Saat banjir datang, suasana suka cita menyambut tahun baru pun hilang dan berganti duka. Barang-barang di rumah yang kebanjiran banyak yang rusak maupun hilang. Bukan hanya korban banjir yang menderita, masyarakat banyak yang tidak bisa menggunakan akses jalan yang terputus.
Salah satu cerita datang dari Ahmad Rizqy Mubarok atau Barok yang tinggal di Kelurahan Duri Kosambi, Jakarta Barat. “Malam itu, gue tidur di lantai ruang tengah bersama teman. Makin lama kok lantainya basah, gue kira biasa saja, karena kalau hujan deras memang airnya merembes. Lalu, kami pindah ke kamar, eh pas bangun pukul 04.00 ternyata air sudah masuk rumah. Teman gue yang lucu, mengambang di atas kasur,” cerita mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran.
Saat itu, Barok sedang libur kuliah sehingga dia pulang ke rumahnya. Dari cerita lucu tentang temannya, Barok pun mengisahkan bagaimana perjuangannya menyelamatkan barang-barang di rumah. Setelah rumah kebanjiran, dia mengungsi ke rumah sang nenek. Lalu Barok mengendarai sepedanya, melewati jalan tol untuk bisa sampai ke rumahnya.
“Gue naik sepeda, pas sampai depan gang komplek banyak motor berhenti karena enggak bisa lewat, sedangkan air masih terus naik. Lalu, gue nekat aja lewat, eh ternyata air sudah seleher, sepedanya malah tenggelam dan hanyut. Jadi, terpaksa gue cari-cari tuh sepeda, ketemu setelah nabrak tiang listrik, dan udah enggak bisa dinaikin lagi,” kata Barok.
Tak lamu berlarut-larut dalam kesedihan, setelah banjir surut, Barok langsung membersihkan rumahnya. Dia mengambil sisi positif dari kebanjiran tahun ini. “Kami di rumah membuang semua barang-barang yang tidak terpakai, mulai dibersihkan lagi,” ujarnya.
Begitu pula dengan Syania Safira, mahasiswa Jurusan Ilmu Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Dia bersama kakaknya tinggal ngekos di daerah Depok. Saat banjir datang, Syania sedang pulang ke rumah, sedangkan sang kakak tinggal di kos. Semua barang-barang yang ada di kamarnya rusak parah.
"Saya lebih cemas kakak saya menderita. Jadi, malam itu saya berkali-kali saya menelepon, meminta dia meninggalkan rumah kos dan pulang. Biarkan saja barang-barang terendam, yang penting dia selamat," ujar Syania. Mereka berdua baru bisa membersihkan rumah kos pada hari kedua setelah air dipompa keluar.
Menjadi relawan
Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Jabodetabek mendorong sejumlah mahasiswa untuk menjadi relawan. Selain terjun langsung ke lapangan, mereka juga menggalang donasi, mendirikan posko pengungsian dan membantu membuka jalur transportasi.
Dicky Prasetya, mahasiswa Fakultas Sains dan teknologi, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tergabung dalam komunitas Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan KMPLHK-RANITA memilih menjadi relawan di Lebakgedong, Lebak, Banten.
“Banyak pengalaman yang saya dapat, apalagi sebagai anak muda sudah menjadi relawan bencana, yang tidak semua anak muda didapatkan di masa sekarang. Awalnya bingung mau ikut enggak, karena sedang UAS. Sedangkan dari KMPLHK RANITA yang turun bersama Pramuka UIN, kami harus mendahulukan masalah kemanusiaan,” ujar Dicky.
Saat bergerak menjadi relawan, Dicky mengalami beberapa hambatan. Meski begitu, dia tak mau patah semangat. “Akibat banjir bandang dan tanah longsor, banyak akses terputus. Untuk sampai ke desa yang terdampak harus kami berjalan kaki. Kondisi cuaca yang tidak menentu membuat tim relawan dan warga harus waspada,” ujar dia.
Dicky mengatakan, tim relawan dibagi menjadi dua. Satu tim berada di Jakarta untuk menggalang bantuan dana, sedangkan satu tim turun ke lokasi bencana. Untuk tim yang ke lapangan, mereka membantu warga untuk evakuasi korban banjir, distribusi bantuan logistik, dan dukungan psikososial.
“Untuk pembukaan posko kami melihat dulu kondisi di lapangan. Jika sudah banyak pihak yang mendirikan posko pengungsian, kami ikut membantu distribusi logistik. Jika situasi dan kondisi memungkinkan untuk membuka posko maka kami akan membuka posko,” kata Dicky. (*)