Menyemai Harapan Bersama Sukarelawan Muda
Sejumlah anak muda tergerak hatinya untuk menjadi sukarelawan medis. Mereka menyingsingkan lengan berjibaku untuk memberikan pelayanan terbaik.
Pandemi Covid-19 memanggil banyak kalangan, termasuk generasi muda yang ambil bagian menjadi sukarelawan medis. Mereka menyingsingkan lengan berjibaku untuk melayani pasien di rumah sakit. Selalu ada harapan untuk bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Di tengah kesibukan kuliah daring, sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia berkontribusi sebagai sukarelawan medis. Mereka terjun langsung ke rumah sakit untuk membantu tenaga medis menangani pasien Covid-19. Selain itu, ada sukarelawan untuk edukasi masyarakat hingga menjadi pendamping yang menenangkan masyarakat dalam menghadapi pandemi.
Javas Rizqi Ramadhan, mahasiswa semester VI Program Studi Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Senin (11/5/2020), baru pulang sekitar pukul 08.00. Javas yang menjadi asisten perawat di RS UI sejak 1 April lalu itu kini pulang ke tempat penampungan sukarelawan di Guest House Pusat Studi Jepang UI. Hari itu, dia mendapat giliran malam dengan jam kerja pukul 21.00-07.30.
”Maaf, ya, aku habis pulang langsung tidur. Kalau lagi tugas malam, kadang hanya tidur satu jam. Jika ada hal yang darurat, bisa enggak tidur sama sekali. Jadi, sampai di tempat penginapan berasa capek sekali,” ujar Javas.
Kadang-kadang, Javas mengaku ketinggalan kelas daring karena masih tidur. ”Aku berusaha keras supaya urusan kuliah daring dan (jadi) sukarelawan bisa berjalan baik. Aku sudah bilang ke RS UI tentang kondisi kuliahku. Jadi, sebenarnya cukup diberi jadwal yang fleksibel, sih,” katanya.
Saat bertugas selama 4-5 jam, Javas wajib memakai alat pelindung diri (APD) lengkap atau level 3 saat masuk ke ruang isolasi. Dia tidak melayani pasien Covid-19, tetapi saat bertugas tetap harus masuk ke kamar pasien. ”Aku mengambil pakaian kotor pasien di dalam kamar untuk dibawa ke bagian laundry. Jadinya, aku harus pakai APD lengkap untuk melindungi diri,” tutur Javas.
Hingga kini, dia memutuskan tidak pulang ke rumah orangtuanya di Subang, Jawa Barat. Saat tidak bertugas di ruang isolasi, Javas membantu perawat mengurus obat-obatan pasien di bagian farmasi. Dia juga mengantar sampel darah ke laboratorium hingga menjemput pasien Covid-19 di instalasi gawat darurat untuk menuju ruang isolasi.
Selain itu, dia bertugas membersihkan APD para tenaga medis yang bisa dipakai berkali-kali di ruang isolasi, seperti sepatu bot, pelindung wajah (face shield), atau kacamata goggles, dengan cairan khusus. Kegiatan ini memakan waktu bisa lebih dari dua jam karena harus dilakukan dengan teliti.
”Saat memakai APD pertama kali, aku merasakan pengalaman yang luar biasa. Oh, begini toh rasanya pakai APD, merasa pengap, sulit bernapas. Udah gitu, harus bisa menahan buang air kecil hingga beberapa jam, menahan lapar. Aku merasa muncul kekagumanku pada para tenaga medis yang merawat pasien Covid-19,” ujar Javas.
Menurut dia, bekal kuliahnya di kesejahteraan sosial salah satunya menekankan nilai empati. Karena itu, Javas bertekad untuk bisa memakai waktu jadi sukarelawan Covid-19 sampai akhir Mei ini dengan baik. ”Nanti kalau sudah selesai, aku mau pakai media sosialku untuk bisa berbagi informasi soal bahaya Covid-19. Yang paling penting juga mengajak masyarakat untuk tidak lagi menstigmatisasi para tenaga medis yang sudah berjuang untuk menyelamatkan nyawa pasien Covid-19,” kata Javas.
Keinginan menjadi sukarelawan Covid-19 awalnya didorong rasa bosan berada di asrama, sementara kegiatan sehari-hari hanya kuliah daring. Javas memutuskan tidak pulang ke Subang karena khawatir menjadi pembawa virus bagi keluarganya.
”Aku dapat informasi ada lowongan sukarelawan di RS UI, aku coba aja. Ayahku juga memberi izin dan mendukung penuh. Aku jadi merasa bersyukur bisa berkontribusi, apalagi para tenaga medis saat ini sangat butuh batuan,” ujarnya.
Sukarelawan mahasiswa kedokteran juga terlibat untuk mengatasi Covid-19. Elvira Lesmana, mahasiswa S-1 profesi kedokteran di fakultas kedokteran atau koasisten/dokter muda, misalnya, bergabung jadi sukarelawan melawan Covid-19 yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Elvira bergabung di bagian Relawan 1000Coass.
Elvira menjelaskan, dirinya bertugas untuk memberikan pendampingan kepada pasien dalam pengawasan (PDP) ataupun orang dalam pengawasan (ODP). Untuk sekadar penapisan (screening juga bisa). ”Nah, semua ini dilakukan secara online atau tidak ada tatap muka langsung. Nanti setelah validasi, pasien akan dikelompokkan di berbagai golongan, apakah PDP, ODP, orang tanpa gejala, atau bukan semuanya. Yang ada gejala kami dampingi, dipantau, dan bisa dinaikkan statusnya di bawah bimbingan dokter spesialis,” kata Elvira.
Jika pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dalam ketiga golongan, lanjutnya, sukarelawan bisa memberikan edukasi kepada orang tersebut. Mereka diminta disiplin menjalankan pembatasan sosial berskala besar dan melakukan upaya pencegahan penyebaran virus korona. ”Masyarakat bisa loh dapat pendampingan dengan mengakses di laman Relawan.kemdikbud.go.id. Sayangnya, pasien yang mendaftar sejauh ini sangat sedikit dibandingkan angka kejadian korona yang sudah besar di Indonesia,” papar Elvira yang saat ini ditugaskan mendampingi dua pasien.
Akhir Maret 2020, Jethro Eka Gunarsa (25) tergerak bergabung menjadi sukarelawan medis yang ditawarkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat (Pikobar). Di sela-sela kesibukannya sebagai dokter di sejumlah klinik, ia ingin dirinya juga bermanfaat untuk membantu pemerintah daerah.
”Semua pun kesusahan dalam situasi ini. Intinya adalah memberikan yang terbaik untuk sesama. Kalau memang punyanya ilmu, ya, berbagilah dengan ilmu itu. Kalau punya banyak tenaga, bisa beraksi lebih,” kata Eka.
Dalam tim ini, ia bertugas untuk memberitahukan hasil tes usap (swab) pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 di wilayah Bandung Raya, Jawa Barat. Semua itu ia sampaikan lewat telepon atau Whatsapp tanpa bertatap muka secara langsung.
Tugas ini terlihat mudah, tetapi tidak demikian. Selain menyampaikan hasil tes, dia juga harus memberikan dukungan moral kepada para pasien. Sebab, tak semua pasien siap mendengar kabar bahwa dirinya terjangkit positif. Wajar jika mereka berubah menjadi cemas setelah dihubungi Eka. Bahkan, ada pula yang menangis. Ekspresi itu kerap dijumpai Eka dan tergambar jelas dalam percakapan telepon.
Ia berupaya untuk menguatkan mereka dengan sugesti positif dan optimisme. ”Kuncinya adalah menumbuhkan harapan kepada para pasien Covid-19 bahwa mereka bisa sembuh. Selain obat dan tindakan medis, keyakinan kuat untuk sembuh juga membantu proses pemulihan,” ucapnya.
Hingga kini ada lebih dari 60 pasien Covid-19 di bawah pengawasannya. Sebagian besar pasien Eka memiliki gejala ringan sampai sedang. Mereka sangat proaktif menanyakan berbagai hal kepada Eka. Telepon pintarnya seakan tak pernah sepi, selalu siap 24 jam.
Kuncinya adalah menumbuhkan harapan kepada para pasien Covid-19 bahwa mereka bisa sembuh. Selain obat dan tindakan medis, keyakinan kuat untuk sembuh juga membantu pemulihan.
Pada aplikasi Pikobar, dia menjawab pertanyaan seputar kesehatan (gejala, diagnosis, dan penanganan Covid-19) yang diajukan sejumlah warga. Kebanyakan dari mereka hendak memastikan apakah gejala yang dialami merupakan gejala Covid-19 atau bukan. Ia sadar betul, di situasi sekarang, jawaban yang tepat dan valid sangat penting. Jangan sampai masyarakat lebih percaya pada kabar bohong.
Antusiasme kaum muda untuk terlibat menjadi sukarelawan Pikobar melejit. Anggota panitia sukarelawan Pikobar Jabar, Aldy Febrian (26), menyebutkan, kebutuhan sukarelawan Pikobar tidak sebanyak jumlah pendaftar. Hingga saat ini, 180 sukarelawan telah berkontribusi dari 2.934 pendaftar. Mayoritas berusia 19-25 tahun.
Mereka telah melalui proses seleksi wawancara yang dilakukan oleh panitia. Ada beragam motivasi ikut serta yang mereka ungkapkan, antara lain untuk membantu pemerintah, bermanfaat bagi sesama, pengabdian, hingga keresahan apabila tak berbuat sesuatu pada situasi sekarang.
Memberi dukungan
Di sisi lain, banyak juga anak muda yang bergabung menjadi sukarelawan nonmedis yang mendukung pelayanan kesehatan. Biasanya mereka mengurus bagian administrasi.
Terlibat sebagai sukarelawan Covid-19 juga dilakukan mahasiswa untuk mengedukasi masyarakat, terutama untuk menghindari informasi hoaks. Inilah yang mendorong Aurellia Novanda Rahmadanty, mahasiswa Program Pendidikan Vokasi UI Bidang Okupasi Terapi, menjadi salah seorang sukarelawan kemanusiaan melawan Covid-19 yang diinisiasi Kemendikbud. Perempuan yang akrab disapa Danty ini terlibat di program komunikasi, informasi, dan edukasi rumah bahasa.
Terlibat sebagai sukarelawan Covid-19 juga dilakukan mahasiswa untuk mengedukasi masyarakat, terutama untuk menghindari informasi hoaks.
”Aku mulai sharing informasi dari keluarga dekat dulu. Di grup WA keluarga, ada saja yang bagi berita soal Covid-19 yang ternyata hoaks. Nah, aku sebagai sukarelawan, kan, dibekali dengan informasi yang benar dari ahlinya. Informasi inilah yang aku bagikan ke orangtua, om, tante, sepupu, adik-kakak, dan teman dekat,” ujarnya.
Danty merasa tak berat menjadi sukarelawan asal ada niat. Dia yang awalnya tinggal di rumah kos di Depok sejak kuliah daring tinggal di rumah tantenya di Bekasi. ”Aku mencoba saja untuk membagikan informasi yang benar. Ternyata informasi itu mencerahkan dan di-sharing lagi ke grup lain untuk mengklarifikasi berita hoaks yang sempat dikirim,” ujarnya.
Terlibat menjadi sukarelawan seperti ini adalah hal baru bagi Eka. Sebelumnya, ia hanya aktif dalam kegiatan bakti sosial yang diadakan kampusnya. Kesempatan ini menjadi pengalaman tak terlupakan baginya.
Rifqi Taufiqurrohman (18), mahasiswa semester II Jurusan Manajemen STIE Inaba, sudah berulang kali menjadi sukarelawan sejak di bangku SMA. ”Keinginan itu muncul dari hati. Terasa menyenangkan kalau bisa berbagi dan membantu sesama,” ucapnya.
Kali ini, dia menjadi runner atau petugas yang mendata warga yang akan melakukan tes cepat di lokasi. Rifqi berada di garda depan yang berinteraksi langsung dengan warga saat hasil tesnya belum diketahui. Baginya, posisi runner penuh tantangan. Kemampuannya dalam mengendalikan diri dan emosi pun diuji.
Kekhawatiran jika terinfeksi virus sempat terlintas dalam benaknya ketika menjalankan tugas itu. Sebab, tak sedikit warga yang daftar ulang saat tes cepat batuk di hadapannya tanpa mengenakan masker. Bisa saja percikan dari batuk (droplet) itu menyebar. Ia berupaya menepis pikiran itu dengan menjalankan protokol kesehatan.
”Kami harus selalu berpikiran positif dan fokus, tidak boleh panik. Kalau sampai salah memasukkan data, kan, bahaya banget.,” kata Rifqi.
Meski tugas itu cukup berisiko, keluarga Rifqi sangat mendukung dirinya. Selama dua minggu menjadi runner, dia tidak pulang ke rumah keluarganya di Ciparay. Ia menginap di rumah kosong milik neneknya di Pasteur. Langkah ini dipilih untuk melindungi keluarga agar tetap aman.
Seusai bertugas, pihak panitia mewajibkan setiap runner melakukan uji swab. Hasil pemeriksaan Rifqi menunjukkan dirinya negatif Covid-19. Barulah setelah mengetahui hasilnya, ia bisa bernapas lega dan pulang ke rumah.
Ada beberapa hal yang bisa dipetik oRifqi setelah menjadi sukarelawan, antara lain menambah pengetahuan, pengalaman, dan koneksi serta mengasah soft skills. Semua itu tak didapatnya kalau hanya aktif belajar di kampus, sesekali harus mencoba keluar dari zona nyaman.
Sementara Aqsa Rigianto Putra (29) yang bekerja paruh waktu untuk penyelenggara acara (event organizer) memilih menjadi sukarelawan di RS Darurat Wisma Atlet, Jakarta, sejak Selasa (5/5/2020). Dia bertugas di bagian administrasi untuk mengurusi berbagai keperluan sukarelawan medis.
”Aku bertugas di zona kuning. Di bagian desain, yang juga melaporkan data pasien Covid-19, tetapi hanya untuk kalangan internal di Wisma Atlet saja,” kata Aqsa yang memilih menjadi sukarelawan karena tidak ada kegiatan selama pandemi.
Dalam menjalankan tugasnya selama satu bulan, dia harus tinggal di penginapan yang disediakan RS Darurat Wisma Atlet. ”Di sini senang banget karena semuanya anak-anak muda, jadi enak kerja samanya,” ujar Aqsa.