Band atau musisi perlu memikirkan monetisasi konser ”streaming” mereka agar bisa menyenangkan berbagai pihak: penonton, band, dan manajemennya, juga para pekerja panggung musik.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Industri pertunjukan musik di dalam dan luar negeri sedang terhenti lantaran pandemi Covid-19. Menyiarkan pertunjukan langsung lewat internet bisa mengisi kekosongan arena konser sebagai buntut dari larangan membuat kerumunan massa. Namun, diperlukan strategi mujarab agar roda industri pertunjukan musik tetap berputar.
Band rock dari Bali, Navicula, menggelar pertunjukan bertajuk ”Corona Concert” dari Denpasar pada Jumat (20/3/2020). Seperti judulnya, acara itu adalah konser sebagaimana mestinya; tata suara menggelegar dan lampu berkilatan menyinari panggung setinggi sekitar 50 sentimeter. Bedanya, lantai dansa untuk penonton kosong melompong.
Penontonnya ada di rumah masing-masing. Mereka menyimak konser itu lewat kanal Youtube Naviculamusic. Ketika konser baru mulai, tercatat ada 700-an penonton dan bertambah dua kali lipat di ujung konser. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan kapasitas arena halaman terbuka studio Antida.
Keriuhan terasa di ruang komentar. Penonton menuliskan celetukan-celetukan yang umum terdengar di arena konser, seperti ”Woy, turunkan spanduknya!”, atau ”Bang, minta air, Bang!”. Personel band tak menanggapi langsung, tetapi ada petugas atau admin yang menjaga obrolan tetap asyik.
Navicula membawakan 12 lagu dengan durasi satu jam lebih sedikit. Salah satu lagu yang mereka usung adalah ”Mafia Medis” yang didedikasikan untuk para tenaga kesehatan yang berjibaku di garis depan memberantas virus korona di tengah minimnya ketersediaan alat perlindungan.
Andaikata konser itu dihadiri penonton di arena dengan harga karcis—katakanlah—Rp 50.000 per orang, Navicula bisa meraup uang tak kurang dari Rp 75 juta. Keuntungan bisa bertambah dari penjualan pernak-pernik, seperti kaus. Namun, itu hanyalah pengandaian. Pertunjukan itu gratis. Siapa pun dengan kuota internet bisa menontonnya.
Namun, bukan pengumpulan oranglah yang menjadi tujuan penyelenggaraan konser. Menyiarkan pertunjukan langsung melalui internet justru upaya Navicula untuk menghibur penonton yang berdiam diri di rumah, menghentikan penyebaran virus korona.
Kami perlu mendukung imbauan berdiam diri di rumah. Sebagai band, dukungan yang bisa kami lakukan adalah lewat konser. Supaya lebih didengar, konsernya perlu dibikin serius.
”Kami perlu mendukung imbauan berdiam diri di rumah. Sebagai band, dukungan yang bisa kami lakukan adalah lewat konser. Supaya lebih didengar, konsernya perlu dibikin serius,” kata vokalis Navicula, Gede Robi, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (24/3/2020).
Keseriusan yang dimaksud Robi adalah membuat pertunjukan dengan perlengkapan mumpuni. Mereka memakai tata suara yang sanggup didengar 1.000 orang secara langsung. Kebutuhan gambar dipasok dari penggunaan empat kamera sekaligus. Kualitas suara yang disiarkan pun ditata pakarnya, tak hanya mengandalkan mikrofon kamera.
Minim pekerja
Pekerja yang dilibatkan sesedikit mungkin, menyesuaikan anjuran tak menciptakan kerumunan orang. Empat personel Navicula didampingi masing-masing satu petugas teknis dan seorang penata suara. Empat kamera dioperasikan masing-masing satu orang.
”Ditambah lagi empat orang dari manajemen band sebagai admin medsos, sekaligus menjaga gerbang supaya enggak ada orang masuk. Ada seorang dari desa adat juga yang ikut bantu keamanan,” ucap Robi.
Jumlah pekerja di konser itu lebih sedikit dibandingkan dengan menggelar konser reguler dengan penonton. Navicula dimudahkan karena tidak perlu membangun panggung. Peralatan suara dan lampu disediakan dari Studio Antida, tanpa perlu mengusung dari tempat lain.
”Kami tak menyewa peralatan, tapi membayar tenaganya secara profesional, termasuk para kru kami,” kata Robi. Mereka menyadari pembatalan beragam pertunjukan musik berdampak langsung pada pendapatan para awak panggung.
Modal produksi pertunjukan ini dipenuhi oleh lembaga nirlaba Kopernik, sebagai sponsor acara. Sedangkan internet untuk menyiarkan materinya disokong penyedia Indihome. Sponsor lain di acara ini adalah PT Akar Rumput, manajemen yang menaungi Navicula, dan Narasi.
Menggalang kerja sama dengan sponsor adalah salah satu strategi band atau pemusik supaya bisa menggelar pertunjukan tanpa penonton di masa sulit seperti saat ini. Meski begitu, mencari sponsor pada era penuh keterbatasan saat ini bukan pekerjaan mudah.
Pengamat musik Wendi Putranto menilai, menyiarkan pertunjukan langsung (live streaming) secara gratis saat ini bisa menyenangkan banyak pihak. Band atau musisi bisa menyalurkan ekspresinya. Sedangkan penggemar bisa menuntaskan kerinduan kepada idolanya atau setidaknya mendapat alternatif hiburan kala mengurung diri di rumah.
”Konser streaming adalah solusi buat rohani di saat seperti ini. Tapi, kalau terus-terusan, akan memberatkan band karena ada biaya produksi yang harus dikeluarkan. Kalau kondisi (sulit) ini berlangsung lama, perlu dipikirkan cara yang menyenangkan berbagai pihak,” kata penulis buku Rolling Stone Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik ini.
Tiket ”virtual”
Menghimpun kerja sama dengan sponsor, seperti yang dilakukan Navicula, adalah salah satu strateginya. Cara lainnya, lanjut Wendi, adalah memberlakukan sistem pay-per-view pada konser streaming. Dia mencontohkan konser peluncuran album band metal AS, Code Orange, pada akhir pekan lalu. Penonton membayar untuk bisa menonton siaran konser di platform Twitch yang mereka gunakan.
Pemusik atau band yang menggelar konser streaming bisa menggandeng perusahan manajemen karcis untuk membantu mereka mengurusi tiket virtual. Prinsipnya sebenarnya sama dengan menjual tiket konser reguler. Hanya saja, karcis ini berupa kode tertentu untuk mendapat akses ke tayangannya.
Band Zeke and The Popo asal Jakarta semula berencana menggelar konser reuni di gedung pertunjukan di Jakarta Selatan pada 20 Maret lalu. Tiket sudah mulai dijual sebulan sebelumnya, bahkan penjualan gelombang pertama sudah ludes terbeli. Namun, Covid-19 yang semakin mewabah membuat pemerintah menganulir izin pertunjukan itu.
Mereka akhirnya merekam penampilan tanpa penonton di Black Studio pada tanggal yang sama dengan tanggal konser. Rekaman penampilan itu nantinya bisa disaksikan pembeli tiket mulai 3 April mendatang, ditambah bonus satu lagu baru. Caranya, band mengirimkan kode kepada pembeli tiket. Kode itu merupakan akses pembuka tayangan konser. Hingga Selasa, band masih menjual akses seharga Rp 105.000 itu.
Wendi berpendapat, band atau musisi perlu memikirkan monetisasi konser streaming mereka. Sebab, ada orang-orang di balik layar yang harus mereka hidupi, seperti kru panggung, kru musisi, manajemen, dan pendokumentasi. ”Membeli tiket konser juga bentuk edukasi bagi penggemar,” katanya.
Band atau musisi dengan basis penggemar yang besar juga bisa melibatkan penonton untuk membuat konser. Misalnya, ada penggalangan dana khalayak (crowdfunding) dengan ”imbalan” berupa akses konser dan pernak-pernik band. Dana yang terkumpul bisa untuk menambahi ongkos produksi.
Kondisi sulit ini memang sedang terjadi. Namun, kreativitas tak sepantasnya segelap panggung yang dibatalkan.