PONOROGO, KOMPAS -- Tanah longsor kembali menghantam Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Rabu (19/4) sekitar pukul 15.00. Kejadian itu menjadi bencana susulan ketiga sejak tanah longsor menimbun dan menewaskan 28 warga, Sabtu (1/4).
Tanah longsor susulan itu terjadi setelah kawasan diguyur hujan deras selama tiga jam. Material yang longsor berasal dari sektor D atau satu dari empat sektor kawasan yang tertimbun material longsor, meliputi Dusun Tangkil dan Dusun Krajan. Bencana susulan menimbun tiga rumah di sektor D. Namun, tidak ada korban jiwa akibat tanah longsor susulan itu sebab warga sudah mengungsi sejak awal bulan.
Tanah longsor di Desa Banaran berasal dari sebuah bukit terjal di Dusun Tangkil yang runtuh pada Sabtu (1/4) sekitar pukul 07.30. Material longsor meluncur dan menimbun kawasan lembah perbukitan sepanjang hampir 1,5 kilometer dengan perkiraan luas 4 hektar. Saat masa pencarian terhadap korban tertimbun, kawasan timbunan material longsor dibagi menjadi sektor A, B, dan C berdasarkan letak dan ketebalan material.
Sektor A berada di bawah mahkota tebing yang longsor dan berketebalan tertinggi, yakni bisa lebih dari 20 meter. Sektor B di bawahnya dengan ketebalan material 10-15 meter. Sektor C yang berada di bagian terbawah berketebalan 4-10 meter. Di sektor C inilah, tim SAR terpadu menemukan tiga jenazah, sedangkan satu jenazah lainnya ditemukan di sektor A. Operasi pencarian telah dihentikan, tetapi masa tanggap darurat penanganan tanah longsor masih berlangsung sampai Sabtu (22/4).
Adapun sektor D ditetapkan karena sempat terjadi dua kali longsor susulan sehingga kawasan yang tertimbun tanah longsor menjadi lebih panjang. Sebelumnya, sampai dengan sektor C, material longsor belum mendekati Dusun Krajan yang berada di bawah Dusun Tangkil. Namun, sejak longsor susulan kedua pada Minggu (9/4), material sudah menutup sebagian kawasan Dusun Krajan.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Ponorogo Sumani saat dihubungi dari Surabaya, Kamis (20/4), mengatakan, tiga rumah yang diterjang tanah longsor susulan pada Rabu itu milik warga bernama Soeran, Tini, dan Paeran. Tim terpadu yang masih ada di lokasi mencoba memeriksa lokasi tanah longsor karena khawatir ada kemungkinan warga tertimbun, tetapi belum diketahui.
Bencana susulan itu sebenarnya sudah bisa diperkirakan. Terbukti, BPBD telah merencanakan pembuatan saluran air untuk mengantisipasi bencana susulan berupa banjir bandang atau tanah longsor kembali. Namun, pembuatan jaringan saluran air dengan tujuan mengalirkan sebagian material longsor belum bisa dilaksanakan sebab semua ekskavator yang berjumlah 10 unit sudah ditarik.
Padahal, ancaman bencana susulan berpeluang terjadi kembali. Di lokasi, ada empat genangan air yang timbul dari pergerakan material longsor akibat kawasan terus-menerus diguyur hujan. Bentukan itu belum ditangani secara intensif oleh tim terpadu dengan rekayasa teknik.
Masih terkait tanah longsor, masa pencarian lima korban tertimbun di Desa kepel, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Ngajuk, dihentikan. Pencarian sudah berlangsung sepuluh hari sejak bencana terjadi pada Minggu (9/4) sekitar pukul 12.00 dan hasilnya nihil atau kelima korban belum ditemukan. ”Tim terpadu masih membersihkan material longsor karena timbunan menimbulkan bentukan bendungan Kali Gede yang jika dibiarkan bisa mengakibatkan banjir bandang atau tanah longsor susulan,” ujar Koordinator Misi SAR Tanah Longsor Kabupaten Nganjuk Letnan Kolonel (Arhanud) Sri Rusyono.
Untuk mencegah timbulnya korban jiwa dari bencana susulan, tim memberi arahan kepada warga di sepanjang Kali Gede perihal prosedur evakuasi. Selain itu, tim terpadu membentuk tim-tim kecil yang bertugas di sejumlah titik untuk memantau kondisi lereng dan sungai serta membuat jalur evakuasi bagi masyarakat terdampak.
Pengabaian
Bencana yang menerjang Desa Banaran sebenarnya bisa dihindari jika pencegahan tidak diabaikan. Dua bulan sebelum bencana terjadi, di Desa Banaran muncul sejumlah retakan tanah. Munculnya retakan itu sudah dilaporkan warga kepada aparatur desa. Retakan di Dusun Tangkil pada tebing setinggi lebih dari 100 meter ternyata terus membesar. Retakan ini mendapat perhatian tidak hanya dari aparatur desa, tetapi juga dari Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Tebing yang retak itu berada di perbukitan dengan kemiringan lebih dari 40 derajat atau curam. Lerengnya adalah kebun atau ladang warga dengan dominasi tanaman hortikultura, yakni jahe, jagung, dan singkong. Ada juga pohon cengkeh, sengon, jabon, dan jati, tetapi jarang. Di mahkota tebing didominasi tegakan pinus karena merupakan kawasan hutan negara.
Di bawah tebing itu, ada lebih dari 30 rumah. Untuk mencegah korban jiwa jika tebing itu longsor, warga diminta mengungsi. Di lokasi juga dipasangi rambu peringatan bahwa tebing rawan longsor. Imbauan untuk mengungsi memang dipatuhi oleh warga, terutama pada malam hari. Mereka mengungsi karena tahu tebing akan longsor. Apalagi, retakan terus membesar. Selain itu, hujan deras, yang merupakan faktor pendorong bencana, terus turun sehingga tanah semakin labil.
Masalahnya, seusai mengungsi, pada pagi hari, warga kembali ke rumah untuk bersiap beraktivitas. Ada yang mengecek ternak, mempersiapkan bekal untuk anak sekolah, atau persiapan beraktivitas ke kebun dan ladang.
Sebelum pukul 07.30 pada Sabtu itu, warga Dusun Tangkil kembali dari pengungsian. Cuaca cerah meski beberapa jam sebelumnya kawasan dihajar hujan deras. Seorang aparatur desa juga berada di lokasi untuk mengecek retakan sekaligus mengawasi aktivitas warga yang akan memanen jahe di ladang pada tebing yang rentan itu. Anak-anak sudah berangkat ke sekolah yang berjarak sekitar 600 meter dari tebing itu.
Namun, pukul 07.30, tebing itu tiba-tiba runtuh dan menimbun 28 warga serta 32 bangunan.
Tanah longsor itu tidak terduga. Mitigasi atau pencegahan sebenarnya sudah ditempuh dengan cara mengungsikan warga. Namun, sulit untuk memastikan warga tidak kembali ke lokasi bencana yang notabene adalah ladang penghidupan.
Mitigasi dalam bentuk rekayasa pertanian atau mendorong masyarakat tidak menanami lereng curam dengan tanaman hortikultura belum berjalan meski penyuluh pertanian sudah berkali-kali mengimbau masyarakat beralih ke tanaman keras untuk menekan risiko lereng longsor. Alasan warga, tanaman hortikultura mudah dirawat dan cepat dipanen. Meski hasil penjualan kurang memuaskan, tanaman semusim itu cepat memberikan uang tunai ketika hasil panen dijual ke pasar di Kecamatan Pulung, sekitar 15 kilometer dari Desa Banaran.
Selain itu, munculnya retakan dan potensi gempa sebenarnya bisa didetaksi sejak lama. Pada 2014, Pemprov Jatim memasang alat pendeteksi gerakan tanah di Desa Banaran. Namun, sejak setahun terakhir, alat itu rusak dan belum diperbaiki. Pemkab Ponorogo tidak berwenang memperbaiki alat itu sebab merupakan aset Pemprov Jatim.
Kepala Desa Banaran Sarnu mengatakan, mitigasi terhadap bencana belum sempurna. Warganya belum pernah mendapat semacam pelatihan tanggap bencana. Mereka memang tahu hidup di kawasan rawan bencana karena desa ini dikelilingi perbukitan terjal. Namun, pemahaman perihal antisipasi dan evakuasi belum menjadi pengetahuan lazim di kalangan warga. ”Setelah peristiwa menyedihkan ini barulah paham betapa pentingnya kami memahami bagaimana hidup di lokasi rawan,” katanya di lokasi, beberapa waktu lalu. (SYA/BRO)