logo Kompas.id
Nusantara60.000 Ha Hutan Hancur
Iklan

60.000 Ha Hutan Hancur

Oleh
· 3 menit baca

JAMBI, KOMPAS — Tidak hanya pembalakan, perambahan liar pun marak dalam ekosistem Bukit Tigapuluh di perbatasan Jambi-Riau. Sekitar 60.000 hektar areal hutan negara hancur menyusul maraknya jual beli lahan untuk pembukaan kebun sawit dan karet.Perambahan itu tersebar di sejumlah areal konsesi hutan tanaman industri (HTI), hutan restorasi ekosistem, dan hutan penelitian di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Perambahan liar paling luas terjadi di konsesi HTI karet PT Lestari Asri Jaya (LAJ). Dari 61.495 hektar konsesi, 30.000 hektar di antaranya habis dirambah pendatang menjadi kebun sawit dan karet. Dari konsesi restorasi ekosistem PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) seluas 38.665 hektar, perambahannya 5.000 hektar. Dari 19.770 hektar konsesi HTI PT Tebo Multi Agro, 7.000 hektar di antaranya hancur dirambah. Selanjutnya, dari areal kerja Distrik VIII konsesi PT Wirakarya Sakti 47.330 hektar, perambahannya 6.000 hektar. Dari 9.263 hektar areal PT Wanamukti Wisesa, perambahan 4.000 hektar. Di areal kerja HTI karet PT Arangan Hutani Lestari, 90 persen habis dirambah. Bahkan, perambahan menghabisi seluruh areal hutan penelitian Biotrop yang luasnya 2.700 hektar. Ancaman tidak berhenti di situ. Pencurian kayu dalam Hutan Lindung Bukit Limau sejak setahun lalu dikhawatirkan segera berlanjut dengan perambahan liar. Luas hutan 6.667 hektar sudah gundul. "Kayu habis dicuri. Sebentar lagi pasti berlanjut dengan perambahan," ujar anggota Komisi II DPRD Provinsi Jambi, Poprianto. Penelusuran tim Komisi II, lanjut Popri, mendapati praktik jual beli lahan dalam hutan negara melibatkan perangkat desa. Surat-surat sporadik marak beredar dengan harga Rp 2 juta per dokumen transaksi. Dalam dokumen sporadik, perangkat desa hanya mencantumkan nama pemilik dan batas tanah tanpa menyebut bahwa status lahan masuk kawasan hutan negara. "Banyak calon pembeli tak tahu bahwa lahan yang dibeli itu ilegal karena berstatus kawasan hutan," ujarnya. Sejumlah praktik perambahan dilakukan dengan modus kemitraan antara pemilik modal dan perangkat desa setempat dan diklaim sebagai tanah kas desa. DPRD Provinsi Jambi menerima laporan sejumlah kelompok tani yang merasa dirugikan perangkat desa setelah mengetahui lahannya masuk kawasan hutan. Sebagian dari mereka lalu menjual lahan tersebut ke pembeli baru. Direktur Utama PT ABT Arus Mukjijat membenarkan perambahan masih terjadi dalam areal kerja restorasi yang dikelolanya. "Luas yang dirambah sekitar 5.000 hektar. Kami bahkan mendapati sejumlah pemodal besar menguasai lahan di atas 100 hektar. Mereka melibatkan petani kecil untuk mengelola lahan menjadi kebun sawit," ujarnya. Menurut Arus, kerja sama dengan aparat keamanan diperlukan dalam mengatasi perambahan skala besar. Sementara bagi petani kecil, pihaknya memberi peluang kerja sama desa untuk mengelola sekaligus melestarikan hutan restorasi. "Syaratnya stop perambahan baru. Masyarakat boleh memanfaatkan hasil hutan nonkayu," ujarnya.Taufik Qurochman dari bagian Humas PT Wirakarya Sakti mengatakan, kebun sawit liar di Distrik VIII dibuka sejak 10 tahun lalu. Kini, diupayakan menekan praktik itu dan bekerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyusun solusi konflik. "Kepentingan konservasi dan cadangan karbon akan disinkronkan dengan kepentingan sosial," ujarnya. (ITA)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000