Joyland Festival, Suaka Bahagia di Tengah Jakarta
Sambil menikmati musik, mereka duduk-duduk santai di atas rumput tanpa perlu alas lagi. Beberapa lainnya malah tidur-tiduran memandang langit Jakarta sore hari. Ah sedap betul hidup ini.
Setelah terakhir dihelat pada 2012, Joyland Festival muncul lagi pada Sabtu (7/12/2019) sampai Minggu (8/12/2019). Di antara hiruk-pikuk kemacetan kawasan ini setiap akhir pekan, suasana di dalam arena amat santai, atau istilahnya “selonjoran vibes”.
“Kapan, coba, anak Jakarta ketemu rumput?” seloroh gitaris Saleh Husein alias Ale ketika bandnya, The Adams tampil di panggung bernama Lily Pad, Minggu (8/12/2019). Arena festival memang digelar di atas lapangan rumput cabang olah raga panahan di Senayan, Jakarta.
Namanya kompleks olah raga level internasional, rumputnya pun bukan sembarangan. Rumputnya kecil-kecil, padat, dan lembut sehingga tidak terasa tajam saat diduduki. Konon, rumput di lapangan itu bekas rumput lapangan sepak bola Gelora Bung Karno. Walau rumput bekas, tapi berkelas.
Maka tak heran, banyak pengunjung menikmati “kemewahan” seperti yang diucapkan Ale itu. Mereka duduk-duduk santai di atas rumput tanpa perlu alas lagi. Beberapa lainnya malah tidur-tiduran memandang langit Jakarta sore hari. Ketika hari gelap, untaian lampu bohlam begitu enak dipandang. Untung saja rumputnya tidak basah karena hujan tak sempat singgah di kawasan Senayan di akhir pekan itu.
Andika dan pasangannya, Reny, melepas penat sejenak setelah menyimak aksi band Maliq & D’Essentials Minggu petang itu. Semburat jingga sedikit mewarnai langit. “Dikasih rumput kayak begini, bawaannya pengen selonjoran, nih. Jarang banget ada festival musik yang venue-nya seperti ini,” kata Andika.
Andika benar juga. Arena festival musik lain, seperti Synchronize atau Java Jazz di Kemayoran, digelar di atas lantai beton, yang menyerap panas sepanjang siang. Akibatnya bokong bisa berkeringat, dan juga keras diduduki. Atau konser band Guns N Roses di dalam Stadion Utama Gelora Bung Karno tahun lalu, rumputnya dilapisi lantai serat karbon sehingga keras juga.
Joyland ini lain. Kenyamanannya amat terasa. Bagi kalangan nonperokok, asap rokok bisa saja amat mengganggu. Sedangkan kalau mau melarang rokok, berdampak mengurangi kenyamanan bagi perokok menikmati konser. Jalan tengahnya, penyelenggara Plainsong Live menyediakan area merokok di sudut arena, yang sesekali ramai setiap pergantian band. Area depan panggung jadi terasa lebih segar.
Jalan tengah itu cukup bijak. Sebab, festival ini membuka pintu selebar-lebarnya buat anak-anak. Tak heran, di antara muda-mudi penikmat konser, ada banyak orangtua muda yang mendorong kereta bayi. Anak-anak balita juga leluasa berlari-larian main-main dengan balon berbentuk jamur maupun bola. “Datang ke Joyland bikin gue pengen punya anak, hehehe,” ucap seorang pengunjung.
Selain bebas bermain di lapangan rumput, anak-anak juga bisa mendatangi tenda berpendingin bernama White Peacock. Di dalam tenda tertutup itu, banyak buku yang bisa mereka baca di tempat. Buku-buku itu disediakan oleh Klub Baca Narasi.
Kenyamanan lain yang ditawarkan penyelenggara adalah ketersediaan kudapan. Ada sejumlah dagangan kuliner yang dipusatkan di tenda besar. Lebih asyik lagi, ada banyak titik pengisian air minum secara cuma-cuma. Pengunjung dianjurkan membawa botol sendiri dari rumah, tapi tak boleh terisi. Mereka menyediakan isinya. Itu adalah peraturan yang bertanggung jawab sekaligus mengurangi sampah plastik.
Kurasi penampil
Segala kenyamanan itu tentu ada harganya. Seorang pengunjung dikenakan biaya Rp 400.000 per hari jika beli tiket di tempat. Harganya relatif masuk akal, seperti beberapa festival musik yang memanggungkan artis luar negeri.
Di kancah musik, ada tujuh penampil dari luar negeri, dan 26 dari dalam negeri. Mereka bergantian main di panggung utama bernama Joyland Stage, dan Lily Pad yang lebih pendek dan kecil. Selain itu, tenda White Peacock juga jadi tempat manggung bagi Frau dan Nonaria. Ada juga satu tenda lain tempat memutar lagu-lagu dangdut pilihan Feel Koplo dan Prontaxan, yang dikelola kolektif bernama Hello Dangdut.
Enam penampil dari luar negeri berpentas di panggung utama, yaitu Tops, Yves Tumor, Washed Out, Anna of The North, Hatchie, dan Frankie Cosmos. Tamu dari negeri tetangga Malaysia, Fikri Fadzil alias Bayangan, bernyanyi dan main gitar di panggung Lily Pad.
Artis yang main di panggung Lily Pad itu merupakan hasil kurasi dari para personil band Efek Rumah Kaca. Rata-rata yang main di sana sebelumnya pernah bikin pementasan di toko Kios Ojo Keos dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir. Toko buku, rekaman, dan kopi di bilangan Lebak Bulus Jakarta Selatan itu dikelola Efek Rumah Kaca.
Selain Bayangan, Efek Rumah Kaca menampilkan sejumlah nama, seperti Mondo Gascaro yang mengajak penyanyi jazz senior Rien Djamain dan gitaris Oele Pattiselano, band baru Mad Mad Men, duo Duara, band Jirapah, Puti Citara, Endah N Rhesa, juga Sir Dandy. Efek Rumah Kaca sendiri main di panggung itu sebagai penutup di hari terakhir.
Ferry Dermawan, Program Director Joyland Festival juga mengajak komedian Soleh Solihun untuk memilih pelawak tunggal. Soleh mengajak delapan rekannya bergantian menghibur di panggung bernama Shrooms Garden, seperti Aci Resti, Awwe, Yusril Ihza Fahriza, dan mantan kiper kesebelasan PSMS Medan, Oki Rengga.
Panggung mereka hanya beberapa langkah dari panggung Lily Pad. Pengunjung yang baru saja senyam-senyum mendengar guyonan Oki Rengga tentang nasib sialnya sebagai kiper ketiga, misalnya, hanya perlu memutar badan untuk menonton aksi pemusik Sir Dandy di panggung sebelahnya.
Musik suguhan Sir Dandy “tercemar” komedi dari panggung sebelahnya. Dia mengundang Soleh Solihun naik panggung untuk membagi-bagikan bunga untuk penonton. Romantis? Bunganya adalah bunga tabur yang biasa dijual di pemakaman.
Pengunjung festival ini tak terlalu banyak. Hari pertama malah bisa dibilang sepi. Tapi itu justru membuat kenyamanannya terjaga. Ruang festival yang tak terlalu luas juga membuat penonton tak perlu tergesa mendatangi panggung lain. Satu-satunya ketergesaan yang terasa justru datang dari beberapa penampil karena durasi yang cukup singkat—rata-rata tiga puluh menit saja.
Akibatnya, band yang biasa membanyol seperti The Adams, membatasi obrolan di panggung. Tapi itu lebih baik daripada mengganggu jadwal pentas band berikutnya. Dari pengalaman yang sudah-sudah, jadwal yang kacau bisa merusak mood penonton. Di Joyland, hal-hal seperti itu tak terjadi.