan kelapa sawit pada lahan datar dan miring.
Hasil uji coba penggunaan alat itu di lapangan menunjukkan, alat tersebut bisa mengurangi kelelahan pada pekerja karena mereka tak lagi perlu membungkukkan badan untuk mengambil ceceran biji sawit. Alat yang memiliki semacam rol dari plastik (untuk menangkap biji sawit) itu juga mempercepat pemungutan biji sawit sehingga bisa menambah jumlah sawit yang terkumpul.
Pada uji coba selama tiga jam, pekerja dengan Erborn-C berhasil mengumpulkan 595 kilogram biji sawit yang tercecer. Sementara jika menggunakan alat manual, hanya terkumpul 144 kilogram. Dengan lebih banyak biji sawit yang mereka dapat, otomatis upah pekerja ikut naik. Menurut perhitungan tim mahasiswa IPB itu, pendapatan pekerja naik dari Rp 720 ribu per bulan, bisa naik menjadi Rp 2,97 juta per bulan.
“Dengan demikian jika alat tersebut digunakan oleh banyak pekerja, akan sangat membantu menghindari kerugian akibat biji sawit yang tercecer dan tak sempat dikumpulkan lagi,” jelas Tegar tentang alat yang dibuat sejak setahun lalu itu. Ia dan kawan-kawannya menjual alat itu dengan harga Rp 3,5 juta per buah.
Kini Erborn-C sudah mendapat hak paten dan siap diujicoba oleh calon pengguna yang berasal dari perusahaan sawit. “Kami sudah menerima beberapa permintaan Erborn-C. Sebenarnya kami juga sudah siap untuk memproduksi dalam jumlah massal, tetapi masih menunggu pemberitahuan bahwa memang belum ada pihak yang lebih dulu memiliki alat seperti itu,” tambah Sanhaji.
Tangkap polutan
Sementara itu, tiga mahasiswi Universitas Hasanuddin Makassar, Ainun Ade Putri (21) dan Miftahul Jannah (21) keduanya mahasiswa fakultas kehutanan) dan Bulkis (21), mahasiswa farmasi membuat Papan Partikel Penyerap Polutan Hassanudin (4PHd). Papan yang dibalur ekstrak Sansiviera (tanaman lidah mertua) terbukti bisa menangkap polutan asap rokok. Ainun menjelaskan timnya memilih tanaman lidah mertua karena fungsinya bisa menyerap polutan dalam jumlah besar.
“Meskipun aku anak kehutanan, tapi tidak ingin terbatas di hutan saja. Dengan papan partikel penyerap polusi ini, aku juga bisa berkontribusi di aspek kesehatan,” kata Ainun. Ia dan kawan-kawan menyiapkan alat tersebut selama dua tahun di bawah bimbingan Dr Suhasman, dosen Unhas.
Kertas ramah lingkungan
Kelompok lain, dari Universitas Sumatera Utara menampilkan karya mereka berupa pencarian alternatif bahan baku pembuatan kertas ramah lingkungan. Para mahasiswa jurusan kimia itu, Rio Cahyono (23), Muhammad Delfis (22) dan Rina Afriani (22) awalnya prihatin melihat banyak kayu menjadi bahan baku pembuat kertas.
Rio dan kawan-kawan kemudian mencoba mencari solusi. Setelah melakukan penelitian selama enam bulan, penelitian yang dibimbing oleh Saharman Gea, dosen mereka itu berhasil menemukan bakteri pengganti yaitu Acetobacter Xylinum. Bakteri yang biasanya dibuat menjadi nata de coco ini, diolah dengan metode agitasi agar menjadi lebih cair.
Bakteri tersebut lalu dicampur dengan bahan lain seperti tapioka dan tawas. Adonan yang bisa menjadi kertas itu kemudian di tekan dengan mesin pada tekanan tertentu dan menghasilkan lembaran serupa kertas. Meskipun uji kelayakan masih terbatas pada uji daya Tarik, namun penelitian sekaligus skripsi ini berhasil menemukan solusi baru untuk industri kertas. Apalagi dengan metode yang memakan waktu lebih cepat, penemuan itu sangat mungkin untuk diaplikasikan pada industri komersiil.
Pemeras madu
Untuk membantu meningkatkan pendapat peternak lebah, tim mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang terdiri dari Yusuf Muhammad Wibisono (23), Jurusan Rekayasa Pertanian, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Zainuddin Efendi Rambe (22), Jurusan Teknik Elektro, Wahyu Eko Nugroho (22), Jurusan Teknik Mesin, Anton Sudirman( 22), Jurusan Matematika, FMIPA dan Nia Puspita (21), Jurusan Rekayasa Pertanian membuat alat pengendali panen madu yang otomatis sekaligus bisa memeras madu.
Selain itu para mahasiswa tersebut juga mengupayakan pemakaian sarang lebah buatan dari plastic untuk mengundang lebah buatan Australia. Disayangkan, ketika akan diujicoba kepada peternak lebah di Cibacang, Sukabumi, para peternak menolak. “Kami akan mengadakan ujicoba kepada peternak lebah di Jatinangor yang sudah menyatakan antusiasmenya,” tutur Yusuf. Ia dan timnya berharap peternak lebah bersedia memakai peralatannya karena madunya akan lebih higenis (peternak biasanya memerah sarang lebah dengan tangan).