Tak terhindarkan, perkembangan teknologi cenderung mengubah praktik konsumsi informasi membuat peralihan dari media konvensional ke media baru . Namun, perlu diantipasi pergeseran keberpihakan soal kepentingan publik.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
BANTEN, KOMPAS — Perkembangan teknologi yang cenderung mengubah praktik konsumsi informasi membuat peralihan dari media konvensional ke media baru tidak terhindarkan. Di sisi lain, adanya pergeseran keberpihakan dari yang semestinya berada di sisi kepentingan publik relatif menjadi perhatian serius.
Sebagian hal itu mengemuka dalam diskusi yang diadakan Kementerian Agama dengan tajuk ”Ngopi Bareng Pegiat Media Sosial-Pengawasan Bidang Pendidikan: Monitoring Isu Kemenag di Medsos dan Mitigasinya”, Selasa (10/3/2020), di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Salah satu sesi yang diikuti perwakilan sejumlah kantor wilayah Kementerian Agama di Indonesia itu dihadiri pula oleh Editor The Conversation Ahmad Nurhasim, Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaidi, dan Redaktur Pelaksana NU Online Mahbib Khoiron.
Salah satunya pertanyaan yang menggugat obyektivitas serta keberimbangan informasi yang disajikan media massa pada Pilpres 2019.
Sejumlah pertanyaan dari peserta yang berasal dari kantor perwakilan Kementerian Agama di Sumatera Selatan ditujukan kepada para narasumber berfokus pada peran dan tanggung jawab yang idealnya dijalankan media massa. Salah satunya pertanyaan yang menggugat obyektivitas serta keberimbangan informasi yang disajikan media massa pada Pilpres 2019.
Hal lain yang juga dipertanyakan adalah kesalahan yang dilakukan dalam mengutip berita dari sumber media asing. Selain itu, identitas pemberitaan yang diiusung media komunitas, seperti NU Online, juga turut dipertanyakan peserta dari kantor perwakilan Kementerian Agama di Bengkulu.
Menjawab hal tersebut, Irfan mengatakan bahwa terdapat mekanisme penyelesaian yang bisa ditempuh terkait dengan tuduhan negatif yang dialamatkan kepada sebagian praktik media. Koridor formal yang bisa dilalui untuk itu adalah melewati proses di Dewan Pers.
Dalam hal ini, memang harus ada kritik yang diberikan terkait dengan praktik media massa. Pada sisi lain, imbuh Irfan, praktisi humas juga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk bijak dalam mengonsumsi informasi.
Adapun mengenai pergeseran perilaku konsumsi informasi dari media konvensional, dalam hal ini media cetak, ke media daring, Irfan menyebutkan bahwa kedua jenis media tersebut memiliki karakter pembaca atau konsumen yang berbeda. Ia menyebutkan, media cetak masih cenderung jadi rujukan untuk melakukan pengecekan silang sebagian kalangan dan pemangku kepentingan karena penilaian ihwal validitas dan kredibilitasnya.
Sementara Ahmad, dalam kesempatan itu, membahas tentang hasil survei yang dilakukan The International Journal of Press dan Yayasan Pantau pada 2011. Berdasarkan riset dengan 600 responden di 16 provinsi tersebut, Ahmad menyebutkan, kecenderungan jurnalis yang cenderung tidak bisa melarikan diri dari bias tertentu yang dimiliki.
Hal itu tecermin dari 64,35 persen wartawan yang mendukung pelarangan Ahmadiyah. Selain itu, 63,55 persen setuju fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme.
Tantangan tersendiri
Sementara Mahbib memfokuskan pembahasannya pada karakteristik NU Online untuk menampilkan narasi yang tidak bersifat hitam putih dalam menyikapi berbagai perbedaan. Ia di antaranya menyebut ihwal fikih perbandingan yang mengakui bahwa pluralitas pemikiran itu memang ada.
Di tengah kecenderungan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang instan dan cenderung menginginkan jawaban segera dalam model yang hitam-putih, konten-konten yang dipublikasikan NU Online memiliki tantangan tersendiri. Banjir informasi yang terjadi di tengah masyarakat juga menambah dimensi tantangan tersebut.
Mahbib membenarkan, di tengah kecenderungan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang instan dan cenderung menginginkan jawaban segera dalam model yang hitam-putih, konten-konten yang dipublikasikan NU Online memiliki tantangan tersendiri. Banjir informasi yang terjadi di tengah masyarakat juga menambah dimensi tantangan tersebut.
Ledakan informasi menyusul perkembangan teknologi yang mengubah struktur masyarakat dan praktik politik memang membuat peran media massa cenderung mesti turut pula disesuaikan. Terutama jika merujuk perkiraan bahwa pada awal abad ini, sebagaimana dikutip dari Bill Kovach&Tom Rosenstiel dalam buku Blur (2010), akan ada lebih banyak informasi baru yang diciptakan dalam waktu 3 tahun dibandingkan dengan yang telah dihasilkan dalam waktu 300.000 tahun sebelumnya.