Organisasi Mahasiswa di Tengah Era Magang, Masihkah Relevan?
Pergerakan mahasiswa masa kini tak harus direpresentasikan dengan turun ke jalan. Media sosial kini juga jadi opsi.
Saat ini mahasiswa dihadapkan pada tuntutan memiliki berbagai pengalaman sebelum menginjak dunia pascakampus. Organisasi atau gerakan mahasiswa bukan lagi menjadi satu-satunya pilihan. Alhasil, hari-hari ini, relevansi organisasi pun dipertanyakan.
Dalam beberapa tahun terakhir, mahasiswa mulai lebih banyak mempertimbangkan persiapan kehidupan pascakampus. Hal ini dirasakan Agung Cahyono Putro (22), Ketua Bidang Akademik Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasigi) Universitas Brawijaya (UB) 2023.
”Anggota organisasi, yang awalnya aktif memperjuangkan pergerakan mahasiswa, hari ini sudah berubah karena teman-teman dihadapkan pada banyak opsi, misalnya volunteering, magang, IISMA (Indonesian International Student Mobility Awards), dan lain-lain,” ungkap Agung, Rabu (13/3/2024).
Pandangan mahasiswa terhadap organisasi kampus pun berubah. Banyak mahasiswa yang lebih melirik kegiatan dengan orientasi pengalaman ”kerja profesional”, sedangkan organisasi lebih sering dilihat sebagai kerja sukarela.
Faktor lainnya, menurut Agung, bisa jadi karena organisasi kampus kerap membuat mahasiswa merogoh kocek untuk melangsungkan kegiatan. ”Terlebih, kegiatannya terkadang tidak patuh waktu, seperti weekend sampai larut malam masih bekerja. Lalu, kegiatan-kegiatan yang ada juga kurang adaptif,” tutur mahasiswa yang juga aktif dalam kegiatan kerohanian Islam itu.
Pergeseran minat mahasiswa ini cukup membuat ketar-ketir para pengurus organisasi kampus. Sebab, selain himpunan mahasiswa (hima), badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan unit kegiatan mahasiswa (UKM) mulai dipandang sebelah mata eksistensinya. Tak hanya Agung, hal serupa dirasakan Rifaldy Zelan (20), Ketua Pers Suara Mahasiswa Universitas Indonesia (Suma UI) 2024.
Zelan, demikian sapaannya, melihat pergeseran minat mahasiswa dari menurunnya jumlah pendaftar di organisasi pers kampusnya. Begitu pula UKM lain di kampus. Perekrutan anggota yang biasanya dilakukan setahun sekali kini harus dilakukan dua kali dalam setahun.
Bahkan, kini, banyak mahasiswa ogah-ogahan mengikuti program kerja yang diadakan organisasi kampus. Zelan merasa perubahan ini cukup signifikan di lingkungan kampusnya.
”Magang ini cukup menyita waktu dan tenaga. Akhirnya, ketika ada demo atau gerakan mahasiswa, yang turun anak-anak organisasi atau BEM saja,” ungkap Zelan melalui pertemuan daring, Selasa (12/3/2024). Akibatnya, para pengurus organisasi perlu memutar otak untuk menarik mahasiswa dan mempertahankan eksistensinya.
Menurut Agung, penurunan minat pendaftar organisasi bisa diatasi dengan menganalisis dan melakukan pembaruan program kerja ke arah yang sesuai minat mahasiswa sekarang. Seperti himpunannya, Himasigi UB yang menghadirkan program kerja internship zone.
Lewat program ini, para anggota diberi pembekalan materi tentang arah karier dan informasi magang bagi jurusan sosiologi. Ada pula program Bincang Alumni, wadah dari himpunan untuk berbagi informasi dan pengalaman dari alumni mengenai kehidupan pascakampus.
”Arus kegiatan luar kampus ini memang menarik dan tidak bisa kami bendung. Kami (anggota organisasi) tidak mungkin menolak itu semua, tapi kita bisa beradaptasi,” tutur mahasiswa semester akhir di Sosiologi UB itu.
Tetap relevan
Beragam inovasi digaungkan oleh organisasi mahasiswa demi menggaet keterlibatan mahasiswa di dalamnya. Tak terelakkan, inovasi ini pelan-pelan menuntun pada perubahan pergerakan mahasiswa di dalamnya juga. Meski tak secara eksplisit mengikis idealisme, tren magang membagi mahasiswa ke dalam dua pandangan.
Beberapa mahasiswa menganggap organisasi mahasiswa seperti hima, BEM, dan UKM tak lagi mampu mengakomodasi tuntutan dunia kerja yang makin rumit. Beberapa lainnya menganggap organisasi tersebut masih relevan sebagai tangga pengembangan diri dan tonggak utama penggerak isu mahasiswa hingga nasional.
Mahasiswa yang lebih memilih magang memiliki perspektif sendiri. Clarissa Putri (22), misalnya, menganggap organisasi mahasiswa kurang cocok ketika dirinya menginjak semester akhir.
Mahasiswa semester akhir di Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini merasa harus melangkah lebih jauh dari sekadar berkegiatan di dalam kampus. Ia kini berkuliah sambil menjalani magang di salah satu industri kecantikan sebagai corporate legal.
Baca juga: Pasrah IPK, tapi Tak Pasrah pada Masa Depan
”Aku cukup realistis, membagi waktu antara kuliah, organisasi, juga menambah pengalaman di luar kampus itu cukup melelahkan. Jadi, mau yang pasti-pasti aja untuk diriku,” ungkapnya pada Kamis (14/3/2024).
Ia mengaku masih cukup membuka mata terhadap isu-isu nasional ataupun kampus. Namun, ia memiliki cara sendiri dalam bersuara. Misalnya, dengan aktif dalam forum di media sosial ataupun dengan membuat kajian tentang kebijakan-kebijakan yang dirasanya tidak tepat.
Berbeda dengan Clarissa, Siti Najwa Syahdryani (21), mahasiswa magang di salah satu media, merasa organisasi justru menjadi tempat awal berkembangnya hingga bisa melangkah sejauh sekarang. Tumbuh di tengah lingkungan organisasi mahasiswa, Najwa merasa karakter yang tertanam tidak bisa hilang begitu saja. Begitu memasuki dunia magang, ia lebih terbiasa mengatur waktu dan pekerjaan.
”Jadi, pelajaran-pelajaran yang didapat dari organisasi bisa aku bawa saat magang,” ungkap mahasiswa Sastra Indonesia UI ini, Rabu (13/3/2024).
Dari pandangan para pengurus organisasi, menurut Zelan, UKM atau organisasi mahasiswa lainnya masih relevan untuk tetap eksis. Sebab, bisa menjadi tempat bagi para mahasiswa mengembangkan soft skillsdan mengumpulkan pengalaman.
Agung berpendapat sama. Menurut dia, organisasi kampus justru menjadi tempat ideal bagi para mahasiswa. Terutama bagi mereka yang belum memiliki pengalaman, untuk membentuk karakter yang baik, seperti kerja sama tim, manajemen waktu, dan kepemimpinan.
Baginya, pergerakan mahasiswa pada masa kini pun tidak harus selalu direpresentasikan dengan turun ke jalan. Media sosial kini juga menjadi jalan pergerakan mahasiswa yang ia sebut gerakan sosial baru.
”Gerakan mahasiswa bukan berkurang, melainkan memiliki bentuk baru. Misalnya, kita udah mulai aware sama mental health, kekerasan seksual, dan udahaware untuk melakukan gerakan terhadap kesetaraan perempuan,” tuturnya.
Baca juga: ”Fun Run”, Cara Anak Muda Seru-seruan dengan Sehat
Pergeseran tren ini pun menghadirkan tantangan: membumikan isu-isu mahasiswa dan nasional ke dalam bentuk baru. Upaya ini dilakukan untuk bisa menarik kesadaran (awareness)dari mahasiswa yang juga memiliki pola-pola baru dalam mencari informasi dan berekspresi.
Pada akhirnya, magang ataupun organisasi kampus menawarkan segudang manfaat yang bisa diambil sebelum terjun ke dunia profesional. Pilihan tersebut ada pada diri kita untuk memutuskan. Namun, jangan sampai kesibukan menenggelamkan kita menjadi tak acuh dengan isu-isu terkini.
Hasil kolaborasi dengan intern harian Kompas: Kamila Meilina, mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dan Chelsea Anastasia, mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.