Peduli Saat Bencana Datang
”Sirene itu mulai rutin dibunyikan saat hujan mulai turun sebulan lalu. Bersama warga, kami ingin mengajak semua orang siap menghadapi potensi banjir Sungai Citepus di Pagarsih,” kata Ajun Inspektur Satu Asep Umar, petugas patroli Polsek Astana Anyar.
Sejauh ini, sirene itu ampuh menggerakkan pedagang kaki lima menyingkir dari pinggir jalan. Suaranya mendorong para pemilik mobil yang parkir di pinggir jalan untuk segera memindahkan kendaraan.
”Pemilik toko dan usaha percetakan yang berjejer di Jalan Pagarsih menyediakan tempat bagi pemilik kendaraan untuk parkir sementara. Halaman depan toko biasanya lebih tinggi dari badan jalan,” katanya.
Persiapan mereka tepat. Hanya setengah jam setelah sirene berbunyi, Sungai Citepus meluap memenuhi badan jalan. Hujan di hulu sungai di kawasan Bandung utara jadi pemicunya. Debit air yang mengalir deras tak mampu ditampung sungai sepanjang 10,98 kilometer itu.
”Bulan ini, Citepus sudah dua kali meluap. Namun, sejauh ini dampaknya tidak parah,” kata Wildan (24), warga Pagarsih.
Kondisi itu kontras dibandingkan enam bulan lalu. Saat itu, warga tak siap menghadapi luapan Citepus. Akibatnya, mobil yang diparkir di pinggir jalan tersapu hujan deras. Tercatat dua kendaraan terseret air dan masuk ke dalam gorong-gorong. Kabar itu tersebar viral di media sosial dan mencorengkan noda di wajah Kota Bandung.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan, beberapa infrastruktur, seperti kolam retensi, masih dibangun dan ditargetkan rampung Oktober tahun ini. Langkah lain adalah membersihkan gorong-gorong dan saluran air.
Kepala Seksi Perencanaan Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung Cecep Riksan mengatakan, Pemkot Bandung menganggarkan Rp 54,8 miliar untuk membangun kolam retensi di Arcamanik dan Pasteur. Hal itu bertujuan untuk menampung tingginya debit air saat musim hujan.
Peduli
Warga Kabupaten Bandung tak ingin berpangku tangan. Kembali dihajar banjir sejak akhir Februari 2017, mereka pilih mandiri.
Kantong mata Bambang Supriyanto (52) menghitam saat tiba di depan SMA ABA, salah satu tempat tinggi di Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah. Jarum jam menunjukkan pukul 23.50.
Malam itu keinginan untuk istirahat setelah bekerja seharian di salah satu pabrik tekstil harus ditunda. Akses jalan menuju rumahnya di Kampung Ciputat, Kelurahan Andir, putus akibat banjir. Ciputat tak ubahnya kolam raksasa dengan hiasan rumah terendam.
”Sekarang mau ronda dulu. Takut ada warga yang sakit, tapi sulit keluar karena banjir,” kata Bambang.
Ia lantas memanggil Sahrul Gunawan (16), warga Andir lain, yang menunggunya di pinggir genangan air. Sigap, tubuh kecil anak putus sekolah itu meloncat ke atas perahu kayu butut miliknya. Ototnya menegang, lengannya mulai mengayuhkan dayung mendekati Bambang.
Di atas perahu, Bambang bercerita ronda malam rutin dilakukan warga saat banjir datang sejak setahun lalu. Ronda juga dilakukan guna mencegah maling menyatroni rumah yang ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi akibat banjir.
Hingga Rabu (1/3) malam, tercatat sekitar 300 warga Andir mengungsi. Rata-rata rumah mereka digenangi air setinggi 1 meter hingga harus meninggalkan rumah. Mereka hanya sedikit dari total warga korban banjir Kabupaten Bandung sekitar 11.000 orang pada awal Maret 2017.
”Kami tidak dibayar. Kami hanya ingin membantu warga lain,” kata Bambang, sembari merapatkan jaket tebal untuk menahan dingin ke tubuhnya.
Tidak terasa, perbincangan di atas perahu sembari mengamati rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya sudah berjalan 2 jam. Total jarak tempuh perahu pagi itu mencapai 2 kilometer.
Standar operasi baru
Sembari menahan kantuk di mata yang semakin berat, Bambang tersenyum. Malam itu, banjir tak mengganas. Rata-rata ketinggian air hanya 1 meter. Warga yang sakit atau maling nekat juga tidak terlihat.
”Saya senang menjaga mimpi warga yang terlelap meski dikelilingi banjir. Saya ikhlas karena yakin tidak sendirian. Banyak orang melakukan hal serupa, peduli untuk orang di sekitarnya,” katanya.
Keesokan harinya, ucapan Bambang terbukti. Warga di Kampung Jambatan, Kecamatan Baleendah, yang berjarak 1 kilometer dari Andir, melakukan kerja serupa.
Teddy (50), warga Kampung Jambatan, mengatakan, masyarakat menggelar ronda bergantian. Tugasnya beragam. Ada yang memandu warga keluar dari rumah di gang sempit menggunakan ban bekas. Ada yang memasang tali untuk pegangan warga di sepanjang jalan kampung.
”Setiap malam ada warga yang jaga di depan gang. Dengan demikian, warga yang masuk atau keluar gang bisa terpantau. Ini jadi standar operasi saat banjir, demi keamanan bersama,” kata Teddy.
Menjelang magrib, amukan Sungai Citepus yang membanjiri Jalan Pagarsih reda. Di jalanan tersisa lumpur dan sampah milik warga dari kawasan hulu sungai. Namun, konsentrasi Darmawan (34), warga Pagarsih, masih tinggi dalam mengawasi air di Posko Penanggulangan Bencana Banjir Sungai Citepus.
”Posko ini dibuat warga untuk melihat debit air Citepus. Kapan Jalan Pagarsih berbahaya dan kapan aman dilintasi saat hujan dipantau dari sini,” ujarnya.
Darmawan mengatakan, sebelumnya langkah menghadapi banjir tak pernah disiapkan sedetail ini. Kini, dia tahu apa yang harus dilakukan saat alam tak bisa dilawan. Bila sebelumnya diam, mereka kini bergerak untuk hal yang lebih baik.
(RON/SEM/TAM/BKY)