KUTA, KOMPAS – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika kembali mengukur pelepasan emisi gas rumah kaca dan partikel debu yang terjadi sebelum, saat, dan setelah hari raya Nyepi. Pengukuran berulang tersebut untuk membuktikan kontribusi aktivitas manusia terhadap emisi gas rumah kaca dan benda partikulat.
Pengukuran pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) dan benda partikulat pada Nyepi mulai dilaksanakan BMKG pada 2013, lalu pada Nyepi 2015. Pengukuran diulang pada Nyepi 2017.
Hal itu dikatakan Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Klimatologi dan Kualitas Udara Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG Ardhasena Sopaheluwakan di BMKG Wilayah III Denpasar, Tuban, Kuta, Kabupaten Badung, Kamis (23/3).
“Bali spesial. Karena saat Nyepi tidak ada aktivitas di satu pulau ini sehingga bisa diukur berapa emisi atau konsentrasi gas rumah kaca dan partikulat yang diakibatkan oleh aktivitas manusia,” kata Ardhasena yang didampingi Kepala Bidang Data dan Informasi BMKG Wilayah III Denpasar Nyoman Gede Wiryajaya.
Ardhasena menambahkan, pengukuran pelepasan emisi GRK dan benda partikulat dilakukan di lima lokasi berbeda di Bali dimulai tiga hari sebelum (H-3) Nyepi hingga tiga hari setelah (H+3) Nyepi. Lima lokasi pengukuran tersebut berada di Denpasar, Tabanan, Buleleng, Jembrana, dan Karangasem. Hari Nyepi 2017 jatuh pada Selasa (28/3).
Emisi GRK yang akan diukur tersebut, di antaranya karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), dan nitrogen dioksida (NO2). Ardhasena menjelaskan, pengukuran dilakukan berulang untuk membuktikan dengan data adanya keterkaitan aktivitas manusia terhadap pelepasan emisi GRK.
Menurun
Hasil pengukuran pada 2013 menunjukkan, terjadi penurunan emisi GRK di Bali saat Nyepi. Penurunan CO2 di Denpasar, misalnya, terpantau 33 persen jikalau dibandingkan sebelum dan setelah Nyepi. Pada Nyepi 2015 juga terpantau penurunan emisi GRK di Bali. Pengukuran ketika Nyepi 2015 menunjukkan, terjadi penurunan CO2 sebesar 36 persen di Denpasar.
“Pengukuran pada Nyepi tahun ini adalah pengukuran yang ketiga. Kami berencana melakukan pengukuran lagi untuk mengetahui tren dan memperkokoh hasil pengukuran sebelumnya,” kata Ardhasena.
Terkait hal itu, dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali, I Gusti Ngurah Santosa, menyatakan, perlu upaya tambahan, yakni dengan menanam pohon sebagai langkah mitigasi perubahan iklim, terutama dalam pelepasan emisi GRK. “Menanam pohon untuk menjaga kuantitas vegetasi dan meningkatkan kualitasnya harus dilakukan karena aktivitas manusia akan terus meningkat,” kata Santosa di BMKG Denpasar.
Secara terpisah, Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PT PLN (Persero) Distribusi Bali I Gusti Ketut Putra menyatakan, pemakaian listrik di Bali saat Nyepi diperkirakan menurun. Pada kondisi normal, beban puncak pemakaian listrik di Bali mencapai 860,2 megawatt (MW).
“Pada saat Nyepi, beban puncak diprediksi akan menurun sekitar 35 persen sampai 40 persen,” kata Putra. Beban puncak pada malam hari saat Nyepi diperkirakan sekitar 531 MW.
Penurunan pemakaian listrik disebabkan tidak ada aktivitas perkantoran dan industri. Penggunaan listrik di kalangan rumah tangga juga diperkirakan akan berkurang. Putra menambahkan, PLN tetap menyiagakan personel teknik saat Nyepi untuk menangani gangguan kelistrikan.