MANADO, KOMPAS — Lebih dari 50 penyandang tunanetra berunjuk rasa meminta Pemerintah Kota Manado, Sulawesi Utara, tidak memperlakukan mereka sebagai pengemis karena berjualan di pinggir jalan. Para penyandang tunanetra itu meminta satuan polisi pamong praja juga menghentikan razia yang kerap dilakukan terhadap mereka saat berjualan.
Yusak, salah satu penyandang tunanetra, Selasa (28/2), mengatakan, penyampaian aspirasi itu dilakukan menyusul serangkaian razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Manado yang menangkap rekannya saat berjualan kacang di jalan. “Kami diperlakukan seperti pengemis. Kami bukan pengemis, kami berjualan,” katanya.
Kepala Satpol PP Manado Xaverius Runtuwene mengatakan, razia penyandang tunasosial pengemis dan PSK adalah bagian kerja dari aparatnya. Ia mengatakan, anak buahnya sempat mengangkut para penyandang tunanetra yang berjualan di pinggir jalan. “Tujuan kami mengangkut penyandang tunanetra agar mereka tidak ditabrak mobil. Posisi mereka berada di badan jalan sehingga mudah disenggol kendaraan,” kata Xaverius.
Hal sama disampaikan Kepala Dinas Sosial Manado Sammy Kaawoan. Penertiban penyandang tunanetra terpaksa dilakukan untuk keselamatan mereka sendiri. Mereka berdiri berjajar dan menjajakan kacang goreng di satu ruas jalan yang ramai di Manado.
Pantauan Kompas menunjukkan, sejumlah ruas jalan yang menghubungkan Jalan Piere Tendean (Boulevard) dan Jalan Sam Ratulangi ramai dipadati para penyandang tunanetra yang berdiri menjajakan kacang. Jalan sempit itu menjadi salah satu tempat berkumpul mereka.
Dari catatan Pemkot Manado, setiap hari ada lebih dari 60 penyandang tunanetra yang menjelajahi rumah makan dan rumah kopi di Manado sambil menawarkan jualan mereka. Sebagian lagi berada di jalan raya.
Yusak mengatakan, berjualan kacang dilakukan penyandang tunanetra untuk menyambung hidup. Sebagian dari mereka memiliki keluarga dan anak yang tengah bersekolah. Aktivitas berjualan kacang sudah ditekuni selama 10 tahun. Ia menyayangkan sikap Pemkot Manado yang berlaku kasar terhadap penyandang tunanetra.
“Kalau kami dapat melihat mungkin kami tidak akan berjualan di jalan,” katanya. Menurut Yusak, tempat tinggal mereka di Panti Tunanetra Paal IV Manado tidak menjamin kehidupan keluarganya, apalagi membiayai putra-putri mereka bersekolah.
Anggota DPRD Manado, Hengky Kawalo, mengatakan, pemerintah semestinya membangun tempat yang layak bagi penyandang tunanetra untuk berjualan. Tempat tersebut harus berada di pusat kota agar dagangan laku. “Mereka harus diperhatikan jika perlu diistimewakan untuk mendapatkan lokasi berjualan yang memadai,” ujarnya.