logo Kompas.id
NusantaraPara Korban Rumuskan Jalan...
Iklan

Para Korban Rumuskan Jalan Perjuangan

Oleh
· 3 menit baca

SIDOARJO, KOMPAS — Kebijakan pemerintahan tidak mau menalangi pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur dan menyelesaikannya secara bisnis merupakan bentuk diskriminasi dan pengingkaran terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Hal itu menambah panjang derita korban yang berjuang selama 11 tahun. Demi menuntut keadilan, mereka menyusun rumusan perjuangan yang akan ditempuh. Salah satu pengusaha korban lumpur, pemilik PT Oriental Samudera Karya, Joni, mengatakan, pihaknya masih pemilik sah dari sebagian tanah di dalam Peta Area Terdampak (PAT). Mereka menguasai sertifikat tanah setelah mengambilnya dari notaris. Pengambilan sertifikat dilakukan karena Lapindo Brantas Inc gagal memenuhi kewajiban menyelesaikan pembayaran ganti rugi melalui mekanisme bisnis. "Setelah perjanjian bisnis gagal dipenuhi, pengusaha seperti halnya korban lumpur lain berhak menerima pembayaran ganti rugi berupa pembayaran terhadap tanah dan bangunan. Namun, hingga 11 tahun berlalu, ganti rugi tak kunjung dibayar," ujar Joni, Jumat (28/4). Presiden Joko Widodo, Rabu (26/4), memutuskan tak memberi ganti rugi kepada 30 pengusaha korban lumpur yang total asetnya Rp 701 miliar berupa tanah Rp 542 miliar dan bangunan Rp 158 miliar. Pemerintah menilai ganti rugi kepada pengusaha itu tidak tepat karena mereka punya alat produksi mesin dan asuransi (Kompas, 27/4).Demi menuntut pembayaran ganti rugi, para pengusaha menempuh jalur hukum dan melahirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 83 Tahun 2013. Dalam amar putusannya, MK menyatakan negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti rugi sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.Menurut Joni, putusan MK mewajibkan negara menjamin pembayaran ganti rugi terhadap masyarakat. Adapun masyarakat di wilayah PAT adalah seluruh korban lumpur tanpa membedakan antara warga dan pengusaha sebab pengusaha hanya jenis pekerjaan. Obyek yang diganti rugi adalah tanah dan bangunan yang berdokumen resmi. "Apabila pemerintah menyuruh pengusaha korban lumpur menyelesaikan secara bisnis, berarti pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap masyarakatnya dan melanggar putusan MK No 83," kata Joni.Pelanggaran lain yang dilakukan pemerintah adalah menggunakan tanah dan bangunan milik pengusaha selama 11 tahun tanpa membayar dan menyuruh pemiliknya menuntut ke Lapindo. Tanah dan bangunan itu diambil paksa untuk pembangunan tanggul dan kolam lumpur, pembukaan akses jalan, dan penyelamatan sejumlah desa agar terhindar dari bencana. "Pengusaha sudah memenuhi kewajiban menyerahkan asetnya demi membantu penanganan bencana semburan lumpur. Seharusnya pemerintah memberikan hak pengusaha bukan malah mengingkari konstitusi," ucap Joni. Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darusalam mengatakan masih menunggu kebijakan lanjutan dari pemerintah pusat setelah keputusan itu. "Setelah mengetahui secara rinci kebijakan pemerintah terkait pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur, baru perusahaan akan menyusun langkah lanjutan. Saat ini, perusahaan masih menunggu," ujar Andi. (NIK)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000