Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, yang biasanya ramai dengan keceriaan pariwisata tiba-tiba, Jumat (10/2) kemarin, menangis. Dua belas warganya tewas tertimbun tanah longsor dari lereng Gunung Batur seusai diguyur hujan lebat.
Suara tangis pilu pun terdengar menyayat hati dari arah tenda darurat di pinggir jalan Desa Songan B, Kintamani. "Meme (ibu)... Meme (ibu)..." jerit Ni Luh Rusnadi (20) seraya mengusap wajah sang ibu, Ni Ketut Susun (40), yang terbujur kaku. Susun adalah salah satu korban dari tujuh orang meninggal karena longsor di Desa Songan B.
Para korban meninggal dunia, yang masih memiliki ikatan kerabat itu, masih disemayamkan di bawah naungan tenda darurat di tepi jalan desa, sekitar 4 kilometer dari lokasi longsor. Pemakaman mereka pun masih tertunda hingga Senin minggu depan, tiga hari mendatang.
Tangis berkepanjangan juga terdengar dari Wayan Wirtana. Ia kehilangan istri sekaligus dua anaknya yang masing-masing berusia di bawah lima tahun. Hingga Jumat siang, Wirtana masih sulit menerima musibah itu.
Karyadi, kerabat Wirtana, mengisahkan, musibah itu terjadi saat hari masih gelap dan hujan turun begitu deras. Ia pun sempat mendengar suara gemuruh dari kejauhan.
Rumah Wirtana, yang berjarak sekitar 500 meter dari permukiman terdekat, ternyata tertimbun longsor. Dan, malam itu, teriakan minta tolong pun tiba-tiba terdengar membahana.
Mendengar teriakan Wirtana, warga setempat langsung bersama-sama mencoba menyelamatkan korban yang terkena longsor. Petugas desa pun mengabarkan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bangli melalui radio panggil karena sinyal telepon genggam sulit di lokasi.
Warga akhirnya menyadari kalau musibah tidak hanya menimpa Wirtana. Tebing setinggi kira-kira 200 meter ternyata menimpa permukiman di bawahnya, dan setidaknya menghancurkan lima rumah.
Tanah longsor selain di Songan juga melanda Dusun Awan dan Sukawana. Tidak hanya ada korban tewas, tetapi juga lima orang lainnya terluka.
Dosen Pertanian dan Klimatologi Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Ni Luh Kartini, menekankan betapa Kintamani segera diselamatkan.
Ia tak menyalahkan siapa pun. Alam punya kuasa dan jika tak dirawat serta dijaga, alam punya caranya sendiri untuk berbicara. Beberapa tahun terakhir ia juga mengamati adanya perubahan tanaman di sekitar tebing itu.
"Kemampuan tanah dan drainase air menjadi lemah sehingga hujan dengan kapasitas tinggi bisa meluruhkan tanah di atasnya tanpa halangan. Pohon pencengkram sebagai penahan longsor pun telah hilang," kata Kartini sedikit bernada tinggi.
Wakil Bupati Bangli Sang Nyoman Sedana Artha mengatakan, kawasan itu lokasi rawan longsor. Pemerintah sempat meminta warga agar pindah, tetapi ditolak karena tak mau bermukim jauh dari kebun mereka.
Gerakan bersama harus segera dilakukan jika tak ingin musibah ini berulang. Bali yang memiliki budaya kearifan lokal harus bangkit kembali menegakkan kehormatan alam.
"Kintamani ini contoh. Bila tak diselamatkan, Bali bisa menangis. Pariwisata bisa habis seperti longsor," ujar Kartini dengan tegas. (COK/AYS)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.