Rehat Sejenak dari Media Sosial
Berselancar di media sosial tidak lagi mengasyikkan apabila kita dijejali dengan kabar bohong. Sebagian anak muda memilih untuk menghapus akun medsosnya karena gerah dengan hal-hal negatif yang bertebaran di medsos.
Banyak orang menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menjalin komunikasi, mendapatkan informasi, atau berbagi inspirasi. Tetapi, banyak pula pengguna yang merasa terganggu karena medsos menjadi ruang berbagi kabar bohong, tempat perundungan, dan penyebaran dokumen pribadi. Mereka yang terganggu memilih rehat sejenak dari dunia maya.
Jajak pendapat Litbang Kompas memotret kebiasaan 574 responden mahasiswa di 34 provinsi dalam bermedia sosial. Ternyata, medsos tidak dimaknai sama oleh generasi muda. Hampir seratus persen responden mengaku memantau medsos. Lebih dari tiga perempat responden sangat aktif bermedsos. Sisanya hanya kadang-kadang saja atau jarang memantau medsos.
Alasan mereka memantau medsos pun beragam. Hampir tujuh dari sepuluh responden memantau medsos untuk mengetahui situasi terkini. Tiga belas persen di antaranya mengaku ingin mengetahui update teman dari medsos. Bukan hanya untuk mengetahui situasi di luar dan ingin tahu cerita teman, 11 persen responden sengaja eksis melalui medsos. Mereka membagikan kisah mereka dengan update apa yang mereka lakukan melalui akun medsos mereka.
Selain konten pribadi, beragam unggahan bisa ditemukan di media sosial. Banyak promosi produk berseliweran, seperti fashion, kosmetik, makanan, dan lainnya. Bahkan bisa jadi konten-konten hoaks pun turut hadir di medsos. Beragamnya konten yang ditemukan saat bermedsos menimbulkan beragam respons di kalangan generasi muda. Delapan dari sepuluh responden merasa biasa saja atau tidak terpengaruh dengan beragamnya konten tersebut.
Namun, sisanya merasa terganggu dengan beragam unggahan tersebut. Bahkan menjadi stres karena menimbulkan banyak keinginan saat melihat beragam penawaran produk di medsos. Kisah pribadi yang dibagikan pun, tidak jarang dianggap sebagai ajang ”pamer” yang menimbulkan rasa iri sebagian responden.
Kenanga Sekar Putri (22), mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, mengatakan, dirinya sudah beberapa kali menutup akun Instagram dan Twitter. ”Instagram aku tutup karena menyita waktu belajar. Apalagi ketika menjelang ujian tengah semester atau ujian akhir semester, godaan main Instagram banyak banget,” katanya, dihubungi dari Jakarta, Senin (16/3/2020).
Selain menyita waktu, Kenanga merasa Instagram kerap membuatnya merasa insecure karena melihat pencapaian orang lain. ”Ketika aku melihat foto teman sidang skripsi atau wisuda, aku merasa tidak aman. Aku jadi bertanya-tanya, kapan ya aku lulus. Tetapi, setelah aku pikir-pikir, setiap orang, kan, punya pencapaian dan tantangan masing-masing dalam proses kuliah itu. Jadi, sekarang aku berusaha santai,” ujar Kenanga.
Kenanga juga merasa terganggu dengan berita bohong yang bertebaran di Twitter selama Pilpres 2019. Untuk mengurangi aliran berita bohong, awalnya ia menyembunyikan akun penyebar hoaks dan menutup (deactive) beberapa kata kunci. Meskipun begitu, kabar bohong tetap muncul sehingga ia menutup akun Twitter selama masa pilpres. ”Begitu aku tutup, hidupku lebih tenang. Tidak ada yang mengganggu pikiran sehingga bisa lebih fokus dan lebih tenang menjalani hidup,” ujarnya.
Kenanga menambahkan, anak muda harus bijak dalam menggunakan akun media sosial. ”Cara bijak itu dimulai dari tujuan kita sendiri ketika mendaftar akun itu untuk apa, apakah untuk berbagi pengalaman, mencari informasi, mencari berita, atau sekadar untuk mengisi waktu luang. Semua bisa dilakukan, tetapi kita harus tahu porsinya. Selain itu, kita juga harus mawas diri terhadap ’akun-akun nakal’ yang sering membuat gaduh warganet, seperti dengan menyebar hoaks dan kebencian,” katanya.
Kecanduan medsos pernah dialami Adi Dwi Putra Harsono (26), mahasiswa Jurusan Penyiaran Universitas Bina Sarana Informatika. Adi menjadi antisosial sehingga jarang bertemu atau membalas chat teman. ”Aku baru sadar ketika melihat history penggunaan aplikasi telepon, ternyata yang paling sering dipakai Instagram. Jaraknya bahkan lebih jauh dari aplikasi obrolan seperti Whatsapp,” katanya.
Pada 2018, Adi kemudian memutuskan menghapus akun media sosial dan menjalani detoksifikasi selama dua tahun terakhir. Ia pun menemukan dunia barunya, yaitu menciptakan lagu dan membuat band Lucky Pit-tru Colors bersama teman-teman. Adi pun sudah kembali mendaftar akun Instagram, tetapi akun itu lebih sering digunakan untuk mempromosikan aktivitas band.
Perjuangan untuk lepas dari medsos tengah dilakukan oleh Ery Rambu (23), mahasiswa Jurusan Akuntansi STIE Perbanas Surabaya. Ery termasuk aktif menggunakan medsos. Selama ini, ia kerap mengakses Instagram untuk menonton konten-konten selebgram, seperti mukbang, make up, atau jalan-jalan.
Dia bisa membuka medsos mulai dari bangun tidur hingga siang. Selesai beraktivitas, ia akan lanjut membuka medsos hingga malam hari tanpa lelah. Namun, Ery mengakui, dirinya mulai masuk pada tahap untuk mengurangi penggunaan medsos selama beberapa hari terakhir.
”Aku mencoba log out dari medsos karena terlalu sering mengakses tidak baik untuk kesehatan. Aku juga sering merasa stres karena jumlah respons yang diterima di medsos turun atau sedikit. Awalnya merasa agak stres karena ingin mengunggah foto, tetapi aku menahan diri dan mengganti kegiatan dengan membaca buku dan menulis diari,” tuturnya.
Sesuai keperluan
Rizky Nauli Saputra (21), mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, juga pernah ketagihan medsos. Setiap hari ia pasti mengunggah satu foto, meninggalkan komentar, atau menyukai foto temannya. Lama-lama, ia merasa akun medsos lebih sering dipakai untuk menyebar kebencian kepada sesama teman atau menyakiti adik kelas di SMA dengan komentar-komentar pedas.
Akhirnya, perempuan yang kerap disapa Kiki ini menutup akun dan menghapus aplikasi medsos dari ponsel agar berhenti melakukan perundungan dan menjauh dari teman-teman toxic. Lama-kelamaan, Kiki berhenti ketagihan dengan medsos dan hanya menggunakannya sesuai keperluan, seperti untuk riset penelitian, membaca berita, atau berkomunikasi dengan teman lama.
”Sekarang aku sadar, apa yang kita posting di medsos bukan diri kita yang sebenarnya. Semua ini adalah rekayasa, semua yang kita bangun hanya ada di kepala, bukan sesuatu yang nyata. Aku dulu merasa stres kalau enggak dapat like banyak. Aku merasa postingan-ku jelek dan enggak menarik, padahal sebenarnya enggak ada yang salah,” ujarnya.
Albert Kirana S (25), mahasiswa Teknik Sipil Southeast University, China, menambahkan, keberadaan medsos adalah sebagai wadah untuk menjaga hubungan pertemanan, menyimpan memori, dan mencari berita. Namun, dirinya bukan orang yang harus membuka medsos setiap saat.
”Aku menggunakan Instagram untuk melihat berita, posting teman-teman, olahraga, dan konten motivasi. Aku sering membuka medsos kalau bosan atau enggak ada kerjaan, tetapi kalau ada kerjaan, aku enggak masalah untuk enggak buka medsos. Jadi, bisa dibilang masih bisa kontrol diri,” tutur Albert.
Hati-hati
Psikolog Anna Surti Ariani mengatakan, sebenarnya medsos memiliki banyak manfaat untuk anak muda. Contohnya, mereka bisa mengikuti tren terbaru, memahami isu yang sedang terjadi di masyarakat, menunjukan eksistensi, dan mencari tempat curhat.
”Nah, medsos perlu digunakan secara hati-hati. Pengguna medsos tidak bisa sembarangan mengunggah pesan dan data identitas personal serta bertanggung jawab dengan tidak menyebar informasi tidak valid. Mereka juga harus mengetahui siapa teman-teman di sosmed dan tidak sekadar mencari like,” kata Anna.
Menurut Anna, sejumlah strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap medsos, seperti dengan detoksifikasi, adalah salah satu hal yang bisa dilakukan. Namun, para pengguna medsos juga dapat mengalihkan kecanduannya dengan melakukan kegiatan lain.
(Agustina Purwanti/Litbang Kompas)