Suka Duka Kuliah Daring
Penyebaran virus korona baru memaksa mahasiswa untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh. Sistem pembelajaran yang baru ini tentu membuat mahasiswa berkompromi dengan keadaan. Suka dukanya banyak.
Wabah Covid-19 telah mengubah keseharian warga penduduk dunia, termasuk keseharian di ruang kelas. Mahasiswa yang biasa kuliah tatap muka di kampus terpaksa harus belajar secara online atau daring. Tugas dan materi kuliah dari dosen juga dibagikan secara virtual. Situasi ini memberikan tantangan dan suka duka yang tak terbayangkan sebelumnya.
Joshua Jolly Sucanta Cakranegara, mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, mengikuti dua mata kuliah secara virtual, Senin (30/3/2020). Kalau biasanya Jolly harus mempersiapkan diri sebelum hadir di kelas, seperti mengenakan pakaian rapi dan berangkat ke kampus dengan naik sepeda motor, kini setelah mandi dan mengenakan pakaian, Jolly hanya perlu membuka komputer lipat di kamar indekos.
Hanya dengan mengeklik di layar komputer, Jolly masuk ke aplikasi yang kini menjadi ruang belajarnya. Ia mengikuti kuliah Sejarah Kontemporer Indonesia pada pukul 14.00-15.00 menggunakan aplikasi Webex. Selanjutnya, dengan memakai aplikasi Google Meet, Jolly belajar Sejarah Ekonomi Indonesia pukul 15.00-17.00.
Jolly menuturkan, pertama kali memakai aplikasi untuk belajar ada kegagapan di antara mahasiswa dan dosen. ”Awal-awal pasti kaget. Ada yang mengeluh akses internetnya sulit atau kesulitan memakai aplikasi. Saya enggak punya masalah teknis karena sudah punya lapto, dan jaringan internet baik karena ada Wi-Fi di kosan,” katanya, dihubungi dari Jakarta, Senin.
Dia menceritakan pengalaman lucu ketika sedang kuliah daring, ada orangtua yang berteriak memanggil anaknya yang bernama Dian. Teriakan itu didengar oleh semua mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah menggunakan konferensi video. Dosen dan mahasiswa tertawa saat kejadian itu.
”Dari situ kami baru tahu kalau mikrofon saat video conference itu bisa dimatikan dan dihidupkan kembali,” katanya.
Meski sempat menemukan kesulitan, lama-kelamaan mahasiswa dan dosen mampu beradaptasi dengan situasi kelas virtual. Ruang kelas di kampus yang biasanya hanya diisi 15-20 dari total 30 mahasiswa per kelas, begitu diselenggarakan secara daring, kelas menjadi penuh. Mahasiswa yang biasanya membolos kuliah, semangat mengikuti kuliah virtual.
Dari situ kami baru tahu kalau mikrofon saat video conference itu bisa dimatikan dan dihidupkan kembali.
Jolly mengatakan, saat kuliah secara virtual, dosen dan mahasiswa jadi lebih cair dalam berinteraksi. ”Itu membuat mahasiswa lebih rileks saat mengajukan pertanyaan kepada dosen. Padahal, kalau di kelas, kami biasanya hanya duduk diam saja sambil mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan materi kuliah,” katanya.
Mahasiswa Indonesia yang kuliah di China, Sukma AP, memilih menjalani kuliah secara daring di Indonesia. Sukma yang mendapat beasiswa kuliah di Jiangsu Agri Animal Husbandry Vocational College, program budidaya air di Provinsi Jiangsu, kota Taizhou, memilih pulang dulu ke Indonesia karena pihak kampus menjalankan kuliah daring sejak pertengahan Februari lalu.
”Lebih banyak tugas di kuliah daring daripada kelas tatap muka. Menurut saya lebih enak tatap muka dibandingkan dengan kelas daring. Tapi, ya, dijalani saja sampai ada keputusan berikutnya dari kampus,” ujar Sukma, alumnus SMK Puger, Kabupaten Jember, Jawa Timur, ini.
Baca juga: Sensasi Belajar Daring di Tengah Ancaman Wabah
Dini, mahasiswa program studi filsafat di UGM, mengatakan, cara kuliah daring bergantung kepada setiap dosen. Ada dosen yang menggunakan metode e-Learning pakai aplikasi Webex, Edmodo, Google Classroom, hingga hanya komunikasi lewat Whatsapp group.
”Lebih banyak tugas online. Selesai mengumpulkan tugas minggu ini, ada lagi tugas untuk minggu depan,” cerita Dini yang memilih pulang ke kampung halamannya di Sidoarjo, Jawa Timur.
Menurut Dini, ada beberapa dosen yang memberikan materi terlebih dahulu atau video materi sebagai contoh pembelajaran. Akan tetapi, banyak dosen yang hanya memberikan tugas-tugas saja. Ada dosen yang memberikan tugas dengan kelonggaran waktu pengumpulan, ada yang dengan deadline singkat. Ada dosen yang menyuruh membuat video kelompok sebagai ganti presentasi.
Perasaan stres dirasakan mahasiswa. Dini mengatakan, soal jaringan yang lemot atau masalah di laptop kadang kala tak terhindarkan. ”Tadi ada teman-teman saya yang telat kirim jawaban ujian tengah semester atau UTS ke e-mail dosen. Ada yang kendala laptop, ada yang susah sinyal, ada yang jaringan lemot,” kata Dini.
Bagi dosen Rahayu Sri Purnami yang mengajar di Telkom University dan LPKIA Bandung, mengadakan kelas daring butuh kreativitas. ”Terutama untuk yang butuh praktik. Jadi, ya, mesti kreatif untuk membuat tugas. Kalau saya mencoba memanfaatkan WAG saja supaya lebih mudah diakses semua mahasiswa,” ujar Rahayu.
Sementara itu, Assistant Professor di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Harris Setiajid, merasakan mahasiswa yang saat kuliah di kelas pendiam, begitu mengikuti kelas online justru lebih aktif bicara. ”Kemungkinan adanya jarak ini membuat mereka lebih aman untuk berekspresi,” kata Harris yang juga Wakil Kepala Program Pendidikan Sastra Inggris.
Untuk kuliah daring, dosen memakai berbagai aplikasi. Harris, misalnya, memakai aplikasi Zoom yang memungkinkan dosen dan mahasiswa berinteraksi melalui konferensi video. Ia juga menyusun materi-materi pendalaman yang lebih detail yang bisa dipelajari mahasiswa secara mandiri.
Dosen di Fakultas Seni Desain dan Humaniora Universitas Matana di Tangerang, Banten, Damarjati, memilih membagikan materi kuliah menggunakan aplikasi Google Classroom. Melalui aplikasi ini, ia membagikan materi kuliah, bahan-bahan bacaan, dan teori untuk mengajar mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual. Ia juga bisa berinteraksi dengan mahasiswa menggunakan fitur pengiriman pesan text.
Bagi sebagian besar dosen, seperti Harris dan Damarjati, ini pertama kalinya mereka mengampu kuliah daring. Untuk memperlancar proses belajar-mengajar, dosen merancang dan menerapkan aturan. Damarjati meminta setiap mahasiswa mengajukan lima pertanyaan dan merespons lima jawaban dalam setiap sesi kuliah yang berlangsung selama tiga jam.
”Saya membuat aturan ini agar mereka aktif secara online. Kalau di kelas, kan, gampang tuh, tinggal tunjuk mahasiswa untuk menjawab pertanyaan, sekarang tidak bisa,” katanya.
Meski banyak keuntungan, kuliah daring cukup menantang, terutama dalam kuliah praktik.
Kegiatan-kegiatan praktik mahasiswa yang biasanya dilakukan secara kolektif di ruang kelas juga harus dilakukan secara mandiri di rumah masing-masing. Damarjati harus memutar otak membagikan tugas praktik fotografi atau video.
Dalam kondisi normal, mahasiswa bisa menggunakan studio di kampus yang menyediakan fasilitas dan perlengkapan modern serta lengkap, seperti kamera, lensa, dan pencahayaan. Namun, begitu praktik dilakukan secara mandiri di rumah, mahasiswa harus berhadapan dengan kendala peralatan yang terbatas. Selain itu, dosen juga tidak bisa secara langsung mendampingi mahasiswa membuat karya.
Situasi sulit ini akhirnya diatasi dengan cara kreatif. Untuk membuat karya foto atau video still life, mahasiswa diajak menggunakan peralatan yang tersedia di rumah mereka. Untuk menggantikan lampu-lampu studio yang canggih, mahasiswa diminta menggunakan lampu belajar dengan alat tambahan yang berfungsi sebagai diffuser untuk membantu penyebaran cahaya.
”Dengan situasi ini, sebagai dosen, kami tidak bisa menuntut tugas yang terlalu sulit. Kami juga memahami situasi mahasiswa,” ujarnya.
Perlu dikembangkan
Dengan adaptasi terhadap teknologi, untuk ke depannya kuliah secara virtual dinilai perlu dikembangkan di Indonesia. Teknologi memungkinkan siapa saja dan berada di mana saja bisa menyerap ilmu pengetahuan. ”Dengan cara daring, mahasiswa yang berasal dari luar kota, seperti saya dari Bali, tidak perlu jauh-jauh ke Yogyakarta untuk kuliah. Saya bisa tetap di Bali dan menyerap ilmu dari kota lain,” kata Jolly.
Harris juga menjelaskan, ia berniat mengembangkan kuliah secara virtual. Menurut dia, kuliah daring sangat memudahkan karena ia bisa menayangkan materi kuliah dalam Power Point secara virtual sambil menjelaskan. Ia juga bisa menggelar tanya jawab kepada mahasiswa dan mengarahkan mahasiswa untuk menjawab pertanyaan dengan mengetikkan di layar. Namun, menurut dia, kuliah daring harus diiringi dengan tatap muka.
Damarjati juga merasakan hal yang sama. Meskipun kuliah daring punya banyak keuntungan, situasi ini juga cukup menyulitkan, terutama untuk kuliah praktik. Ia merasakan tatap muka antara dosen dan mahasiswa tetap penting. ”Untuk kuliah praktik, tatap muka tetap penting. Proses asistensi yang seharusnya bisa dijalankan dosen di kelas menjadi hilang tanpa tatap muka,” katanya.
Senada dengan Damarjati, Jolly mengatakan, meski kuliah virtual mengasyikkan, tetap ada perasaan yang mengganjal karena tidak bisa berinteraksi secara nyata dengan dosen atau teman-teman di kelas. ”Kadang-kadang tetap rindu berada di kelas, ketemu orang secara nyata. Kata dosen kami, setelah wabah ini beralalu, harapannya kami lebih menghargai makna pertemuan dan bisa lebih rajin kuliah di kelas,” katanya.