SURABAYA, KOMPAS — Sebanyak 724 kepiting dilepasliarkan di kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (3/5). Pelepasan ratusan kepiting tersebut menjadi salah satu upaya agar ekosistem di kawasan mangrove itu terjaga. Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Surabaya I bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surabaya melaksanakan pelepasan kepiting dalam rangka menyambut ulang tahun ke-724 Surabaya yang jatuh setiap 31 Mei.
Kepala Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kelas I Surabaya I, Putu Sumardiana, di Surabaya, mengatakan, seluruh kepiting yang dilepasliarkan itu merupakan kepiting bakau (Scylla sp) yang disita di Bandara Juanda karena tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, serta Rajungan.
Berdasarkan peraturan menteri tersebut, penangkapan dan atau pengeluaran kepiting hanya dapat dilakukan jika hewan itu memiliki ukuran lebar karapaks di atas 15 sentimeter atau berat di atas 200 gram. ”Seluruh kepiting yang dilepasliarkan memiliki berat di bawah 200 gram,” ujar Putu.
Pemulihan ekosistem
Pemilihan kawasan Ekowisata Mangrove Wonorejo sebagai lokasi pelepasan kepiting mengacu pada riset peneliti Universitas Hang Tuah, Surabaya. Peneliti dari Universitas Hang Tuah, Nirmalasari Idha Wijaya, menuturkan, hasil riset tersebut menyatakan rehabilitasi mangrove seluas 223,8 hektar itu sudah berhasil sehingga ekosistemnya kembali pulih, karena itu siap difungsikan sebagai habitat kepiting bakau.
Dengan pulihnya ekosistem di mangrove tersebut, kepiting bakau bisa bertahan hidup karena moluska dan cacing yang menjadi makanan kepiting bakau tersedia. Karena bisa bertahan hidup, keberadaan kepiting bakau diharapkan mampu menjaga keseimbangan ekosistem serta memberikan manfaat di mangrove itu.
”Kepiting bakau akan menggali tanah. Hal itu berdampak pada perbaikan tekstur tanah di Mangrove Wonorejo,” ucap Nirmalasari, yang juga dosen Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya.
Agar kepiting bakau bisa bertahan hidup, vegetasi di mangrove tersebut harus dijaga sehingga tidak terjadi penebangan liar. Selain itu, penangkapan kepiting bakau juga harus diawasi oleh petugas di Mangrove Wonorejo ataupun masyarakat sekitar.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya Joestamadji menuturkan, Pemerintah Kota Surabaya berharap kepiting bakau yang dilepasliarkan bisa berkembang biak. Dengan demikian, masyarakat berkesempatan melakukan budidaya kepiting di Mangrove Wonorejo. ”Nantinya, masyarakat bisa menghasilkan keanekaragaman pangan dari pengolahan kepiting bakau,” ujarnya.