BALIKPAPAN, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menganggap Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur lambat dan tidak berani menyelesaikan karut-marut permasalahan tambang batubara. Pemprov Kaltim beralasan, dibutuhkan waktu untuk mencabut ratusan izin bermasalah.
Demikian diungkapkan oleh Ketua Tim Pencegahan Korupsi KPK, Dian Patria, dalam evaluasi pelaksanaan koordinasi dan supervisi minerba KPK, Selasa (9/5/2017). ”Masalah sudah jelas, yang melanggar juga sudah jelas. Kok tidak punya keberanian (menindak). Mengharapkan pemerintah daerah yang tidak segera jalan, capek juga,” kata Dian.
Koordinasi dan supervisi minerba oleh KPK ke Kaltim, yang merupakan agenda tahunan ini, diawali tahun 2014. Ini sebagai respons atas kuatnya desakan banyak pihak kepada KPK agar turun mengawasi karut-marut permasalahan tambang. Pertemuan pertama diadakan November 2014 di Balikpapan dan dihadiri gubernur—atau perwakilannya—seluruh Kalimantan.
Saat itu KPK mendesak agar semua gubernur di Kalimantan membenahi masalah pertambangan. Dian menjelaskan, rentang waktu dari 2014 hingga 2017 sebenarnya sudah cukup bagi Kaltim, tetapi kenyataannya tidak. Ia memberi gambaran provinsi lain ternyata bergerak lebih cepat di antaranya adalah Sumatera Selatan yang sudah mencabut lebih 200 izin tambang bermasalah.
Dian melihat belum melihat ada izin tambang bermasalah di Kaltim yang dicabut. Ia menduga itu lebih banyak disebabkan faktor nonteknis karena ada kesan pemerintah daerah tidak bisa ”menyentuh” para pelaku usaha pertambangan.
Dengan fakta itu, Dian perlu meminta dukungan beberapa menteri terkait untuk ikut menekan Kaltim dan mempersempit ruang gerak pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) bermasalah, antara lain Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, dan Menteri Dalam Negeri.
Dian memberi gambaran, Menhub misalnya, bisa memerintahkan pihak kesyahbandaran pelabuhan untuk tidak mengeluarkan Surat Perintah Berlayar (SPB) bagi kapal-kapal milik perusahaan yang bermasalah. Menkeu juga diharapkan bisa memerintahkan Bea Cukai untuk tidak mengeluarkan dokumen-dokumen pengapalan untuk ekspor.
”Mendagri juga bisa memberi sanksi kepada gubernur-gubernur yang dianggap lelet (lambat) mengatasi masalah tambang. Misalnya (mengurangi) jatah Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum. Perlu juga ada data bersama yang link-nya bisa diakses pihak terkait. Kantor Staf Presiden dan Ombudsman, juga bisa ambil peran,” ujar Dian.
Dari 1.404 IUP minerba di Kaltim, yang semuanya batubara, terdapat 826 IUP atau 58,83 persen IUP di antaranya yang berpotensi dicabut karena tidak mengantongi sertifikat Clear and Clean (non CnC). Artinya, IUP-IUP itu bermasalah dari aspek administrasi, lahan, lingkungan, dan keuangan. Luasan IUP itu bahkan mencapai 2,49 juta hektar.
Ketidaktaatan membayar jaminan reklamasi dan penerimaan negara bukan pajak (PNPB), termasuk di dalamnya. Untuk tunggakan PNPB di Kaltim mencapai Rp 1,1 triliun yang tercatat sejak 2003. Ditarik ke ranah kehutanan, setidaknya ada 24 IUP di Kaltim beroperasi di kawasan hutan konservasi yang luasnya sekitar 92.600 hektar.
Tidak mudah
Kepala Distamben Kaltim Amrullah menyebut tidak mudah mencabut IUP bermasalah karena semua IUP harus diteliti. ”Ada 1.404 IUP. Berkasnya setumpuk, seperti gunung. Satu dokumen saja, waduh. Satu IUP yang akan dicabut, kami buat satu surat keputusan (SK). Berapa IUP yang nanti kami cabut, belum bisa dipastikan,” kata Amrullah.
Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak tidak hadir pada acara KPK. Sebelumnya, Awang memastikan komitmennya mencabut IUP-IUP bermasalah setelah dilaporkan 10 LSM yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia SDA, ke Ombudsman Perwakilan Kaltim, Senin (8/5).
Juru bicara koalisi tersebut, Carolus Tuah, berharap setelah pertemuan dengan KPK akan ada gerakan kuat dari banyak pihak yang menghantam Pemprov Kaltim agar cepat mencabut IUP bermasalah. ”Sejak tahun 2014, KPK melakukan koordinasi dan supervisi untuk mendorong Kaltim memperbaiki tata kelola tambang. Belum ada hasil,” ujar Tuah.