MAKASSAR, KOMPAS — Pulau Sulawesi berpotensi besar menjadi kluster ekonomi berbasis industri nikel. Untuk itu, pola industrialisasi harus dibangun secara utuh dan pemerintah harus mendukung dengan membuat kebijakan khusus dan memberikan insentif.
Hal itu mengemuka dalam Seminar Nasional Pengembangan Industri Berbasis Smelter dan Stainless Steel di Kampus Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (2/3). Acara dibuka Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) I Gusti Putu Suryawirawan dengan pembicara antara lain Tenaga Ahli Menteri Perindustrian Raden Sukhyar dan Direktur Pengembangan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Dedi Mulyadi.
Sulawesi dinilai memungkinkan dikembangkan sebagai kluster ekonomi berbasis industri nikel karena nikel Sulawesi memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan nikel dari negara lain. Posisi Sulawesi juga lebih dekat menjangkau China dan Jepang yang selama ini menjadi pasar nikel Indonesia.
“Filipina punya nikel, tapi jauh lebih bagus nikel dari Sulawesi. Australia juga punya nikel, tapi posisi Sulawesi ke Jepang dan China lebih dekat dibandingkan Australia. Modal awal ini harusnya jadi dasar menjadikan Sulawesi sebagai kluster ekonomi berbasis industri nikel dan stainless steel,” kata Sukhyar.
Sukhyar mengatakan, dengan kekayaan sumber daya yang dimiliki, Indonesia harus merebut posisi penting industri nikel yang selama ini dikuasai China dan Jepang yang bahan bakunya berasal dari Indonesia. Terlebih lagi, Indonesia mengenal nikel sejak 1970-an, jauh lebih awal dibandingkan China yang tahun 2000-an.
“Karena bergantung pada bahan baku dari Indonesia dan industri nikel padat modal dan teknologi, mestinya industri dan teknologi dari China dan Jepang yang dibawa ke Indonesia. Saatnya mendekatkan industri ke sumbernya dengan menjadikan daerah ini pusat industri nikel,” ujar Sukhyar. Ia menambahkan, kalau industri berjalan bagus, tidak menutup kemungkinan suatu saat kita tak lagi menggunakan sumber daya alam sendiri, tapi sumber daya alam dari tempat lain, misalnya dari Filipina, Australia, atau tempat lain,” kata Sukhyar.
Hal senada dikatakan Dedi Mulyadi. Menurut dia, pola pengembangan industri harus dilakukan secara utuh, tak lagi seperti selama ini yang sekadar membangun pabrik. “Pola industrialisasi secara utuh harus dilengkapi dengan pusat penelitian dan informasi. Selain itu, pembenahan fasilitas dan sarana pendukung, seperti bandara, pelabuhan, jalan, permukiman, dan ketersediaan air. Yang lebih penting, industri harus memberikan dampak ekonomi kepada warga sekitar. Pola ini yang sedang kami jalankan di IMIP,” katanya.
Sementara itu, Putu Suryawirawan mengakui, industri smelter (peleburan) adalah padat energi dan padat modal sehingga harus didukung infrastruktur yang memadai. “Indonesia termasuk 10 negara dengan cadangan bauksit, nikel, dan tembaga yang cukup melimpah. Karena itu, pemerintah mutlak mendukung dengan pemberian insentif untuk mendorong pertumbuhan industri ini,” katanya.
Dia menambahkan, sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan, industri smelter berkembang baik. Tercatat ada 23 proyek smelter yang tumbuh dengan perkiraan investasi sebesar 18 miliar dollar AS dan penyerapan tenaga kerja langsung sekitar 28.000 orang.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.