logo Kompas.id
NusantaraKemiskinan Picu Bencana
Iklan

Kemiskinan Picu Bencana

Oleh
· 3 menit baca

BANDUNG, KOMPAS — Kemiskinan berpotensi memicu korban jiwa lebih besar di daerah rawan bencana. Dengan alasan ekonomi, makin banyak masyarakat bermukim di lereng bukit yang berpotensi longsor, pinggir sungai yang rawan banjir, hingga wilayah gunung berapi yang masih aktif. "Kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu dampak bencana semakin besar. Di daerah rawan longsor, misalnya, warga yang dengan penghasilan minim kerap membuka lahan untuk bermukim dan menanam sayur semakin jauh ke wilayah perbukitan. Harga tanah di perbukitan memang relatif lebih murah," ujar Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani, di Bandung, Jawa Barat, Senin (10/4).Menurut dia, aktivitas masyarakat jelas berpotensi memicu tingginya bahaya di daerah rawan bencana alam. Perbukitan yang curam, kata Kasbani, seharusnya hanya ditanami tanaman berakar kuat yang mampu mengikat air.Tanpa akar yang kuat, Kasbani mengatakan, tanah gembur di perbukitan rentan retak saat pergantian musim hujan ke kemarau. Akibatnya, longsor kerap terjadi saat hujan mengguyur daerah itu meski tidak lebat. "Kekuatan lahan yang terkena alih fungsi ada batasnya. Jadi, tak bisa dipaksakan untuk terus dimanfaatkan," kata Kasbani. Kasbani mengatakan, longsor di Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, harus menjadi pelajaran penting. Apalagi, tanah dengan kemiringan lebih dari 40 derajat itu dihuni penduduk dan ditanami sayuran."Daerah itu tidak layak ditinggali. Selain akibat alih fungsi lahan, kawasan itu masuk zona lemah karena diperkirakan terdapat struktur patahan. Pemerintah daerah sebaiknya memanfaatkan peta kerawanan gerakan tanah yang dikeluarkan PVMBG. Jika potensinya sudah diketahui, kewaspadaan harus ditingkatkan," ujarnya.Warga ketakutanDi Kabupaten Garut, Jawa Barat, kemiskinan membuat warga korban banjir bandang Sungai Cimanuk kembali ke kawasan rawan bencana. Norman Sobat (48), warga Kampung Cimacan, Desa Haeurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, bersama keluarga besarnya juga kembali membangun rumah di lokasi bekas banjir bandang. Cimacan adalah salah satu kampung yang diterjang banjir dengan ketinggian air hingga lima meter. Sebanyak 11 orang warga kampung itu tewas dari total korban jiwa di Garut sebanyak 53 orang. "Saya kembali lagi karena tidak punya alternatif pekerjaan lain selain jadi buruh pabrik dekat Cimacan dengan upah Rp 80.000 per hari," kata Norman. Norman mengatakan, rumah berukuran 7 meter x 6 meter itu dibangun dua bulan lalu. Biayanya dari sumbangan keluarga sebesar Rp 40 juta. Rumah yang dihuni 12 orang itu, hanya 10 meter dari Sungai Cimanuk."Setiap musim hujan, kami selalu ketakutan, tetapi tidak ada pilihan lain. Tidak punya uang bangun di tempat lain," katanya.Alasan serupa disampaikan oleh warga yang tinggal di daerah pergerakan tanah di Dusun Parenca, Desa Gumulunglebak, Greged, Kabupaten Cirebon. "Meski rawan longsor, harga tanah di sini Rp 1 juta per 14 meter persegi. Jauh lebih murah di daerah sekitar Kota Cirebon yang lebih aman bencana, tetapi harganya Rp 3,5 juta per 14 meter persegi," kata Enno (51), warga Parenca, yang mengungsi ke rumah kerabat akibat rumahnya ambruk karena pergerakan tanah pada Februari 2017. Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar telah meminta camat atau lurah setempat untuk tidak memberikan izin tinggal di daerah bekas bencana. "Tidak perlu kembali tinggal dekat dengan bahaya. Pemerintah daerah harus aktif merelokasi warga yang tinggal di daerah rawan bencana," ujarnya. (BKY/TAM/IKI)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000