MATARAM, KOMPAS - Para perajin tenun kain songket di Lombok, Nusa Tenggara Barat, melakukan diversifikasi produk, yang semula menggunakan benang sintetis, kini diperkaya menggunakan benang rayon yang diberi pewarna alami dari daun, kulit pohon, akar kayu dan tumbuh-tumbuhan lainnya.
“Kami ingin berkembang dan memberi pilihan sesuai tuntutan pasar. Kami layani konsumen yang ingin kain tenun dengan bahan sintetis, kami penuhi keinginan konsumen dengan produk kain tenun berbahan baku benang rayon dan memakai zat pewarna alami,” kata Nurhasanah, perajin tenun songket, warga Dusun Mengelo, Desa Batujai, Lombok Tengah, di sela acara pembukaan Ekspo NTB XVI di areal Science Technopark, Desa Banyumulek, Lombok Barat, Rabu (5/12/2018).
Selama ini perajin tenun Desa Pringgasela, Lombok Timur, memiliki spesialisasi produk tenun berbahan alami dalam 20 tahun terakhir. Belakangan perajin di Dusun Mengelo mengikuti jejak perajin tenun Desa Pringgasela. Pertimbangannya perajin Dusun Mengelo memanfaatkan peluang pasar cenderamata yang dijual kepada wisatawan dalam dan luar yang berkunjung ke Lombok.
Terlebih lagi warga delapan dusun di desa yang kalangan ibu rumah sebagian penenun, itu berdekatan dengan Bandara Internasional Lombok, dan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Kute, Lombok Tengah.
“Kami mencari bahan pewarna alami yang banyak tersedia di sekitar kampung, kebun dan sawah,” ujar Nurhasanah.
Dengan pewarna alami itu, perajin menenun songket dengan tetap berpedoman pada motif tradisional Sasak Lombok seperti motif Subahnale, Bulan Bekurung, Sisik Ulah, Kabut dan motif lainnya. Memilih dan meracik bahan pewarna dilakukan para perajin, sedang pemasaran produk mendapat Pendampingan dari Islamic Worldwide Indonesia.
Untuk mendapat warna cokelat digunakan kayu sepang dan kulit kayu pohon mahoni, warna pink dipakai kayu secang, warna biru dari daun kangkung, warna kuning dari buah kunyit, warna biru pasta indogo didapat dari daun tarum. Zat pewarna alami itu dipermentasi selama dua minggu, lalu dimasukkan dalam wadah air yang sudah dimasak.
Setelah warna memperoleh warna yang diinginkan (proses fiksasi), benang rayon dimasukkan dalam wadah , lalu diangin-anginkan selama tiga hari. Setelah kering benang itu ditenun menjadi kain songket, selendang, taplak meja dan lainnya. Produk tenun memerlukan waktu 10 hari-14 hari.
Menurut Putri Wahyuni, Weaving & Mashroom Marketing Officer WorldWide Islamic Relief, pihaknya melakukan pendampingan tahun 2017, dengan jumlah perajin sebanyak 308 orang, dan membentuk kelompok beranggotakan lima orang. Mereka mendapat bantuan benang senilai Rp 1 juta per orang, dan bantuan itu dicicil sebesar Rp 125.000 sebulan selama delapan bulan.
Pemasaran produk belum berjalan maksimal, karena para perajin memulai sesuatu yang baru. Oleh sebab itu, Putri Wahyuni memanfaatkan kegiatan pameran dan ekspo agar produk bisa dikenal sekaligus mendapatkan pembeli.
“Saat ini kami memanfaatkan media sosial, dan hubungan pertemanan dengan rekan-rekan di Jakarta dan Bandung sebagai sasaran pasar,” ujarnya.
Untuk selendang pewarna alami dengan panjang 60 cm- 2 meter dijual Rp 350.000 per lembar. Sedang kain songket panjang 2 meter lebar 90-120 cm dijual Rp 1 juta per lembar.
“Dalam enam bulan terakhir, rata-rata tiga produk kain songket dan selendang yang laku pesanan dari teman-teman di Bandung, Jakarta dan Medan,” ungkap Putri Wahyuni.