Album yang Berkompromi dengan Keadaan
”Ada moral barrier mendorong orang untuk beli album di masa seperti ini. Program menabungnya silakan dilanjutkan, tetapi digunakan untuk kebutuhan yang lebih mendesak.”
Bersiasat merupakan hal yang perlu dilakukan mengatasi serba keterbatasan pada era kebiasaan baru di tengah pandemi Covid-19. Para musisi melakukan itu demi mewujudkan rencana-rencana kreatif mereka.
Band asal Yogyakarta FSTVLST (dibaca Festivalist) berencana mengeluarkan album kedua mereka dalam bentuk fisik berupa CD dan kaset. ”Lalu ada keadaan spesial ini. Semua tukang cetak libur, tukang bikin CD libur, semua mengarantina diri sendiri. Kami memutuskan tetap rilis,” kata gitaris Roby Setiawan, pekan lalu.
Album bertitel FSTVLST II itu akhirnya resmi mereka luncurkan pada Senin (15/6/2020) lewat konferensi video. Isinya ada sembilan lagu. Formatnya memang tidak seperti yang mereka rencanakan. Seluruh lagu itu diedarkan dalam bentuk digital di situs web mereka fstvlst.id.
Penggemar tak perlu berlangganan atau membayar sepeser pun untuk mendengar lagu-lagu seperti ”Gas!”, ”Rupa”, ”Vegas”, dan ”Mesin” itu. Penggemar hanya perlu mendaftar untuk mendapat nomor anggota (mereka menyebutnya nomor induk Festivalist) untuk bisa mendengar, bahkan mengunduhnya di gawai masing-masing.
Perjalanan album kedua itu terbilang berliku. Sejak 2018, mereka melepas satu per satu lagunya secara bertahap di situs web itu. Lagu pertama yang berkumandang adalah ”Gas!” yang diunggah pada 9 September 2018. Lagu dengan intro drum mengentak itu telah beberapa kali dimainkan di panggung.
Lagu berikutnya yang dikeluarkan adalah ”Rupa” yang dirilis sehari sebelum pemilu 2019 atau tepatnya 16 April. Lirik berbunyi ”Baik buruk hanyalah tentang kosmetika/benar salah semata gelagat propaganda” terasa kontekstual di tengah persaingan kubu kontestan yang terkutub.
Tiga lagu lainnya hadir sebagai kado pergantian tahun, yaitu ”Syarat”, ”Telan”, dan ”Hayat” yang dirilis bersamaan. Namun, hingga beredarnya tiga lagu tersebut, belum ada tanda-tanda mereka akan merilis keseluruhan album dalam format fisik.
Rupa-rupanya, mereka mengakui ada beberapa materi yang belum selesai benar atau mereka tidak terlalu nyaman membawakannya. ”Kami tidak terlalu nyaman membawakannya, bahkan merilisnya, lalu kami gubah ulang,” kata Farid Stevy, vokalis dan penulis lagu.
Salah satu lagu yang mereka anggap kurang berkenan ketika itu adalah nomor ”Kamis”. Seperti judulnya, lagu itu bercerita tentang aksi kamisan yang rutin berlangsung di sejumlah kota setiap hari Kamis menuntut penuntasan penyelesaian kejahatan hak asasi manusia.
”Lagu itu sudah selesai (tahun lalu), lalu kami telaah lagi dalam diskusi apakah benar lagu itu milik kami. Ternyata kami merasa tidak layak membicarakan itu karena kami tidak pernah berdiri di kaki yang itu. Jadi, kami merasa enggak tepat, deh, bicarakan itu (aksi kamisan),” lanjut Farid.
Namun, mereka bersepakat bahwa ketika lagu sudah beredar, pendengarlah yang lebih berhak menilai. Dalam lagu itu, mereka tidak mengutarakan tuntutan apa pun. Mereka memberi konteks bahwa lagu itu menceritakan kemasygulan ditinggalkan orang-orang tercinta.
Walau begitu, dengan membubuhkan frasa ”payung hitam” pada lirik, pendengar mudah mengasosiakannnya dengan aksi kamisan yang telah berlangsung lebih dari 500 kali itu. Begini salah satu petikan liriknya, ”Coba letakkan diri/dan serahkan hati ini bahwa mereka yang tercinta pasti pergi//Di balik payung hitam ini/Di balik awan hitam nanti/selama masih bermatahari/hitam dan menagih janji//”
Menabung
Lagu itu bersama nomor ”Opus” adalah dua tembang terakhir yang mereka lepas, tepatnya pada 15 Juni. Dua lagu itu menggenapi seluruh album, yang semestinya juga berwujud CD dan kaset. Mereka bahkan mengampanyekan gerakan menabung Rp 50.000 demi membeli album itu. Namun, sempitnya ruang gerak akibat pembatasan sosial dan fisik di masa karantina ini membatalkannya.
Mereka sepakat bahwa di masa sulit ini, tidak bijak mendorong penggemar menyisihkan uang demi kebutuhan tersier seperti album musik. Gerakan menabung demi album baru FSTVLST dibatalkan meskipun ada banyak penggemar telah meresponsnya.
”Ada moral barrier yang mendorong orang untuk beli album di masa seperti ini. Program menabungnya silakan dilanjutkan, tetapi digunakan untuk kebutuhan yang lebih mendesak, seperti beli beras, beli masker, atau diberikan kepada yang lebih butuh dalam bentuk donasi,” kata Farid.
Rencana mengeluarkan format kaset dan CD mereka tangguhkan sementara. Jika saatnya sudah dirasa tepat, format itu akan diedarkan ditambah dengan buku yang berisi tanggapan orang terhadap lagu-lagu mereka.
FSTVLST mengampanyekan membeli format fisik sebuah album sejak album pertama mereka, Hits Kitsch, yang beredar pada 2014 silam. Saat itu, kata Farid, penggemar musik pada umumnya ”membajak” karya lagu dengan mengunduh ilegal dan membagikan diam-diam.
Farid menganggap kampanye itu terbilang berhasil. Keping CD album perdana mereka dicetak berulang kali. Album Hits Kitsch juga dinobatkan sebagai salah satu album terbaik tahun 2014 oleh majalah Rolling Stone terbitan Indonesia.
Embrio FSTVLST terbentuk sejak 2003 bernama Jenny, yang lahir dari kancah seni rupa kampus Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Jenny menghasilkan satu album Manifesto. Setelah berganti nama, mereka kini beranggota Farid, Roby, Humam Mufid (bas), Danish Wisnu (drum), dan Rio Faradino (kibor).
Rekam di kamar
Keterbatasan selama pandemi juga diterabas solois Harlan Boer. Tak tanggung-tanggung, mantan kibordis band The Upstairs ini mengemas 20 lagu ciptaannya dalam album ganda berjudul Fidelitas Cinta. Segala proses rekaman dikerjakan Harlan di kamarnya.
”Saya hanya menggunakan alat musik yang ada di rumah. Gitar milik istri, harmonika milik teman, drum machine keluaran 1987 yang dipinjamkan teman, tamborin yang sudah agak rusak,” ujar Harlan, yang sejak bersolo karier telah mengeluarkan dua album penuh dan empat album mini ini.
Kamar tempat dia merekam lagu-lagunya bukanlah studio yang beperedam suara dan komputer dengan software rekaman pada umumnya. Dia merekam lagu-lagunya pakai ponsel. Karena ruangannya tak berperedam, dia juga perlu menghitung waktu yang tepat untuk rekaman agar tidak mengganggu istri, anak, dan mertuanya di lantai bawah.
”Pernah pas hujan lebat, saya rekaman supaya suara hujan masuk,” kata Harlan. Ada juga cuplikan suara anaknya yang tiba-tiba menyelonong masuk kamar dan mengajak mengobrol ketika rekaman hampir selesai.
Keterbatasan itu jugalah yang menjadi tema sentral album ini. Dengan lugas, Harlan bercerita perihal bentangan jarak dan pertemuan, pekerjaan yang hilang, siasat bertahan hidup, serta urusan hiburan di masa pandemi.