Suara Musisi dalam Gerakan Black Lives Matter
”Aku harap lagu ini mengangkat semangat orang-orang yang terdampak dari ketidakadilan, pandemi, dan berbagai tantangan yang terjadi hari ini.”
Kematian laki-laki kulit hitam, George Floyd, di lutut polisi berkulit putih pada 25 Mei 2020 menyulut unjuk rasa besar-besaran di seantero Amerika Serikat dan memicu aksi solidaritas di banyak negara dalam gerakan Black Lives Matter. Para musisi bergabung menuntut penghapusan diskriminasi rasial. Di jalanan, James Brown, Marvin Gaye, dan Nina Simone pun ”bangkit”.
Penyanyi dan penulis lagu R&B, Trey Songz, gusar dan tak bisa tidur setelah melihat cuplikan video kekerasan yang dialami Floyd di Minneapolis. Mengemban sesak di dada, Songz beringsut ke dalam studio di rumahnya, hendak merekam lagu baru.
Tetapi itu bukan perkara gampang. Melodi dan lirik yang sebelumnya hinggap tiba-tiba tak bisa keluar. Songz tercekat. Nomine Grammy Awards ini gelagapan. ”Aku coba mengeluarkan lirik itu, tetapi gagal melulu. Suaraku akan bergetar atau air mata meleleh,” kata penyanyi berusia 35 tahun ini seperti dilansir dari AP, Senin (7/6/2020).
Songz lantas turun ke jalanan Los Angeles berunjuk rasa, bergabung dengan ribuan simpatisan George Floyd, dan menuntut reformasi kepolisian Amerika. ”Aku merasa ada banyak cinta dan energi baik di sana. Di mana-mana, di sebelah kiri dan kananku banyak orang beragam etnis dengan tuntutan sama. Itu memberi kekuatan bagiku untuk kembali dan merampungkan lagu itu,” ujar Songz.
Lagunya kelar. Nomor ”2020 Riots: How Many Times” resmi mengudara pada Jumat (5/6/2020). Tembang tiga menitan bernuansa gospel itu turut diisi oleh kelompok paduan suara—seluruh anggotanya berkulit hitam—dari Atlanta, sehingga vokal Songz yang rapuh itu terdengar lebih kokoh.
Lewat liriknya, dia menggugat isu rasialisme yang selalu memakan korban. ”Berapa banyak ibu yang harus menangis?/Berapa banyak saudaraku yang harus mati?/Berapa kali lagi harus unjuk rasa?”/.... begitu kira-kira terjemahan sebagian liriknya. ”Lirik itu benar-benar membuatku menangis. Ada kepedihan. Ada kesedihan. Ada kemarahan. Ada kegundahan,” kata Songz.
Selain Songz, sejumlah musisi merilis lagu baru mereka pekan lalu, sebagai penghormatan terhadap George Floyd, juga Ahmaud Arbery (ditembak pada 23 Februari 2020), dan Breonna Taylor (ditembak pada 13 Maret 2020). Sejumlah musisi itu antara lain Meek Mill, Kane Brown, Ty Dolla $ign, Terrace Martin, dan Run The Jewel.
Rapper Nasty C berkolaborasi dengan T.I. juga melepas lagu mereka berjudul ”They Don’t”. ”Bagaimana mungkin kalian melindungi dan melayani dengan lutut menekan leherku,” gugat T.I. merujuk pada kekerasan yang dialami Floyd.
Rapper kawakan LL Cool J juga mengunggah gugatannya lewat Instagram bersama artis hiphop berkulit putih Jung Youth dalam lagu ”God Only Knows”. ”Mereka membunuh sesamanya lagi karena warna kulitnya/Mengingatkanku pada apa yang dialami Serena di Wimbledon/...,” repet LL Cool J di lagu itu.
Lagu kesembuhan
Pada Selasa pekan lalu ketika sosial media diramaikan dengan kampanye #BlackoutTuesday, penyanyi country Mickey Guyton melepas lagu dia yang berjudul ”Black Like Me”. Mickey adalah perempuan berkulit hitam, yang berjibaku di ranah musik country, yang identik dengan hegemoni laki-laki berkulit putih.
Lagu ”Black Like Me” sebenarnya dia tulis setahun yang lalu. ”Sukar dipercaya aku menulis lagu yang mengekspresikan segala yang kita rasakan hari ini,” kata Guyton. Dalam lagu itu, dia menuliskan lirik yang terjemahannya berbunyi, ”Jika kau pikir kita hidup di negeri kebebasan/Kau harus mencoba menjadi orang berkulit hitam sepertiku/....”
Guyton mengaku menulis lagu itu untuk menyembuhkan dirinya. ”Lagu ini kutujukan untuk orang-orang agar memahami apa yang terjadi pada kami. Kita perlu mendiskusikannya,” kata Guyton.
Cory Henry & The Funk Apostles turut melepas lagu barunya yang berjudul ”Rise” pada Jumat pekan lalu. Pendapatan dari lagu bercorak funk berdurasi empat menitan itu disumbangkan kepada organisasi Color of Change, yang bergerak di bidang advokasi hak-hak sipil.
”Aku menulis lagu ini untuk menginspirasi masyarakat di seluruh dunia untuk bersama-sama bangkit demi kehidupan yang lebih baik. Sekaranglah waktu yang paling tepat. Aku harap lagu ini mengangkat semangat orang-orang yang terdampak dari ketidakadilan, pandemi, dan berbagai tantangan yang terjadi hari ini,” kata Henry, yang sempat manggung di Jakarta pada perhelatan Java Jazz Festival 2020, akhir Februari lalu.
Musik dan perjuangan
Banyaknya musisi yang menyuarakan kegundahan dan protes terkait kenyataan sosial bukanlah fenomena baru. Sejak manusia mengenal musik, sejak itu pula musik menjadi sarana mengomunikasikan pesan-pesan yang di dalamnya dunia sosial dikonstruksi, dikontestasikan, dan diperjuangkan. Tidak heran jika sejak era pemikiran klasik hingga era kontemporer seperti sekarang, musik diyakini memiliki kekuatan (power) yang tidak main-main. John Street (dalam Jamieson & Kenski: 2017) mencatat setidaknya tiga peran musik dalam komunikasi politik, yakni sebagai sarana protes, propaganda, dan resistensi.
Apa yang dilakukan oleh para musisi Barat yang menyuarakan kemarahan atas tindakan sewenang-wenang polisi AS pada warga kulit hitam memperlihatkan bahwa mereka sedang menggunakan musik sebagai alat protes dan resistensi. Sebagai sebuah protes, mereka mengartikulasikan sentimen politik secara eksplisit untuk menggerakkan dukungan massa pada isu-isu diskriminasi rasial. Sebagai resistensi, musik dipakai untuk memperkuat identitas kelompok, yakni kelompok yang muak pada kemunafikan rezim dan pendukungnya yang di satu sisi mendaku diri sebagai pejuang demokrasi, di sisi lain bersikap diskriminatif.
Dalam lintasan sejarah AS, Gail Mitchell, penulis musik untuk Billboard, mencatat, selama lebih dari 400 tahun, musik menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjuangan kesetaraan ras warga kulit hitam. Orang-orang Afrika yang dipekerjakan sebagai budak di AS pada 1600-an membawa akar musikal mereka.
Lagu-lagu yang dinyanyikan para budak itu tak hanya berfungsi sebagai pelepas penat setelah belasan jam membanting tulang. Pesan yang dilagukan juga berfungsi sebagai pengantar kabar antarjaringan mereka. Lirik tembang spiritual ”Swing Low, Sweet Chariot”, misalnya, dipercaya mengandung kode bagi para budak untuk melarikan diri.
”Sejak itu, perjuangan panjang menuju kesetaraan telah dikompori berbagai karya musik. Sajak pembebasan ’Lift Ev’ry Voice and Sing’ karya James Weldon Johnson tahun 1900, yang lantas dilagukan, berkembang sebagai ’lagu nasional’ kaum kulit hitam,” tulis Mitchell, yang diunggah di laman Billboard pada Kamis (4/6/2020).
Mitchell mencatat beberapa lagu yang sarat pesan kesetaraan dan antirasialisme dari berbagai dekade. Lagu ”A Change is Gonna Come” yang dipopulerkan Sam Cooke dan ”Mississippi Goddam” (Nina Simone) marak terdengar dalam aksi unjuk rasa pada dekade 1950 hingga 1960-an. Lagu paling fenomenal pada masa itu bisa jadi adalah ”Say It Loud, I’m Black and I’m Proud” milik James Brown yang berkumandang sehari setelah pembunuhan aktivis HAM, Dr Martin Luther King Jr, tahun 1968.
Pada dekade 1970-an, penyulut semangat itu diwakili Curtis Mayfield dalam lagu ”We the People Who are Darker than Blue”, Marvin Gaye (”What’s Going On”), Gil Scott-Heron (”The Revolution Will Not Be Televised”), dan lagi-lagi Nina Simone (”To Be Young, Gifted and Black”). Sementara kemarahan diletupkan lebih lugas oleh gerombolan rap pada dekade 1980-an, seperti Public Enemy (”Fight the Power”) dan NWA (”F--- Tha Police”).
Lagu-lagu klasik itulah yang didengar Trey Songz di jalanan ketika berdemonstrasi pada akhir Mei lalu. Lagu-lagu itu mengajarkannya bahwa menjadi musisi tak bisa abai pada isu besar, apalagi yang terus-menerus terjadi.
”Menjadi musisi dan menyuarakan pendapat adalah keharusan. Ketika melihat anakku, aku merasa harus bertarung sedemikian rupa sehingga dia tidak perlu mengalami (ketidakadilan) lagi,” ujarnya.
Pesannya jelas, jangan main-main dengan suara kritis yang dibawa oleh para musisi. Kali ini, mereka menyanyi bukan untuk menghibur, melainkan untuk melawan rezim dan tatanan sosial yang pongah. (AP/REUTERS)