“Dandanan seperti kilat, langsung menarik perhatian. Kudu kethok nemen. Setelah itu baru musiknya yang bergemuruh.”
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·4 menit baca
Tren glam rock adalah salah satu kembang yang mekar di dekade 1980-an. Beberapa nama tenar yang identik dengan ini adalah Motley Crue, Guns N’ Roses, Poison, Warrant, Steel Panther, Kiss, dan Twisted Sister. Pengaruh mereka masih meninggalkan jejak di Indonesia, hingga hari ini.
Agak kurang tepat sepertinya mengistilahkan glam rock sebagai genre. Sebab, warna musik masing-masing pengusungnya punya ciri sendiri. Ada yang condong pada hard rock, heavy metal, sampai balada. Namun yang menyatukan glam rock adalah dandanannya.
Tengok saja tampilan Dee Snider dari band Twisted Sister. Posturnya tinggi dan besar. Dia sering pakai celana super ketat, dan atasan gombrong yang tidak dikancingkan. Rambut pirangnya keriting kecil-kecil menjuntai hampir menyentuh perut. Di panggung, wajahnya sering dilabur pupur hingga nyaris pucat. Di sekeliling matanya adalah maskara warna mencolok. Bibirnya bergincu.
Maskulinitas dari musik rock yang mereka usung bertabrakan dengan femininitas dari dandanan. Seluruh anggota Twisted Sister berdandan. Dandanan mereka dipengaruhi band punk The New York Dolls, namun musik dan aksi panggungnya mengingatkan pada Alice Cooper, dan Kiss. Bukan kebetulan, para inspirator itu juga berdandan menor.
Dalam sebuah wawancara, Dee boleh saja pernah menyangkal bahwa mereka bukan glam rock. “Glam adalah sebutan bagi glamor. (Dandanan) kami tidak glamor, tapi lebih condong ke seram,” kata Dee seperti yang ditulis laman nolifetillmetal.com. Bagaimana pun, seram atau glamor, riasan tebal di wajah rocker laki-laki adalah sengatan yang menyita perhatian.
Sengatan itulah yang dialami Santoso Febri Nugroho (27) sejak lama. Dia menyukai musik rock era 1980-an seperti Guns N’ Roses dan Motley Crue yang dia dengar sejak sekolah. Begitu lulus SMA di Jakarta, Santoso merantau kuliah ke Malang—kota pegunungan di Jatim yang tenar sebagai salah satu barometer rock.
“Pokoknya tujuanku ke Malang waktu itu mau cari (musisi) glam rock. Eh, ternyata nggak ketemu, sampai sekarang, hahaha,” kata Santos, panggilannya, yang mendapat gelar sarjana dari Universitas Brawijaya tahun 2018 silam ini. Selepas SMA itu, rambut keriwilnya ia biarkan gondrong, menjuntai dan mengembang.
Demi pencariannya pada glam rock di Malang, Santos membikin band bersama gitaris Cakrawala Muhammad (25) bernama Larynx pada 2015. Alirannya, tentu saja, rock. Santos adalah vokalisnya. Bermodal tiga lagu ciptaan sendiri, Santos dan kawan-kawannya menjajal berbagai panggung di Kota Malang.
Ketika manggung, dia berdandan seperti para pionir glam rock. Kaus buntungnya ketat. Celananya ketat membungkus sepanjang kaki, atau kadang-kadang pendek saja. “Aku pakai lipstik pisan,” kata manajer penyanyi folk Iksan Skuter ini. Semua anggota bandnya berdandan semacam itu.
Awal-awal manggung, dandanan seperti itu jadi bahan cemoohan. Namun, Santos keras hati. Tak sedikit pun dia mengubah tampilannya. Bahkan di luar panggung pun, rambut gondrongnya ditambah jaket kulit, tetap menyita perhatian.
Dandan adalah strategi
Dandan begitu merupakan strategi band dia. “Tampilan visual (dandanan) seperti kilat, langsung menarik perhatian. Kudu kethok nemen (harus sangat terlihat). Setelah itu baru musiknya yang bergemuruh,” kata dia yang sekarang sedang mengurusi label Srawung Records ini.
Larynx pernah mengeluarkan album mini berjudul Rock Singkong pada 2017. Sekarang, mereka sudah menyiapkan tujuh lagu baru yang rencananya bakal dijadikan album penuh di pertengahan tahun ini.
Band semacam Larynx ini juga ada di kota-kota lain. Di Jakarta ada Gribs, dan Kras. Di Madiun ada Tumenggung. Di Yogyakarta ada Sangkakala dan Tiger Paw.
Sangkakala mengibarkan panji glam rock sejak 2005. Ikon mereka adalah macan, sesederhana karena vokalisnya, Hendra Blangkon, berasal dari Ponorogo, tempat asal kesenian reog. Para penggemar Sangkakala disebut “macanista”.
Salah seorang macanista itu adalah Muhammad Fardian Bazra (28). Sejak SMA, rambutnya gondrong. Beranjak kuliah, gayanya lebih sableng lagi: pakai sepatu bot atau kaus bermotif macan, dan bercelana ketat. Di antara sesama mahasiswa jurusan arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta, tampilannya itu teramat mencolok. Nggak ada yang menyangka dia anak teknik.
“Aku ganti nama jadi Brande El Tigre,” kata penyuka motor ini. “Brande El” mewakili sikapnya yang dia sebut berandalan, sementara “tigre” adalah macan, seperti Sangkakala. Tahun 2018, dia bikin band bernama Tiger Paw. Musiknya menderu cepat seperti Iron Maiden. Dia adalah vokalisnya sekaligus penulis lirik.
Di panggung, Tiger Paw berdandan menor. Bedak, lipstik, blush on, dan sesekali eyeliner mereka pakai. Mereka punya penata rias sendiri. “Tapi kalau budgetnya kecil atau waktunya mepet, ya, dandan seadanya. Paling dari pakaian doang,” kata Brande. Tapi berdandan tetap perlu.
Tahun lalu, mereka telah mengeluarkan album perdana berjudul sama dengan nama band. Tema lagu-lagunya bisa dibilang maskulin, seperti kriminalitas jalanan, atau serunya menunggang motor. Lagu berjudul “Joker”, misalnya, mencuplik fenomena kejahatan “klitih” yang sempat marak di jalanan Yogyakarta.
Walau terkesan beringas, lagu “Joker” punya pesan bagi kaum muda, seperti, “generasi muda, jangan ubah Jogja jadi medan klitih raya”. Kami sepakat.(HEI)