SIDOARJO, KOMPAS — Biaya pengurusan sertifikat nasional gratis membutuhkan payung hukum agar tidak menjadi pungutan liar yang berujung pada kasus hukum. Sejumlah perwakilan pemerintah desa dari sejumlah kabupaten di Jawa Timur mendesak pemerintah memberikan payung hukum agar mereka bisa menyukseskan program tersebut tanpa tersandung kasus hukum.
Perwakilan Kepala Desa dari Kabupaten Sidoarjo Samsul Huda mengatakan, program sertifikat nasional gratis itu dibiayai oleh pemerintah pusat melalui APBN. Namun, untuk proses pengurusannya perlu biaya tambahan yang dibebankan kepada masyarakat peserta program. “Selama ini besarnya biaya yang dibebankan kepada masyarakat tidak diatur dan pemerintah desa yang berinisiatif mengaturnya. Namun, penentuan besarnya biaya itu hanya berdasarkan kesepakatan lisan sehingga oleh penegak hukum dianggap sebagai pungutan liar,” ujar Samsul, Jumat (3/3) di Sidoarjo.
Samsul mengatakan, dirinya dan sejumlah perwakilan dari Kabupaten Gresik, Bojonegoro, Lumajang, Banyuwangi, Jember, dan Lamongan telah mendatangi Pemprov Jatim dan bertemu dengan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, Senin (27/2). Selain itu, perwakilan kades dari beberapa kabupaten juga mengadu ke Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kamis (2/3).
“Selain meminta payung hukum, kami juga meminta Presiden memberikan diskresi dalam kasus ini. Alasannya, saat ini banyak kepala desa dan perangkat yang menjadi tersangka karena diduga melakukan pungli pengurusan sertifikat nasional gratis,” kata Samsul.
Wakil Gubenur Jatim Saifullah Yusuf mengakui, Pemprov Jatim memfasilitasi perangkat desa untuk menemui pemerintah pusat karena merupakan program nasional. “Payung hukum merupakan langkah tepat untuk mengantisipasi persoalan hukum seperti yang sudah terjadi dan menimpa beberapa kepala desa,” katanya.
Berdasarkan data Kompas, jumlah kades yang menjadi tersangka pungli terus bertambah. Di Kabupaten Sidoarjo, awal tahun ini sudah tiga kades terjerat kasus pungli, yakni Kades Sarirogo, Kades Dukuh Sari, dan Kades Ploso. Selain itu, satu kades lagi dan sejumlah perangkatnya kini dalam penyidikan. Selain di Sidoarjo, kasus biaya pengurusan sertifikat nasional gratis ini juga menjerat kades dan perangkat desa di Kabupaten Situbondo, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Blitar, dan Lumajang.
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum Pemkab Sidoarjo Heri Soesanto mengatakan, menyikapi kekhawatiran pemerintah desa terkait program sertifikat nasional gratis, pihaknya sudah mengirim surat edaran Bupati Sidoarjo Nomor 180/1002/404.1.1.3/2017 tertanggal 3 Maret 2017 kepada seluruh kepala desa. Isi surat itu antara lain mengimbau pemdes berkoordinasi dengan masyarakat peserta sertifikasi gratis dalam menetapkan standardisasi biaya yang menjadi beban warga. Standar biaya itu disesuaikan dengan rencana anggaran biaya (RAB) sesuai letak geografis, kemampuan warga, dan harga wajar.
Menurut Gubernur Jatim Soekarwo hingga kini masih ada 10,7 juta hak atas tanah yang belum bersertifikat. “Yang sudah bersertifikat cuma 42 persen hak atas tanah,” katanya. Hingga kini masih banyak hak atas tanah belum atau memakan waktu lama dalam pengurusan sertifikat antara lain akibat keterbatasan jumlah juru ukur tanah pada Badan Pertananan Nasional Kantor Wilayah Jatim.
Kondisi ini sudah dipahami pemerintah pusat yang mengharapkan perguruan tinggi dapat segera memasok lebih kurang 10.000 juru ukur tanah pada tahun ini. Sementara kemampuan BPN Kanwil Jatim untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah rata-rata 3.500 per bulan atau 42.000 per tahun. Dengan demikian, 10,7 juta hak atas tanah yang perlu disertifikatkan itu memerlukan waktu lebih dari 250 tahun. Masalah ini bisa dipecahkan dengan meningkatkan kemampuan penerbitan sertifikat menjadi tiga atau empat kali lipat.
Soekarwo mengklaim pernah mengusulkan kepada BPN agar mempercepat penerimaan juru ukur tanah atau memakai mahasiswa Program Studi Teknik Sipil tingkat akhir dan anggota Direktorat Zeni TNI Angkatan Darat yang berkompetensi dalam pengukuran tanah. “Mereka yang sudah kompeten dalam memakai theodolit (alat survei tanah) dari mahasiswa atau anggota Zeni kenapa tidak dipakai untuk mempercepat proses pengurusan sertifikat hak atas tanah,” ujarnya.
Kendati demikian, keputusan untuk itu bergantung pada pemerintah pusat dalam hal ini BPN. Pemprov Jatim tidak berwenang mengurusi persoalan sertifikasi tanah, selain membantu BPN untuk memperlancar dan menyelesaikan sertifikasi di seluruh hak atas tanah.