Kegiatan belajar di rumah yang dilakukan akibat pandemi Covid-19 tak mudah dijalankan. Dengan caranya masing-masing, para siswa SMA berusaha untuk memahami setiap pelajaran.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Sepekan terakhir, sekolah-sekolah di sejumlah daerah memberlakukan pembelajaran daring akibat meluasnya pandemi Covid-19 di Indonesia. Rata-rata, kegiatan belajar-mengajar daring berlangsung selama dua pekan, yakni 16-29 Maret 2020.
Praktik pembelajaran daring mendapat tanggapan beragam dari para pelajar karena sekolah-sekolah menggunakan sejumlah platform berbeda untuk menyampaikan materi sesuai kebutuhan. Para pelajar memiliki pengalaman positif dan negatif dari metode tersebut.
Angela Merrici Basilika Rain (17), pelajar kelas XI SMAN 1 Magelang, Jawa Tengah, menceritakan, beberapa gurunya menginstruksi untuk mengunduh aplikasi, seperti Google Classroom dan Edmodo, untuk melihat soal dan mengirim jawaban. Selain itu, guru lain juga menyuruh mereka mengirim tugas melalui surel.
”Dalam beberapa pelajaran, ada juga guru yang menginstruksi kami untuk mempelajari materi dari Google, Youtube, buku paket, atau sumber referensi lain. Mereka biasanya memberi kami tenggat pengumpulan tugas, tetapi ada juga yang dikumpulkan saat masuk sekolah nanti,” kata Angela ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (23/3/2020).
Dalam sehari, Angela bisa belajar dari siang hingga sore sekitar lima jam, tetapi bisa lebih jika ia belum menyelesaikan tugasnya. Ia juga lebih memilih untuk mengerjakan tugas pada malam hari agar suasana sepi. Waktu belajar seperti ini lebih santai dibandingkan masa sekolah normal saat ia harus belajar mulai dari pukul 06.45 sampai 15.45.
”Aku senang-senang aja belajar di rumah karena tidak harus bangun pagi dan ada banyak waktu dengan keluarga, terutama kakak dan adik. Namun, aku agak kesulitan untuk menyesuaikan waktu dari rutinitas sekolah yang biasanya setengah hari, tetapi sekarang full time di rumah. Belajar dari rumah membuat waktu belajarnya menjadi tidak efektif dan kurang efisien,” ujarnya.
Selain itu, Angela juga jadi tidak fokus mempelajari materi belajar karena tidak bertemu langsung untuk berdiskusi dengan guru atau teman-teman. Tidak jarang, ia juga merindukan interaksi dan bekerja sama dengan teman-temannya atau menongkrong di kantin sekolah.
Cheryl (16), pelajar kelas X SMA Pangudi Luhur, Jakarta, menambahkan, sejak libur pada 16 Maret, sekolahnya menggunakan Google Classroom dan Zoom untuk berinteraksi. ”Biasanya pagi kami teleconference dengan Zoom sama wali kelas untuk absen. Selanjutnya, kami dikasih tugas sama guru mata pelajaran,” ujarnya.
Ia melanjutkan, dalam satu hari dirinya bisa belajar tiga jenis mata pelajaran secara daring. Ketika sekolah normal, Cheryl bisa belajar hingga empat mata pelajaran sehari. Jadwal belajar daring di sekolahnya hampir menyamai waktu sekolah normal karena bisa mencapai tujuh jam, yaitu dari pukul 07.30 hingga 14.30.
”Selama belajar secara daring, aku ada perasaan seneng dan sedih. Senang karena bisa belajar sambil tiduran, tetapi sedih karena bosan di rumah terus. Mendingan ke sekolah bisa ketemu teman-teman,” kata Cheryl.
Menurut dia, belajar secara daring juga kurang efektif. Hal ini karena Cheryl merasa lebih memahami suatu materi apabila dijelaskan secara tatap muka dengan guru.
Tantangan teknis
Angela menuturkan, tantangan teknis juga muncul ketika belajar secara daring. Awalnya, ia sempat panik ketika harus mengunduh aplikasi-aplikasi wajib untuk belajar oleh sekolah. Kapasitas memori ponsel pintarnya penuh sehingga ia terpaksa menghapus sejumlah aplikasi media sosial.
”Aku juga jadi boros kuota. Kadang juga belajar pakai laptop, tetapi kalau ada anggota keluarga yang butuh aku harus gantian. Laptop di rumah kadang dipakai kakak yang bekerja sebagai teknisi komputer, ayah yang bekerja sebagai guru, atau adik buat mengerjakan tugas juga,” kata Angela.
Maria Oktaviana (18), pelajar SMAN 7 Tangerang Selatan, menuturkan, sekolahnya ikut menerapkan pembelajaran daring. Sebagai pelajar tingkat akhir, ia menggunakan Schoology untuk mengerjakan soal-soal try out ujian nasional dan berkomunikasi dengan guru via Whatsapp. Namun, beberapa temannya tampaknya cukup kaget dengan metode belajar daring menggunakan platform belajar yang baru.
”Belajar daring ini menjadi PR untuk teman-temanku yang masih gagap alias jarang main internet dan terbatas secara finansial. Sekolah menyarankan murid yang tidak memiliki laptop untuk meminjam kepada saudara atau kerabat terdekat. Jika perlu, jangan sampai keluar rumah atau bahkan warnet,” ujar siswa yang akrab disapa Viana ini.
Belajar hal baru
Terlepas dari tantangan yang ada, Viana menemukan hal baru ketika belajar secara daring. Dia menjadi lebih aktif bertanya, mengetahui kemampuan diri, dan terpacu untuk belajar lebih rajin.
”Sekolah aku membentuk grup Whatsapp khusus untuk peminatan ujian nasional. Aku memilih Kimia. Guru memberikan soal-soal di grup itu. Aku sampai heran, teman-teman lain begitu pandai dan sempat minder karena hanya aku saja yang rajin bertanya. Aku rada malu, tetapi daripada tersesat di jalan,” tutur Viana.
Di sela-sela pembelajaran formal dan les privat, ia juga berinisiatif mengunduh aplikasi lain untuk belajar, seperti Ruangguru dan Rumah Belajar. Ia memanfaatkan platform-platform ini untuk mengasah kemampuan dalam mengerjakan soal menjelang ujian nasional. ”Belajar daring membantu aku untuk mandiri. Semangat aku bangkit untuk terus belajar dalam kondisi apa pun,” kata Viana.