logo Kompas.id
NusantaraKeseimbangan Alam dengan...
Iklan

Keseimbangan Alam dengan Ogoh-ogoh Ramah Lingkungan

Oleh
· 3 menit baca

Belasan anak dan pemuda berkumpul menyaksikan Putu Marmar Herayukti (34) bersama teman-temannya, warga Banjar Gemeh, Kota Denpasar, Bali, menyelesaikan raksasa ogoh-ogoh di bale banjar, Sabtu (25/3) sore. Sebulan lalu, mereka memulai pekerjaan itu. Ogoh-ogoh harus siap Senin (27/3) sebelum diarak malam hari menjelang perayaan Nyepi, Selasa (28/3). Selama empat tahun terakhir, para pemuda Denpasar membuktikan kemampuan membuat ogoh-ogoh berbahan ramah lingkungan. Ini terwujud bertahap dalam lomba yang diselenggarakan Pemerintah Kota Denpasar. Marmar adalah salah satu pemuda yang memelopori pemanfaatan ulatan (rangkaian) bilah bambu sebagai ganti styrofoam untuk ogoh-ogoh."Memang tidak mudah. Tetapi harus. Selain untuk kebaikan alam, juga menjadi bagian dari menjaga tradisi keterampilan mengulat (merangkai) bambu menjadi bentuk raksasa yang bernilai seni. Leluhur menggunakan ini, sayang jika punah hanya karena memakai styrofoam lebih mudah membentuk," kata Marmar serius.Ia sempat menggunakan bahan tak ramah lingkungan dalam tiga kali Nyepi sejak tahun 2011. Nyepi pada hakikatnya adalah perayaan yang jauh dari ingar-bingar guna mengembalikan keseimbangan alam.Raksasa sebagai simbol kejahatan yang kemudian diwujudkan dengan ogoh-ogoh setinggi lebih dari 2 meter itu biasanya dibuat bersama-sama oleh pemuda di banjar masing-masing se-Bali. Pada malam sebelum catur brata penyepian, ogoh-ogoh diarak warga keliling banjar atau desa dengan nyala obor. Selesai diarak, raksasa simbol kejahatan harus dimusnahkan dengan dibakar di perempatan jalan atau kuburan. "Jika pembakaran menyebabkan polusi yang merusak alam, apalah artinya," kata Marmar. Padahal, sebelum Nyepi, umat Hindu Bali melaksanakan upacara Tawur Agung untuk pengembalian keseimbangan alam.Karena itu, Marmar tak putus-putus mengajak teman-temannya untuk beralih ke bahan baku ogoh-ogoh yang lebih ramah. Tak mencemari lingkungan, tidak mahal, berbudaya, dan memiliki nilai seni tinggi.Tema raksasa yang dipilih Marmar dan teman-teman adalah Taru Pule. Dalam legenda Hindu Bali, taru pule artinya pohon pule. Pohon itu diyakini mampu menjadi obat. Secara empiris, pohon pule merupakan obat radang tenggorokan. Marmar berharap manusia tak lagi angkuh dan mampu bersahabat dengan alam.Benahi harmoniKetua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Gusti Ngurah Sudiana setuju pembuatan ogoh-ogoh memanfaatkan bahan ramah lingkungan. Tahun ini, PHDI Bali mengimbau masyarakat agar menggunakan bahan baku seperti bambu.Nyepi, demikian Sudiana, menjadi lebih bermakna jika seluruh rangkaian prosesi menjelang perayaan benar-benar menghargai alam. "Lingkungan bersih dan keseimbangan alam terjaga. Saat ini, setidaknya 35 banjar di Denpasar sudah menjalani dan semestinya bertahap diikuti seluruh banjar di Bali yang jumlahnya lebih dari 5.000 banjar," kata Sudiana.Apalagi, belum lama ini Bali terkena bencana seperti longsor, banjir, dan krisis air. Menurut Sudiana, sudah waktunya umat Hindu Bali introspeksi.Jika pemuda Denpasar mampu memanfaatkan bahan ramah lingkungan, delapan kabupaten lain seharusnya bisa. Nyepi tahun ini berdekatan dengan hari raya Galungan. Ini seharusnya jadi momentum untuk membenahi harmoni alam.(Ayu Sulistyowati)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000