SEMARANG, KOMPAS – Pembangunan rumah murah di Jawa Tengah yang ditargetkan mencapai 8.000 unit pada 2017, kemungkinan hanya terealisasi sebanyak 5.000 unit. Kenaikan harga tanah mencapai 20 persen per tahun di sejumlah kota besar menyebabkan pembangunan permukiman terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah sulit dilakukan.
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Jawa Tengah, Bayu Rama Djati, Senin (6/3), menuturkan, pembiayaan pembangunan rumah saat ini semakin memberatkan. Apalagi di sejumlah lahan strategis di Jateng, harga lahan bisa meningkat 20 persen per tahun.
“Bahkan, dalam 3-4 tahun bisa meningkat hingga 100 persen. Harga itu belum termasuk biaya konstruksi dan lain-lain,” katanya di sela-sela diskusi pengembangan properti murah di Kota Semarang, kemarin.
Pada 2016, Apersi Jateng merealisasikan pembangunan 4.000-5.000 rumah. Pada 2017, pembangunan rumah awalya ditarget 8.000 unit. Namun, dengan berbagai hambatan, di antaranya harga lahan yang semakin mahal, kemungkinan hanya tercapai 5.000 rumah.
Bayu menambahkan, di kota-kota besar di Jateng seperti Semarang, Solo, dan Purwokerto, seiring terus bertumbuhnya perekonomian, harga lahan sangat mahal. Adapun sejumlah daerah yang masih bisa dikembangkan di antaranya adalah Kabupaten Pati, Demak, dan Magelang.
Menurut Bayu, pemerintah harus membuat kebijakan agar harga lahan di daerah-daerah tersebut tidak semakin tinggi dan dapat dikembangkan untuk perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Lebih lanjut, Bayu setuju dengan pajak progresif untuk rumah karena bisa mengurangi munculnya para spekulan tanah. Namun, yang utama adalah bagaimana masyarakat berpenghasilan rendah bisa tinggal di tempat yang layak di sekitar sentra-sentra industri. Selain itu mesti dipikirkan pula moda transportasi yang memadai untuk menjangkau permukiman murah tersebut.
Gandeng BPD
Dalam rangka mendukung program Sejuta Rumah, PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), sebagai lembaga pembiayaan sekunder, memperluas pembiayaan ke berbagai daerah. Caranya, antara lain dengan menggandeng sejumlah Bank Pembangunan Daerah.
Direktur Utama PT SMF Ananta Wiyogo mengatakan, Bank Pembangunan Daerah (BPD) memliki peran penting dalam penyaluran KPR di berbagai daerah.
Ananta mengatakan, tingginya kebutuhan rumah di berbagai daerah menjadi potensi pangsa pasar besar bagi BPD. “Belum banyak BPD yang menjadi penyalur KPR. Oleh karena itu, tahun ini (2017) kami fokus pada BPD, untuk memfasilitasi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah),” ujarnya.
Saat ini, SMF sudah bekerja sama dengan 14 BPD di Indonesia. Menurut rencana, akan menambah kerja sama dengan 12 BPD lain dengan fokus bagian timur Indonesia. Ananta mengatakan, perluasan dengan menyasar wilayah Indonesia timur perlu dicoba meskipun ada risiko gagal.
Adapun target penyaluran SMF pada 2017 adalah Rp 5,7 triliun, meningkat dari 2016 sebesar Rp 5,1 triliun. Ananta berharap, penyaluran lebih baik dibandingkan 2016. Salah satunya, guna mendukung program Sejuta Rumah yang dicanangkan pemerintah, yang telah berjalan hampir setahun.