PALANGKARAYA, KOMPAS — Perusahaan perkebunan didesak lebih intensif memberikan penyuluhan kepada buruh dan pekerja sawit di lahan konsesi terkait satwa liar yang dilindungi. Pembunuhan orangutan yang terjadi di Kapuas, Kalimantan Tengah, beberapa hari lalu seharusnya tidak terjadi dan jangan sampai terjadi lagi.
”Sangat disayangkan karena perusahaan tempat tersangka bekerja, tergabung dalam Roundtable and Sustainable Palm Oil (RSPO) yang memiliki standar global dalam mekanisme perusahaan. Ini sangat disayangkan,” kata Chief Executive Officer Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jemartin Sihite, saat dihubungi dari Palangkaraya, Kamis (16/2/2017).
Sebelumnya, Sabtu (28/1) lalu, terjadi pembunuhan satu orangutan jantan berumur sekitar 20 tahun di kompleks perkebunan milik PT Susantri Permai di Kapuas, Kalimantan Tengah. Selain dibunuh, orangutan itu dimakan oleh beberapa pekerja di perusahaan sawit tersebut. Polisi pun menangkap 10 pelaku yang diduga terlibat dalam aksi brutal itu (Kompas, Rabu, 15 Februari 2017).
Jemartin mengungkapkan, upaya penyelamatan orangutan dan satwa liar lainnya yang dilakukan Yayasan BOS dan organisasi pelindung lainnya menjadi tidak ada artinya. Ia mengatakan, semua pemangku kepentingan, termasuk perusahaan sawit, harus patuh terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnyadengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun.
”Kami harap kasus ini diusut tuntas. Kami mengapresiasi penegak hukum yang menyelidiki kasus dan kami meminta semua pemangku kepentingan terus memantau perkembangannya,” tambah Jemartin.
Manajer Bagian Legal Perizinan PT Susantri Permai, Mada mengungkapkan, pihaknya juga menyayangkan kejadian tersebut terjadi di lingkungan mereka. Meskipun demikian, pihaknya belum mau berkomentar banyak terkait sosialisasi dan tindakan lainnya. ”Kami menyerahkan semuanya kepada proses hukum yang sedang berjalan. Biarkan polisi bekerja,” kata Mada.
Menanggapi kasus itu Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Tengah Dwi Darmawan mengungkapkan keprihatinannya terhadap kasus itu. Menurut dia, oknum pelaku benar-benar berperilaku primitif karena membunuh dan mengonsumsi satwa tersebut. ”Artinya mereka memang tidak paham tentang satwa liar dan dilindungi. Kalau persoalan sosialisasi dan antisipasi sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya oleh para pengusaha perkebunan sawit,” lanjut Dwi.
Habitat rusak
Koordinator Divisi Komunikasi dan Edukasi Yayasan BOS Nyaru Menteng Monterado Fridman mengatakan, orangutan pada prinsipnya merupakan satwa liar yang tinggal di hutan bukan di permukiman atau perkebunan sawit. Habitatnya yang rusak memaksa orangutan tak memiliki banyak pilihan untuk mencari makanan ke lokasi perkebunan sawit.
”Karena habitatnya rusak lalu konflik terjadi di perkebunan sawit. Selama kami menyelamatkan orangutan kami selalu mendapati bekas jerat, bekas tebasan benda tajam, bekas tembakan, pukulan, dan berbagai macam luka lainnya,” kata Fridman.
Fridman menambahkan, pihak perusahaan memiliki andil besar dalam melindungi dan memperhatikan satwa liar karena lokasi konsesi yang dekat dengan habitat satwa liar. ”Kalau pegawai atau buruh tidak paham itu akan susah, kejadian serupa akan terus terulang,” katanya.
Fridman menambahkan, selama tahun 2016 saat berlangsung operasi penyelamatan orangutan di Mangkutub, Kabupaten Kapuas, tercatat ada 74 ekor orangutan yang diselamatkan dan memiliki luka yang tidak lazim di tubuh mereka. Bahkan, selama operasi tim menemukan satu bangkai orangutan betina berumur 15 tahun, satu orangutan yang divonis buta, dan dua tengkorak orangutan dewasa. ”Semakin banyak pembukaan lahan, habitat dan ekosistem akan semakin rusak,” keluh Fridman.