Basis Data Penyu di Sumatera Barat Terus Diperkuat
Oleh
Ismail Zakaria
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Penguatan basis data populasi penyu di Sumatera Barat terus dilakukan. Hal itu tidak hanya dengan melibatkan pengelola kawasan ekowisata berbasis pulau-pulau kecil, tetapi juga masyarakat yang melakukan konservasi penyu secara mandiri.
Peneliti Pulau-pulau Kecil sekaligus Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Indonesia Universitas Bung Hatta Harfiandri Damanhuri, di Padang, Selasa (23/5), mengatakan, selama ini, data populasi penyu termasuk di Sumatera Barat sangat terbatas. Jika pun ada, tidak lengkap karena pendataan tidak secara terus-menerus.
”Dengan adanya data, kita bisa mengetahui apakah populasi penyu di suatu wilayah naik atau turun. Dari sana, kita bisa mengidentifikasi banyak hal terutama kondisi lingkungan. Hal itu karena penyu adalah salah indikator lingkungan,” kata Harfiandi.
Oleh karena itu, menurut Harfiandri, upaya penguatan basis data penyu di Sumatera Barat terus dilakukan. Apalagi penguatan basis data tersebut merupakan bagian dari Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu tahun 2016-2020.
RAN Konsevasi Penyu 2016-2020 disusun pada akhir 2015 oleh Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan. Setelah melalui sejumlah tahap penyempurnaan, pada 2016, RAN tersebut dicetak dalam bentuk buku kemudian dibagikan ke Dinas Kelautan dan Perikanan di seluruh Indonesia.
Dalam RAN tersebut, ada 12 provinsi yang mewakili populasi penyu dari wilayah Barat hingga Timur Indonesia sekaligus kawasan konservasi prioritas, yakni Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua Barat.
Menurut Harfiandri, khusus di Sumatera Barat, ada tiga kawasan prioritas pendataan populasi penyu, yakni Taman Wisata Perairan (TWP) Pieh, Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Mentawai dan KKPD Pesisir Selatan.
Tiga wilayah itu dipilih karena di sana terdapat pulau-pulau kecil yang memiliki sumber makanan bagi penyu sehingga menjadi tempat pendaratan sekaligus bertelur satwa tersebut. Di Kepulauan Mentawai, misalnya, ada lima pulau kecil yang dicatat sebagai lokasi pendaratan penyu, yakni Pulau Nyangnyang, Pulau Mainu, Pulau Karamajat, Pulau Pitoijat Sigoiso, dan Pulau Awera.
”Agar pendataan bisa berjalan sesuai harapan, kami melibatkan pengelola pulau-pulau kecil tersebut. Kami sudah menyosialisasikan hal itu sekaligus memberi pelatihan. Saat ini, mereka mendapat tabel isian untuk mendata jenis penyu, ukuran, jumlah telur, dan lainnya yang datang ke tempat mereka,” kata Harfiandri.
Harfiandri menambahkan, selain pengelola ekowisata berbasis pulau-pulau kecil, pendataan juga melibatkan konservasi berbasis masyarakat yang tersebar di sejumlah tempat seperti Ampiang Parak dan Sungai Pinang Kabupaten Pesisir Selatan, dan Pasir Jambak Kota Padang. ”Sama seperti halnya di kawasan ekowisata, di konservasi berbasis masyarakat ini kami juga memberi pendampingan dan bentuk pencatatan yang sama. Pelaporan dilakukan setiap bulan,” kata Harfiandri.
Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang Suwardi mengatakan, selama ini mereka memang hanya tahu tentang potensi penyu. ”Potensi itu juga belum bisa dipastikan. Oleh karena itu, jika ke depan ada basis data yang kuat, kita bisa mengusulkan Sumatera Barat sebagai Pusat Konservasi Penyu,” kata Suwardi.