SURABAYA, KOMPAS – Komunitas penganut Syiah warga Kabupaten Sampang, Madura, memperingati keberadaan mereka selama lima tahun di tempat pengungsian, yakni rumah susun Jemundo, Kabupatan Sidoarjo, Jawa Timur. Selasa (21/3), sejumlah organisasi nonprofit mengundang warga Syiah Sampang untuk membahas hak mereka untuk pulang tanpa syarat apa pun.
Aan Anshori dari Jaringan Islam Antidiskriminasi dan Koordinator Komunitas Gusdurian Jombang menegaskan, ada warga negara yang menjadi pengungsi di negerinya sendiri merupakan tragedi besar era ini. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menghapuskan fenomena itu. Sulit dimengerti bahwa sepanjang lima tahun warga dibantu para aktivis NGO berulang kali melakukan aneka bentuk kajian dan upaya negosiasi agar warga Sampang bisa pulang ke rumah masing-masing tanpa syarat apa pun. Namun, upaya itu belum menunjukkan hasil.
Djuwir Muhammad dari Kontras Surabaya mengatakan, dalam peringatan lima tahun pengungsi Syiah Sampang meninggalkan tanah kelahiran, mereka mendesak pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan di dalam negeri. Pemerintah daerah dalam hal ini Pemprov Jawa Timur merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk memulangkan dan menjamin keamanan warga Sampang di rumahnya sendiri.
“Mestinya tidak sulit karena tinggal menyelenggarakan praktik pengamanan yang biayanya mungkin sama dengan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk memberi pasokan bantuan pangan kepada pengungsi Syiah di tempat penampungan di Rumah Susun Jemundo,” kata Djuwir.
Adhe dari Komunitas Akar Teki yang selama ini melakukan pendampingan kepada anak-anak pengungsi menyatakan, kondisi terbaik yang bisa diberikan kepada anak-anak pengungsi adalah bisa tumbuh dan berkembang di kampung halaman sendiri. Pengalaman otentik dengan kampung halaman merupakan hubungan asasi antara manusia dan lingkungannya. Hal itu tak akan bisa terpenuhi di lokasi pengungsian yang serba terbatas.
Saat ini populasi warga Syiah Sampang di Rumah Susun Jemundo, Sidoarjo, sekitar 335 orang dari 81 KK. Setiap KK mendapat bantuan pangan yang disebut jaminan hidup sebesar Rp 709.000 per bulan. Untuk memandirikan warga, dengan dorongan Pemprov, kelompok usaha mengirim kelapa dan warga mengupas kelapa itu di halaman rusun untuk menjadi sumber nafkah.
Ustaz Tadjul, pemimpin keagamaan dan pemimpin masyarakat di komunitas ini, menyatakan, kasus warga Syiah Sampang bukan persoalan agama, melainkan soal kompetisi politik di antara elite politik. Sudah dua bulan ini jatah hidup belum cair, sementara kiriman kelapa dari pengusaha terhenti. “Kami membutuhkan Kartu Indonesia Sehat dan kartu BPJS Kesehatan untuk warga yang sakit,” katanya.