Jembatan Mangrove Tempat Rekreasi Baru Warga Kota
Rerimbunan hutan bakau dengan jembatan panggung di Pantai Oesapa Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, membawa kesepadanan antara kesibukan warga kota dan rekreasi alamiah pantai. Ratusan pengunjung setiap hari Sabtu dan Minggu berada di jembatan berkelok ini. Jembatan tersebut membangun ekonomi baru warga pesisir.
Desiran ombak menyelinap menerpa tiang jembatan dan batang mangrove sampai 70 meter ke daratan. Beberapa batang mangrove yang sudah kering karena usia tua masih berdiri kokoh. Mangrove itu tumbuh alamiah sekitar 40 tahun silam, sebelum warga Kota Kupang masuk bermukim di pantai itu.
Beberapa pekan lalu, belasan ibu berpakaian layaknya peserta senam berlenggang-lenggok di atas jembatan mangrove sepanjang 250 meter di Kelurahan Oesapa Barat Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Mereka adalah ibu rumah tangga yang sudah jenuh berada di rumah dan memanfaatkan waktu senggang untuk berekreasi di jembatan itu. Mereka berpose di atas jembatan itu dengan latar belakang hutan mangrove yang rimbun.
Mance Nifu (32), salah satu pengunjung, mengatakan, sangat bahagia saat berjalan di atas jembatan. Air laut yang jernih, rerimbunan hutan bakau, bunyi burung pantai saling bersahutan, dan desiran gelombang laut kian memesona. Kerang dan siput laut pun merangkak perlahan pada batang mangrove tua.
”Setiap hari berada di rumah, bosan. Ada informasi dari teman, ada jembatan mangrove di sini. Ternyata alam ini terasa begitu indah dan membahagiakan. Kami seperti berada di dunia lain. Saya akan merayakan ulang tahun anak di tempat ini,” kata Nifu.
Akan tetapi, jembatan itu perlu diperluas. Saat hari libur, Sabtu dan Minggu pengunjung sangat padat. Mereka berjalan di jembatan itu saling bersenggolan seperti sedang berada di atas kereta. Panjang jembatan 250 meter dengan lebar satu meter. Pengunjung sering bergerombolan pada titik tertentu untuk berswafoto atau foto bareng.
Helry Oktavianus, Koordinator Kelompok Tani Pesisir dan Hutan Bakau Kelurahan Oesapa Barat, Kota Kupang, mengatakan, jembatan mangrove sepanjang 250 meter itu dibangun oleh The International Fund for Agricultural Development (IFAD) World, April 2014, untuk melindungi pantai, dan ekosistem pesisir. Tahun 2015, IFAD World melibatkan masyarakat setempat.
”Mereka memberi gambar perencanaan jembatan, kemudian melakukan sosialisasi tentang manfaat mangrove dan perlindungan pantai kepada masyarakat. Memang, sudah puluhan bahkan ratusan tahun masyarakat berdiam di pantai ini, tetapi banyak yang belum paham tentang fungsi mangrove,” kata Helry Oktavianus, yang lebih dikenal dengan sapaan Ipen.
Hari libur, Sabtu dan Minggu, sekitar 700 pengunjung mendatangi jembatan mulai pukul 08.00 Wita hingga pukul 20.00 Wita. Setiap orang dipungut Rp 5.000, tanpa karcis. Uang yang terhimpun digunakan untuk memperbaiki kerusakan jembatan, tempat sampah, dan penanaman kembali mangrove.
Bagi warga Kota Kupang, selain jembatan mangrove, ada pula wisata Pantai Lasiana, Pantai Batu Nona Beach, Goa Monyet, dan Goa Jepang di Tenau. Saat ini, antusiasme warga tertuju pada jembatan itu. Mereka bisa memanfaatkan jembatan untuk berfoto, jalan-jalan, merayakan ulang tahun, rekreasi, dan foto pre wedding. Ke depan, akan dibangun tempat penginapan, restoran, kafe, dan ruang pertemuan di dalam hutan mangrove itu.
Pengunjung selalu diingatkan agar tidak membuang sampah di dalam air laut. Pengelola jembatan, yakni kelompok tani setempat menyediakan tempat sampah di setiap tempat di atas jembatan. Tanggung jawab kebersihan lingkungan sekitar adalah warga dan pengunjung.
Sebanyak 321 keluarga berdiam di kawasan hutan mangrove sepanjang lima kilometer. Mereka berhak mengelola jembatan itu termasuk menjaga kawasan hutan bakau setempat. Mereka juga berhak dapatkan hasil pungutan dari pengunjung. Untuk tahap awal, uang itu untuk modal usaha 15 kelompok petani di pesisir itu.
Saat ini mereka fokus pada pengadaan sarana dan prasarana di jembatan, termasuk rencana membangun rumah makan di jembatan mangrove, penginapan, dan tempat pertemuan. Semua itu dibangun dengan arsitek lokal.
Selain jembatan, warga telah membangun enam unit rumah lopo, berbentuk kerucut menyerupai rumah adat Timor, dengan ukuran 2 meter x 2 meter untuk berteduh. Dibangun pula satu menara dengan ketinggian sekitar delapan meter, tempat untuk pengunjung melakukan pemotretan mangrove dan panorama laut.
Kelompok itu pun membangun satu gedung permanen dengan enam lapak, masing-masing berukuran 3 meter x 3 meter persegi, berjarak sekitar 20 meter dari jembatan untuk tempat berjualan. Lapak dikelola kelompok tani setempat untuk membantu pengunjung yang datang menikmati jembatan mangrove.
Kelompok tani itu pun mengelola garam tradisional. Usaha garam ini sejak tahun 1960-an untuk memenuhi kebutuhan garam warga Kupang, sebelum garam industri masuk Kota Kupang. Kini, dua kelompok tani sedang beralih mengolah garam ini secara modern.
Yety Ndolu (54), anggota kelompok tani Mangrove Baru, mengatakan, kehadiran jembatan itu telah mengangkat kesejahteraan warga. Warga pesisir bisa berjualan makanan dan minuman ringan dan mengelola tempat parkir. Kelompok ini juga membudidayakan anakan bakau untuk ditanam di pantai itu.
”Penghasilan kami belum seberapa, tetapi prospek ke depan sangat menjanjikan. Kami fokus pada semua potensi yang ada,” kata Ndolu.
Sekretaris Implementasi Proyek IFAD Kota Kupang, Robby Adam, mengatakan, jembatan yang dibangun IFAD World itu untuk mendorong masyarakat pesisir mencintai mangrove dan kawasan pesisir. Pemkot Kupang bertugas mengawasi dan mengkoordinasikan masyarakat.
”Masyarakat tidak hanya menikmati dan memanfaatkan jembatan mangrove. Mereka juga diwajibkan menanam mengrove di bagian timur dan barat dari jembatan yang sudah dibangun. Penanaman sudah dimulai tahun 2015 dan awal tahun 2016. Mereka sedang mempersiapkan 1.000 anakan bakau untuk ditanam lagi,” kata Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Dinas Kelautan dan Perikatan Kota Kupang itu.
Struktur organisasi IFAD dalam pengelolaan mangrove di Oesapa Barat terdiri atas kelompok kerja kelurahan, kelompok infrastruktur, dan kelompok sumber daya. Semua beranggotakan masyarakat di kelurahan itu, terutama warga kawasan pesisir.
Mangrove di kawasan itu menjadi pusat studi dan pembelajaran mahasiswa dan siswa di Kota Kupang. Mereka melakukan penanaman di beberapa titik selain di kelurahan Oesapa Barat sejak tahun 2007. Penanaman mangrove untuk melindungi warga dari bencana tsunami dan air pasang.