Melahap Aksara Sambil Menyesap Kopi di Kedai dan Ruang Baca Keren
Membaca buku bisa jadi aktivitas rekreasi dari rutinitas. Ada sejumlah tempat yang menyediakan ruang membaca yang nyaman, sekalius bisa menyeruput kopi.
Daya tahan membaca buku tiap orang berbeda-beda. Ada yang betah berlama-lama, ada yang sebentar saja sudah beralih. Kalau kamu termasuk golongan yang kedua, mungkin perlu suasana baru, dengan seduhan kopi yang nikmat. Kami mendapati ada beberapa tempat yang menyediakan kopi, juga buku.
Sekilas, rumah itu terlihat seperti rumah kebanyakan, apalagi lokasinya memang di permukiman. Pembedanya, ada papan nama bertuliskan “Suaka” di atas pagarnya. Rupanya, bagian garasi dan pekarangan rumah itu adalah warung kopi, juga perpustakaan. Ya, namanya Suaka, di daerah Rawa Buntu, Gading Serpong, Tangerang Selatan.
Banyak kertas tertempel memenuhi sisi dinding yang tak jauh dari pintu masuk. Tulisannya adalah bait-bait puisi. Sebelum memesan kopi, bolehlah menyempatkan menikmati puisi. Dapur tempat barista bekerja, dan meja lesehan bagi pengunjung tak jauh dari dinding berpuisi itu.
Buku-bukunya berada di ruangan terpisah dari area itu. Di perpustakaan itulah, Metta Asriniarti (29), pendiri sekaligus pustakawan Suaka banyak menghabiskan waktu menyampul buku-buku.
Metta mendirikan Suaka bersama adiknya, Gonzaga Sidharta (25) pada Oktober 2017. Awalnya, Aga, sang adik, ingin punya kedai kopi, sementara Metta berencana membuat sesuatu yang berhubungan dengan buku. Maka diputuskan saja menggabungkan keduanya.
Dulunya, Metta kerap meriung di warung kopi. Lama-kelamaan, karena makin sering datang ke warung kopi untuk melepas penat setelah bekerja, muncul gagasan untuk membuat sendiri di rumah. Dia jadi punya ruang untuk membaca.
Pada mulanya, koleksi bukunya tak terlalu banyak, karena sekadar difungsikan untuk memantik perbincangan di antara pengunjung. Dia lalu merasa perlu menambah koleksi buku di Suaka, sehingga koleksi pribadinya pun ikut dipajang.
“Seiring ketemu dengan banyak orang, banyak yang tanya, ‘Boleh nggak sih kita naruh buku di sini juga karena di tempat gue udah nggak kebaca’. Jadi, mereka punya niat baik ‘menangkarkan bukunya di sini,” tutur Aga.
Sejauh ini tak kurang dari 790 judul buku di sana, meski belum semuanya dipajang. Sisanya masih di kardus, menunggu untuk dikurasi. Mereka berdua berencana membuat sistem peminjaman buku untuk umum.
Walaupun melabeli tempat mereka sebagai warung kopi, Metta dan Aga punya visi memberikan wadah bagi pembaca buku, dan mengenalkan bahwa membaca buku itu keren dan seru, sama kerennya dengan menikmati kopi.
Mereka lantas merancang sejumlah program bagi pelanggan, maupun pengunjung baru. Salah satunya adalah Bakar, alias Baca Karya. Pengunjung bisa membaca karya puisi, atau bahkan lagu. Beberapa dari mereka membacakan karyanya sendiri.
Karya-karya itu tak berhenti pada acara Bakar saja. Suaka mengompilasi karya-karya itu menjadi zine bernama Wacaan, dan dibagikan gratis. “Wacaan singkatan dari wacana yang jadi bacaan,” ucap Aga. Sebagian karya itu juga diunggah ke situs web Suaka.
Selain Bakar, ada pula Resap, alias Refleksi Sastra Pemula. Pengunjung diajak mendiskusikan beragam tema keseharian dengan karya sastra sebagai pemicu obrolan. Kadang, tema diskusinya bisa tentang kenangan masa kecil, atau fenomena golput.
Pekarangan rumah dijadikan sebagai pentas musik bernama Sekarang, alias Sejam di Pekarangan. Sebulan sekali, setiap bulan purnama, ada program bernama Bisik-bisik Tetangga. Di sini, mereka tidak memutar musik, apalagi pertunjukan band. Senyap. Pengunjung saling mengobrol dengan bisik-bisik.
Rizal (25) adalah salah satu pelanggan setia Suaka. Dia biasa datang ke sana setelah pulang kantor, yang kebetulan tak jauh dari Suaka. “Menu kedai kopi, ya biasanya itu-itu saja, kan. Tapi di sini yang unik ya perpustakaannya,” kata dia yang kalau sudah memegang buku di Suaka bisa berjam-jam.
Sambil selonjoran
Pengalaman serupa juga dialami Raras Prajnasmita (20) yang sedang berkunjung di perpustakaan Baca di Halaman di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Pada Minggu (2/2/2020) siang menjelang sore itu, Raras terlihat khusyuk membaca novel Jepang klasik I am a Cat karya Natsume Soseki. Sesekali Raras menyeruput kopi di cangkir kertas.
“Baca buku di sini rasanya lebih santai, bisa sambil selonjoran segala,” kata mahasiswi Universitas Bina Nusantara ini. Minggu siang selepas hujan itu, Raras mengambil posisi di pojok ruangan berpendingin udara dengan lantai berlapis karpet. Tubuhnya nyaris tenggelam dalam bean bag empuk. Enak banget seperti di kamar sendiri.
Ruang membaca di Baca di Halaman tak hanya di dalam area dari kontainer bekas itu. Pengunjung bisa memilih buku koleksi Annisa Sekaringtias (24), pendirinya, lalu dibawa ke teras. Suasana di teras ini lebih syahdu lagi. Pengunjung bisa selonjoran di karpet yang juga ada bean bag, dinaungi dedaunan rimbun pohon rambutan. Kalau beruntung, rambutannya boleh dipetik. Namun kalau hujan, teras itu tak bisa ditempati.
“Aku punya kecenderungan, kalau habis membaca buku, pengalamannya ingin aku bagikan ke orang lain,” kata Sekar. Semula ia memboyong 300-an koleksi bukunya ke tempat itu. Lama-kelamaan, ada teman-teman yang menitipkan bukunya di sana, dan ada juga yang ia dapat dari penerbit. Sekarang koleksi buku di sana sekitar 400-an judul.
Pengunjung boleh memilih buku apa pun setelah membeli setidaknya secangkir kopi, atau es krim. Kalau mau melanjutkan baca di rumah, bisa disewa dengan harga Rp 15.000 sampai Rp 35.000 per buku, per 10 hari. Tapi kalau jadi anggota, dengan membayar Rp 150.000 per tiga bulan, tak perlu lagi mengeluarkan biaya tambahan.
“Sekarang sudah ada 46 anggota, dan 1.500-an followers Instagram,” kata Sekar yang sedang pakai kaus band kesukaannya, The National. Dia mencintai musik, seperti halnya buku. Makanya, di perpustakaan itu, ada koleksi piringan hitam juga, lengkap dengan pemutarnya. Silakan dicoba.
Sekar menempatkan perpustakaannya sebagai tempat singgah bagi mereka yang hendak menepi sejenak dari keriuhan kota. Dia sendiri merasa membutuhkan itu setelah bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta.
Salah satu program yang baru berjalan satu kali di sana adalah Baca Bareng di Halaman. “Nggak ada acara khusus. Pengunjung tinggal datang saja, boleh bawa buku sendiri dari rumah, boleh dari sini. Nggak ada pembicara, nggak ada forum diskusi formal,” kata dia.
Sekar mengaku terinspirasi dari perpustakaan Kineruku di Bandung, kota tempat dia berkuliah, dan C2O di Surabaya yang juga pernah dia tinggali. Kineruku sendiri sudah ada sejak 2003. Koleksi bukunya lebih dari 7.000 judul. Tak perlu khawatir kelaparan ketika baca buku di Kineruku. Menu makanan dan minumannya banyak.
Tempat baca yang asyik lainnya adalah Post Santa di Pasar Santa, Jakarta Selatan. Selain bisa membeli, pengunjung juga boleh baca di tempat. Pengelolanya memang tak menjual kuliner. Namun, ada banyak pilihan menu yang enak-enak di pasar itu, dan boleh dinikmati sambil baca buku.
Jadi, kalau lagi ingin mencari suasana baru sambil baca buku, bolehlah mampir ke tempat-tempat itu. Jangan lupa bertegur sapa dengan pengelolanya. Mereka pasti senang.(*)