PADANG, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat mendesak kejaksaan tinggi daerah itu agar serius menangani kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pelebaran Jalan Samudera di Padang dan pelebaran junction jembatan layang Duku di Padang Pariaman.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dua proyek yang mulai dianggarkan sejak 2012 itu diduga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 43,3 miliar pada 2014-2015.
Desakan disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (KMSS) saat menggelar unjuk rasa di depan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar, Kamis (16/2). Aksi diikuti perwakilan koalisi dari Lembaga Anti Korupsi Integritas, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sumbar, Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Lembaga Bantuan Hukum Pers Padang, dan Bhakti Universitas Bung Hatta.
Peserta unjuk rasa lain adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar, Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Universitas Andalas, Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar, serta sejumlah unit kegiatan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Sumbar.
Kasus ini mencuat setelah BPK perwakilan Sumatera Barat menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Belanja Modal Pemerintah Provinsi Sumbar Tahun Anggaran 2015 dan 2016 (Semester I) pada 31 Oktober 2016.
Dalam laporan bernomor 45/LHP/XVIII.PDG/10/2016 itu, BPK perwakilan Sumbar mengungkap dugaan kerugian negara sekitar Rp 43,3 miliar dalam dua kegiatan. Pertama, pengadaan tanah, penggantian tanaman, dan bangunan untuk pelebaran Jalan Samudera di Kota Padang. Lainnya, pengadaan tanah, penggantian tanaman, dan bangunan untuk pelebaran junction jembatan layang Duku di Kabupaten Padang Pariaman. Surat pertanggungjawaban (SPJ) dua proyek itu diduga fiktif.
Serius
Menurut Direktur Lembaga Anti Korupsi Integritas Arif Paderi, mereka mendesak Kejati Sumbar agar serius menangani kasus dugaan korupsi itu. Mereka berharap tidak seperti kasus lain yang berujung pada penghentian penyidikan.
Salah satu modus dalam penanganan korupsi adalah mengulur-ulur waktu penyidikan hingga masyarakat lupa, kemudian kasus itu lenyap.
“Kami ingin Kejati Sumbar tidak melakukan hal itu pada kasus ini,” kata Arif.
KMSS mendesak Kejati Sumbar untuk mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut.
Kejati Sumbar juga diminta melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk mengetahui aliran dana mengingat dugaan kerugian negara mencapai Rp 43,3 miliar.
Arif menambahkan, pihaknya juga mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) agar serius melakukan supervisi terkait dengan dua kasus itu. Menurut dia, selama ini supervisi yang dilakukan KPK dan Kejagung sering kali tidak maksimal.
Arif mengatakan, jika Kejati Sumbar tidak serius, mereka akan meminta KPK mengambil alih kasus tersebut.
Menemukan unsur
Asisten Pidana Khusus Kejati Sumbar Dwi Samudji yang menerima peserta aksi mengapresiasi unjuk rasa tersebut. Menurut Dwi, Kejati Sumbar sudah menemukan unsur tindak pidana dalam kasus tersebut sehingga sejak 8 Februari lalu kasus telah dinaikkan ke tahap penyidikan.
“Tetapi harus diingat, penanganan korupsi memang tidak semudah membalik telapak tangan,” kata Dwi.
Asisten Bidang Intelijen Kejati Sumbar, Yuswadi, menambahkan, secara umum pihaknya sudah melaksanakan tuntutan aksi itu. Pihaknya telah melaporkan perkembangan penanganan kasus tersebut ke KPK dan Kejagung.
“Kami tidak akan main-main, apalagi melihat kerugian yang mengemuka. Kalau melihat kasusnya, tidak mungkin dinikmati satu orang sehingga kami akan teliti ke mana larinya uang itu,” kata Yuswadi.