Jamu, Tembakau, dan Pupuk dalam Perjalanan Duo Senyawa
Dalam sepuluh tahun terakhir, duo Senyawa yang terbentuk di Yogyakarta telah menghasilkan belasan album dan menyambangi puluhan negara. Mereka tengah mencari keseimbangan antara bermusik dan pemberdayaan komunitas.
Pada mulanya adalah musik, lantas bisa menjadi apa saja. Anggapan dasar itu seperti mewakili apa yang dialami duo Senyawa dalam sepuluh tahun perjalanan mereka. Memasuki dasawarsa kedua, mereka merapalkan kata ”mandiri” dengan lebih lantang.
”Setelah kembali ke dunia, lalu mau apa, Rul?” tanya Wukir Suryadi kepada rekannya Rully Shabara. ”Kembali ke Dunia” adalah lagu terakhir di album Sujud, keluaran 2018.
Rully baru saja menceritakan narasi di balik setiap album Senyawa kepada belasan hadirin acara bincang-bincang sebelum mereka berpentas di Aula Gudskul Ekosistem di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (17/01/2020). Narasi utama keempat album penuh mereka rupanya bertalian, seperti siklus yang telah berputar selama sepuluh tahun karier mereka.
Album Sujud diibaratkan seperti kepulangan; kembali ke dunia; menjejak tanah. Sementara album sebelumnya, Brønshøj (2017), yang direkam di Denmark, adalah puncak perjalanan. Kisah keberangkatannya dimulai dari album perdana, Senyawa (2010), diikuti dengan Acaraki (2014), lalu Menjadi (2015).
Pertanyaan Wukir tadi dijawab Rully, ”Nah, itu yang sedang dipikirkan. Setelah selesai dengan urusan pribadi, lalu mau apa lagi. Itu yang akan kita jawab bareng-bareng.” Tentu saja bareng dengan Wukir, mitranya dalam Senyawa sejak 2010.
Desember 2019, Rully dan Wukir mencatatkan dirinya sebagai pemilik usaha bernama CV Senyawa Mandiri. Produk dagang pertamanya adalah sebuah album berformat CD berisi rekaman latihan mereka. Lantas, untuk apa lagi perusahaan itu bagi sebuah band yang telah melanglang buana ini?
”Ada beberapa program yang kami rencanakan ke depannya. Makanya, butuh ini. Namun, dimulai dengan usaha kecil dulu, misalnya jualan jamu,” kata Rully yang bertahun silam melepaskan pekerjaan mapan sebagai interpreter di perusahaan multinasional demi bermusik ini. Dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Wukir juga begitu.
Di tempat terpisah dari lokasi bincang-bincang, teman-teman mereka baru saja rampung menata barang dagangan—yang kini makin sering disebut sebagai ”merchandise”—di dua buah meja. Meja pertama berisi format fisik beberapa album Senyawa, ataupun musisi lain yang serupa. Juga ada kaus. Dua komoditas ini sudah jamak dijajakan musisi.
Dagangan di meja satunya lebih berbeda. Di situ, tertata kaleng-kaleng berisi tembakau linting, lengkap dengan cengkehnya. Ada pula tumpukan besek kecil berisi racikan jamu simplisia siap seduh; dan botol-botol berisi jamu beras kencur, temulawak, dan kunir asem siap teguk. Di undakan yang lebih tinggi, ada besek berukuran besar yang berisi kompos padat.
Mohammad Fadhol adalah teman yang diajak Rully dan Wukir untuk mengurusi racikan jamu. ”Daya dan kemandirian yang digagas Senyawa membuatku tertantang mengulik perihal jamu untuk jangka panjang. Aku berencana mengurus jamu ini dari hulu ke hilir, dimulai dari menanam bahan sendiri,” kata dia yang bernama gaul Dholy Husada ini.
Dholy menekuni hal ihwal jamu sejak sekitar tiga tahun silam, setelah berhenti dari pekerjaan sebagai bartender di sebuah bar di Yogyakarta. Kultur minuman beralkohol, kata dia, seperti mengingkari tradisi pesantren di daerah asalnya, Lamongan.
Rully dan Wukir termasuk pelanggan awal jamu racikannya. ”Soal musik, aku malah enggak ngerti blas,” ucap Dolly yang memakai kaus bertuliskan ”acaraki” yang artinya peracik jamu. Senyawa memakai kata itu sebagai judul album kedua mereka. Maka, berdagang jamu bisa diartikan sebagai perwujudan nyata dari musik yang mereka buat.
Pasokan tembakau didapat dari teman mereka yang berhubungan langsung dengan petani. ”Tembakaunya dari Jawa Barat, dari daerah Sumedang,” kata Wukir.
Cara ini bisa jadi membantu petani tembakau dari kemungkinan kerugian sebagai dampak kenaikan cukai rokok. Senyawa membuka kemungkinan cara bertahan. ”Belajar saja dulu. Bisa gagal, bisa juga hasilnya baik,” ucap Rully.
Rancang sendiri
Kerja-kerja mandiri telah mereka jalankan di sepuluh tahun pertama. Warna musik racikan mereka menggambarkan itu. Agak susah mengategorikan genre mereka. Lagunya jelas bukan langgam pop yang nyaman didengar saban hari. Ritme yang menderu belum tentu bisa memantik head banging. Terkadang birama bisa sangat lambat dengan bunyi repetitif. Terkadang ada nuansa musik tradisi, terkadang hanya bunyi tak berpola.
Wukir Suryadi berkutat di departemen musik. Sejak sebelum bersenyawa dengan Rully, dia merancang sendiri alat musiknya, semata-mata demi mendapat bunyi yang benar-benar dia inginkan.
Salah satu alat itu adalah hibrida perkusi dan gitar yang ia beri nama bambuwukir. Material dasarnya adalah bambu kira-kira sepanjang 1 meter. Ada 12 dawai yang bisa dimainkan layaknya alat musik petik, tetapi bisa juga berfungsi ritmis karena jika dimainkan dengan cara tertentu bisa mengeluarkan bunyi perkusi.
Alat lainnya adalah solet berbahan kayu. Ya, ini adalah spatula untuk memasak. Wukir bilang, solet yang ia pakai itu serupa dengan yang biasa dipakai untuk mengaduk dodol. Empat senar terpancang mengeluarkan frekuensi bunyi yang lebih rendah dibandingkan bambuwukir. Dia memasang tiga bilah jeruji sepeda sebagai tuas untuk ”membengkokkan” bunyi.
Alat yang paling spektakuler adalah garu yang biasa dicencang pada kerbau untuk menggemburkan tanah. Karena ukurannya yang gigantis, alat ini jarang dibawa pentas. Alat-alat bikinan sendiri itu, kata Wukir, adalah responsnya terhadap kultur agraris di daerah asalnya di Kota Batu, Jatim.
Rully Shabara memanfaatkan pita suaranya sebagai instrumen. Olah vokalnya tak cuma dipakai untuk bernyanyi, tapi juga bergumam, menggeram, dan memekik. Yang keluar dari mulutnya tak cuma kata, melainkan juga chanting yang berakar dari tradisi Nusantara, juga Himalaya, Amerika Selatan, dan Afrika. Bunyi ”cak-cak” pada tari kecak adalah contoh chanting, yang juga diadopsi Rully. Dengusan napas pun jadi bagian dari komposisi musik mereka.
Mereka berdua ”dijodohkan” oleh pendiri label Yes No Wave, Woto Wibowo alias Wok The Rock, di sebuah acara yang ia adakan di Yogyakarta pada 8 Mei 2010. Kolaborasinya spontan dan berujung kecocokan. Dua bulan kemudian, Rully mengabarkan Wok bahwa mereka akan merekam kolaborasi itu. Hasilnya adalah album perdana berjudul Senyawa, atas nama mereka masing-masing.
Karena mulai sering berpentas, nama Senyawa akhirnya dipilih sebagai persekutuan mereka. Belum setahun setelah album perdana keluar, Senyawa pancang layar menuju Australia untuk menjalani tur, dimulai dari tampil di Melbourne Jazz Festival. Setelah itu, manajernya, Kristi Monfries, membuatkan tur 12 kota di Australia.
Pintu menuju festival-festival lain makin terbuka. Beragam festival skala besar dan kecil telah mereka sambangi. Kalau Rully tak salah ingat, hampir semua negara Eropa pernah jadi pentas mereka. Pertunjukan di Amerika Serikat terjadi pada Agustus 2016 di Eaux Claires Festival, yang dikuratori Justin Vernon, nomine Grammy tahun ini, juga Aaron Dessner dari band pemenang Grammy, The Nationals. Sepertinya cuma Benua Afrika dan Antartika saja yang masih luput.
Tak cuma rajin pentas di mana-mana, Senyawa setiap tahun mengeluarkan produk musik, baik itu album penuh, album mini, maupun album kolaborasi dengan musisi di negara yang mereka singgahi. Beberapa kolaborator mereka adalah nama-nama besar di ranah musik kontemporer, seperti Arrington de Dionyso, Damo Suzuki, Kazuhisa Uchihashi, Yomiko Tanaka, Keiji Haino, David Shea, dan Stephen O’Malley.
Pencapaian di ranah musik selama kurun sepuluh tahun itu sepertinya menyisakan keresahan lain. Mereka merasa belum berkontribusi banyak pada komunitas di sekitar mereka. ”Awalnya kami sekadar asyik bermain musik. Kami mengejar itu. Setelah terlewati sepuluh tahun ini, kami sudah nyaman. Saatnya beranjak lagi. Bahaya kalau begini terus,” kata Rully.
Lantas tercetuslah gagasan usaha Senyawa Mandiri itu. Jika begini, lalu di mana posisi musik bagi Senyawa dalam dasawarsa kedua? ”Musik jadi tidak sepenting itu. Ia memang fondasi, juga jembatan bagi manusia mendalami dirinya sendiri. Kami berusaha imbangi musik dengan dunia nyata,” lanjutnya.
Tur syukuran
Sebelum melangkah ke tahap baru itu, Senyawa membuat syukuran atas capaian pada dasawarsa pertama. Mereka memotong tumpeng dan membagikan kepada hadirin. Mereka juga menggelar tur kecil selama akhir pekan ini, dimulai dari Jakarta pada Jumat (17/01/2020), Bandung, dan Jatiwangi.
Pengalaman menonton Senyawa di negara sendiri selalu spesial. Tak heran tiket pertunjukan di Jakarta dan Bandung terjual habis. Aula Gudskul Ekosistem yang dindingnya dilapisi peredam itu penuh. Penonton duduk di lantai kayu, mengelilingi area penampil yang berbentuk lingkaran kecil saja.
Sembilan belas lagu mereka bawakan selama sekitar 90 menit. Wukir lebih banyak duduk memainkan instrumen ajaibnya, yang ditambah pedal sebagai manipulator bunyi. Rully berdiri memakai dua mikrofon yang masing-masing mengeluarkan bunyi berbeda. Di antara gerak tubuhnya, dia memutar-mutar tombol modular untuk memberi efek lain. Ada taburan bunga di sekitar kakinya. Magis.
Akustik ruangan yang baik memungkinkan penonton mendengar ragam bunyi yang kecil-kecil, mulai dari gesekan senar hingga dengusan napas. Tata lampunya—untaian formasi lampu LED sepanjang 20 meter—pun mengeluarkan bunyi, merespons genjrengan instrumen Wukir.
Penonton takjub. Menatap lekat-lekat. Memejamkan mata. Menggelengkan kepala mengikuti ritme bertalu-talu.
Sampai di sini, presentasi musik Senyawa berhasil merangkum kematangan komposisi, sekaligus kecermatan produksi panggung. Tantangan berikutnya? Biar Senyawa yang bekerja, kita menyokongnya.