Menemukan Makna dalam Kegiatan Sukarelawan
Kesibukan sebagai sukarelawan dapat menjadi obat bagi hambatan mental yang dihadapi anak muda.
Berbagai kesibukan tak menjadi penghalang bagi sebagian anak muda untuk berkontribusi menyebarkan kebaikan. Sebaliknya, mereka melihat kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang untuk tujuan yang lebih dari kepentingan pribadi, seperti mengikuti kegiatan sukarelawan.
Bill Laudrix (22), mahasiswa Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi Universitas Gadjah Mada, salah satunya. Aktif di berbagai kegiatan kampus membuatnya sadar, kegiatan sukarela merupakan passion-nya. Mengabdi kepada masyarakat adalah hal yang memberikannya pemenuhan diri (self-fulfillment).
Bill mewujudkannya dengan menjadi sukarelawan di beberapa daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Salah satunya Pulau Miangas, Sulawesi Utara, yakni pulau yang terletak di wilayah paling utara Indonesia.
Baca juga: Organisasi Mahasiswa di Tengah Era Magang, Masihkah Relevan?
Berangkat menuju daerah yang minim akses tentu jadi tantangan besar. Bill mengatakan, perjalanan dan lamanya kegiatan di sana berlangsung selama tiga bulan. Bahkan, karena gelombang tinggi, ia dan teman-temannya tertahan di Pulau Miangas selama beberapa minggu.
”Akses ke sana itu harus naik kapal dan transit ke beberapa pulau. Jadwal kapalnya pun nggak tetap karena saat itu lagi musim ombak. Kami juga hampir nggak berlabuh,” tutur Bill pada Senin (25/3/2024).
Begitu juga ketika ia menjadi sukarelawan di Pulau Runduma, sebuah pulau kecil di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Terombang-ambing di atas derasnya Laut Banda selama 14 jam merupakan bagian dari perjalanannya. ”Pulaunya juga enggak punya akses listrik 24 jam, akses air bersih sulit, sinyal pun enggak ada. Kami juga kesusahan untuk telepon memberikan kabar ke orang lain,” lanjut Bill.
Dengan segala rintangan yang dihadapi pun, ia tetap merasa semua itu sepadan dengan manfaat yang bisa ia berikan untuk masyarakat. Apalagi, mengingat ketimpangan akses antara pulau-pulau terpencil dengan kota-kota besar di Tanah Air, seperti kegiatan sesederhana ngajarin anak-anak bahasa Inggris atau ngajarin warga tentang tanaman hidroponik. Mungkin ini hal-hal yang nggak kelihatan manfaatnya dalam jangka pendek. ”Tapi, dampaknya tentu masif dalam jangka panjang,” ujarnya.
Aku coba ikut volunteering dengan harapan ada hal yang bisa mengembalikan kebahagiaan aku.
Kegiatan sukarelawan juga bisa menjadi obat dari hambatan mental yang dihadapi anak muda. Hal ini dirasakan Femmy Wiandini Poetri (21), mahasiswi semester akhir Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Administrasi Indonesia.
Kegiatan sukarelawan jadi sebuah angin segar di tengah kehidupannya yang kala itu terasa hampa. Saat itu, Femmy kebetulan juga melihat unggahan media sosial seorang figur publik tentang kerja samanya dengan Kitabisa. Ia pun tergerak untuk meriset lebih jauh mengenai kegiatan sukarela Kitabisa. Punya rasa cinta tersendiri untuk anak-anak, Femmy mencari kegiatan yang fokusnya berkontribusi untuk anak.
”Aku coba ikut volunteering dengan harapan ada hal yang bisa mengembalikan kebahagiaan aku,” ungkapnya pada Senin, (25/3/2024).
Ia tak salah langkah. Berawal dari kegiatan sukarela pertamanya di Kampung Pemulung Ulujami, Jakarta Selatan, Femmy menemukan panggilan hatinya di dunia sukarelawan. Ia kembali menemukan dirinya saat berbincang, bermain, dan, membantu anak-anak. Hingga kini ia telah mengikuti kegiatan sukarela untuk anak-anak sebanyak empat kali.
Pengalaman yang paling berkesan bagi Femmy adalah ketika ia mengikuti kegiatan sukarelawan Kitabisa yang berkolaborasi dengan komunitas Kisah Setara, komunitas yang berfokus pada isu disabilitas. Banyak momen dalam kegiatan itu yang membuat hatinya terenyuh.
”Ketika aku mau pulang, ada satu anak yang nanya, ‘Kapan bisa ketemu Kakak lagi?’ Aku nangis karena melihat anak-anak seperti mereka bisa mengungkapkan perasaan yang menyentuh,” tuturnya mengingat kenangan manis itu.
Mengabdi pada lingkungan
Tak melulu mengabdi pada masyarakat, menyelamatkan bumi pun salah satu bentuk kegiatan sukarelawan. Hal ini yang dilakukan Lydia Tesaloni Mangunsong atau Tesa (21). Alumnus Jurnalistik Universitas Padjadjaran ini aktif dalam komunitas sukarela peduli iklim, Climate Rangers Jakarta, yang berada di bawah lembaga swadaya masyarakat peduli lingkungan yang bernama 350.org.
Baca juga: Pasrah IPK, tapi Tak Pasrah pada Masa Depan
Selama menjadi anggota komunitas tersebut, salah satu kegiatan yang diikuti Tesa adalah aksi di jalan untuk mendesak pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) agar berhenti memasok listrik dari batu bara.
Saat jadi sukarelawan, kita memang nggak bisa expect hal-hal material. Tapi, yang bisa aku pastikan adalah dampak positif yang jangka panjang untuk orang lain, serta perkembangan yang signifikan pada diri kita.
”Aksi ini dilakukan di depan gedung PLN. Nggak cuma demo biasa, tapi juga ada penampilan teater, pantomim, tari, dan lain-lain,” ungkap Tesa pada Rabu (28/3/2024).
Mengikuti aksi itu mengubah pandangannya pada aksi massa. Dahulu, ia kurang tertarik dengan aksi serupa yang sering ditemui di jalan. Setelah menjadi bagian dari aksi, Tesa menyadari bahwa perjuangan yang dibawa masyarakat punya esensi yang berarti. Apalagi, menurut dia, isu lingkungan tak begitu diminati banyak orang.
”Banyak yang belum sadar kalau masalah lingkungan itu sekompleks dan seurgen itu. Jadi, gue pengin jadi bagian dalam mengedukasi orang lain tentang isu ini,” tambahnya.
Dalam keterlibatannya, Tesa juga bertemu dengan tantangan. Sebab, terlibat dalam komunitas dan lembaga yang cukup ternama tentu mengharuskannya bekerja dengan lebih banyak orang.
”Meskipun fokus pada isu yang sama, ternyata belum tentu orang lain punya visi yang sama dengan kita dalam bekerja. Jadi, tantangannya lebih ke kultur kerja yang baru buat gue, sih,” ujar Tesa.
Dampak positif
Tak hanya membantu orang lain, kegiatan sukarela juga menawarkan dampak yang berharga untuk para sukarelawan. Hal ini dialami Bill yang merasakan perkembangan pada dirinya dalam berkomunikasi dan menjalin relasi.
”Aku jadi semakin belajar cara untuk mendekatkan diri dengan orang, khususnya dengan masyarakat. Esensi dari pengabdian yang aku jalani adalah tentang menjadi pelayan untuk masyarakat,” tuturnya.
Kegiatan sukarela juga menciptakan generasi muda yang lebih memaknai permasalahan di sekitarnya. Ini sebagaimana dirasakan Femmy. Menurut dia, kegiatan sukarela membuatnya menjadi lebih peka. ”Sekarang aku jadi lebih merhatiin berbagai fenomena tentang anak-anak. Seperti berita-berita tentang anak, aku jadi lebih ngikutin banget,” ungkap Femmy.
Sementara itu, bagi Tesa, memutuskan menjadi sukarelawan berarti siap berkomitmen. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk memulai kegiatan sukarela dari hal-hal kecil. ”Mungkin bisa mulai dari share konten edukatif di media sosial. Itu juga sebenarnya udah kontribusi, kok, jadi kalau belum siap buat berkomitmen di kegiatan sukarela yang skalanya lebih besar,” tuturnya.
Berpandangan sama, Bill berpesan untuk berfokus pada dampak ketika menjadi sukarelawan. ”Saat jadi sukarelawan, kita memang nggak bisa expect hal-hal material. Tapi yang bisa aku pastikan adalah dampak positif yang jangka panjang untuk orang lain, serta perkembangan yang signifikan pada diri kita,” ujarnya.
—
Tulisan ini hasil kerja sama dengan mahasiswa magang di harian Kompas.
- Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
- Kamila Meilina, Mahasiswa Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia