Saat ini, banyak produk sepatu lokal yang disukai anak muda. Bahkan, sepatu lokal sudah melanglang dunia.
Oleh
Soelastri Soekirno & Mediana
·6 menit baca
Sepatu lokal buatan anak muda Tanah Air kini menjadi buruan remaja hingga orang dewasa. Bahkan, sepatu model ”sneaker” , ”loafers”, dan ”boot” produksi mereka sudah menjelajah ke negara di Asia, Eropa, dan Amerika. Harga sepatu yang mencapai Rp 4 juta sepasang tak menjadi penghalang bagi pembeli yang berebut untuk mendapatkan.
Alas kaki yang sedang naik daun itu antara lain diproduksi oleh Pijak Bumi, Chevalier, dan PVRA. Tiga merek sepatu itu memiliki keistimewaan masing-masing, tetapi dari tampilannya tampak bahwa model dasar Pijak Bumi cenderung ke sneaker, Chevalier banyak bermain di model loafers dan boot. Sementara itu, PVRA memproduksi sepatu spesial buat cewek yang serba ”bling-bling” dengan hiasan manik dan permata.
Rowland Asfales (28), pendiri Pijak Bumi, sejak awal mendirikan perusahaan pada 2017 bertekad membuat sepatu dari bahan dan cara pembuatan yang ramah lingkungan. Konsekuensinya ia harus bekerja keras mendapatkan bahan-bahan yang bersahabat dengan alam sekaligus nyaman dipakai pengguna.
Sneaker pertama karya pemuda lulusan Jurusan Seni Rupa Institut Tekonologi Bandung itu terbuat dari kulit sapi samak nabati. Bahan bakunya memang kulit sapi, tetapi proses penyamakan, pewarnaan dilakukan secara alami alias tanpa memakai bahan kimia.
Proses penyamakan dan pewarnaan memakan waktu 30 hari, jauh lebih lama daripada proses penyamakan dan pewarnaan kulit dengan bahan kimia yang cukup makan waktu satu-dua hari.
Pewarna yang digunakan berasal dari tumbuhan seperti kencur, kunyit, dan aneka daun. Ia terus berinovasi mencoba bahan baku lain untuk pewarnaan misalnya dari ampas kopi dan aneka bunga. Untuk bagian atas sepatu selain kulit, ia mencoba membuat dari sabut kelapa dan katun organik. Sementara itu, sol sepatu dari karet alam.
Memang tak mudah menemukan kulit jenis itu, tetapi kerja kerasnya membuat produk Pijak Bumi berkibar di Jerman, Spanyol, dan Jepang. Baru-baru ini, produk Pijak Bumi menang dalam kompetisi Emerging Designers yang diikuti perusahaan seluruh dunia.
Prestasi itu membawa sepatu karya Rowland Asfales, yang akrab dengan panggilan Fales, tampil di panggung MICAM Milano 2020, pameran perdagangan internasional industri profesional alas kaki sedunia pada akhir Februari lalu di Fiera Milano, Italia. Sebelumnya sepatu Pijak Bumi pernah tampil di Amazon Tokyo Fashion Week 2018.
Kehadirannya di Tokyo membuat pengusaha Jepang memesan produk sepatu dari Bandung itu untuk dijual di Jepang. ”Baru-baru ini kami mengirim satu kontainer sepatu. Sepertinya itu menjadi awalan untuk melihat prospek bisnis di sana,” ujar Fales, Senin (16/3/2020), di Bandung.
Sejauh ini, produk Pijak Bumi selalu menjadi rebutan pembeli. Fales dan tim hanya menjual produk di situs resmi dan Instagram. Setiap kali mereka mengunggah produk baru, penggemar bersaing keras supaya mendapat kesempatan membeli.
Penggemar umumnya memilih produk dengan harga Rp 375.000-Rp 1,8 juta per pasang. Mereka membeli bukan karena misalnya pemain film Sheila Dara Aisha yang berperan sebagai Aurora di film Nanti Kita Cerita Hari Ini memakai sepatu sneaker seri Atom Akkar buatan Pijak Bumi.
Atom Akkar berbahan baku kombinasi kulit samak nabati, kain korduroi kapas, dan limbah sabut kelapa kasar berwarna coklat.
Meillinda (28), penggemar berat sepatu Pijak Bumi, mengaku jatuh cinta pada produk Pijak Bumi. Sejauh ini ia memiliki delapan pasang sepatu Pijak Bumi. Tak hanya untuk dirinya sendiri, ia kerap membeli untuk hadiah bagi kawan-kawannya.
”Aku cocok dengan produk Pijak Bumi karena ramah lingkungan dan nyaman digunakan. Tiap hari aku mesti jalan untuk ke stasiun MRT, lalu menuju tempat tujuan lain, nyaman dengan sneaker yang modelnya update,” ujarnya.
Sambutan penggemar membuat Fales dan tim memacu diri untuk terus membuat terobosan baru. ”Tahun ini kami berencana membuat pabrik sendiri dengan harapan kapasitas produksinya makin besar sehingga bisa memenuhi permintaan pasar,” kata Fales.
Buatan tangan
Jika Fales membuat model sepatu masa kini, Egar Putra Bahtera (29), pendiri Chevalier, khusus membuat sepatu bermodel klasik, boot, dan loafers untuk pria dan wanita. Chevalier didirikan tahun 2011 saat ia masih mahasiswa tingkat dua jurusan pertambangan di salah satu universitas di Bandung.
Kala itu dia memang melihat belum ada sepatu merek lokal berbahan kulit yang dikemas premium. ”Makna premium bisa berarti mekanisme produksi atau bahan baku kulit yang dipakai,” ujarnya.
Harga sepatu merek Chevalier dipatok mulai Rp 899.000 sampai Rp 5 juta per pasang.
Pada tahun pertama, dia menggunakan bahan baku kulit dari dalam negeri. Kemudian, tahun kedua, dia mencoba memanfaatkan kulit produksi Horween, pabrik kulit asal Chicago, Amerika Serikat. Hasilnya, sepatu berbahan kulit produksi Horween yang dijual Rp 2 juta laku terjual.
Egar menyimpulkan pasar Indonesia ternyata bisa menerima. Sampai sekarang, dia memakai kulit produksi luar negeri, tanpa meninggalkan pabrikan lokal.
Menurut Egar, penerimaan pasar Indonesia terhadap sepatu kulit, utamanya kulit premium, semakin baik. Ini terbukti ketika Egar membuka pre-order sepatu berbahan kulit Shell Cordovan di Instagram. Dia membolehkan calon konsumen memilih desain yang pernah Chevalier buat. Harga dipatok sekitar Rp 4 juta per pasang.
”Hanya dalam waktu enam jam, saya tutup penawaran itu. Saya tidak menyangka antusiasme konsumen yang juga pengikut akun Instagram Chevalier begitu tinggi,” lanjut Egar.
Egar menyerahkan pembuatan sepatu produknya kepada perajin di Bandung. Oleh karena dikerjakan perajin, dia sering mengedukasi calon konsumennya.
”Saya bilang setiap produksi sepatu Chevalier dikerjakan oleh tangan perajin yang memungkinkan produksinya lama. Tidak bisa dibandingkan dengan merek lain karena setiap tangan bisa menghasilkan mutu berbeda,” kata Egar.
Merek Chevalier yang digandrungi anak muda berusia 25-35 tahun, selain digunakan pemain film Marsha Timoty saat menghadiri Cannes Film Festival, juga menjadi satu-satunya merek lokal Indonesia yang hadir di Capsule Trade Show di New York. Capsule menjadi ajang pertemuan dagang antara pelaku industri mode dan pembeli global.
Beda lagi ceritanya dengan PVRA yang didirikan sejak 2015. Co-founder dan Creative Director PVRA, Kara Nugroho (33), menceritakan, sebagian besar ide kreatif sepatunya muncul dari pengalaman hidup sehari-hari.
PVRA didirikan dengan semangat menghadirkan warna baru di pasar alas kaki lokal. Pada tahun 2015, Kara mengaku belum melihat ada alas kaki untuk perempuan muda buatan lokal yang dipadukan aksesori manik-manik.
”Makanya, kami desain alas kaki sekaligus manik-manik tiga dimensi yang menjadi pembeda dengan merek lain,” kata Kara.
Keunikan lain alas kaki tersebut punya sol klasik berbentuk hati supaya pemakainya meninggalkan jejak baik di tiap langkahnya. Setelah tiga tahun hanya berjualan secara daring, PVRA akhirnya membuka toko fisik di Mal Pacific Place Jakarta.
Dengan cara itu, konsumen bisa melihat, memegang, dan mencoba langsung alas kaki tersebut. Sepatu yang girly banget itu pernah tampil di pergelaran London Fashion Scout dan Seoul Fashion Kode.