Pelukis Kampung Jelekong, Bandung, Menyongsong Masa Depan
Suara palu beradu paku memecah keheningan Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), Kota Bandung, Kamis (4/5/2017) siang. Dua pelukis muda Kampung Jelekong, masih sulit melepaskan kebiasaan lama meski menjadi tamu penting dalam program transit#4, program reguler residensi untuk seniman Indonesia. Dalam kesempatan keempat ini, SSAS bekerja sama dengan Mitra Seni Indonesia mengundang pelukis dari Jelekong.
Berjarak 15 kilometer dari pusat kota Bandung, Jelekong dikenal sebagai kampung lukisan. Dirintis Odin Rosidin sekitar 40 tahun lalu, kini sekitar 600 warga Jelekong hidup dari melukis. Ciri lukisannya mooi indie, mengabadikan keindahan alam dan obyek realis lainnya.
Akan tetapi, melukis tak sekadar menjadi pelepasan kreativitas dan rasa. Di Jelekong, lukisan dijual untuk memenuhi kebutuhan perut.
Dalam sehari, dapat dihasilkan puluhan lukisan dari Jelekong yang dibuat berdasarkan selera tengkulak. Banyak lukisan dijual dengan harga di bawah Rp 100.000 per lembar. Hal itu memicu stigma. Mereka kerap tak diakui sebagai pelukis, hanya sekadar perajin lukisan.
”Bakat seni dari Jelekong terbentur pendampingan, dana, dan tengkulak. Lewat transit#4, mereka diajak mengeluarkan potensi terpendam,” kata Ketua Umum Mitra Seni Indonesia Ken Subagiyo.
”Selain melukis, warga Jelekong harus bisa membuat bingkai, kanvas, dan sering kali catnya sendiri,” kata Arya Sudrajat (34), salah satu pelukis itu.
Inspirasi
Ada empat pelukis kontemporer yang diundang ikut pelatihan. Bersama Arya, ada Inovic Dhu (30), Abdul Munir (35), dan Hedi Soetardja (40). Meski masih bekerja membuat lukisan pesanan, keempat pelukis itu menyisihkan waktu melakukan eksperimen kekaryaan.
Dari 14 Maret-14 Mei 2017, mereka didampingi seniman RE Hartanto, kurator Danoeh Tyas, pengajar seni rupa Willy Himawan hingga Seniman Sunaryo untuk menemukan inspirasi.
Kesempatan ini, kata Arya, menjadi hal yang terindah dalam hidupnya sebagai pelukis dari Jelekong. Ia diajak bangga sebagai orang Jelekong daripada menyembunyikan identitasnya.
”Jujur, beberapa pemilik galeri pernah menyarankan saya tidak mengaku dari Jelekong. Mungkin malu karena ada stigma sebagai perajin lukisan,” kata Arya.
Bukan hanya Arya yang semringah. Sunaryo ikut gembira. Ia mengatakan, empat orang itu punya bakat jadi seniman besar.
Sunaryo tidak asal puji. Lukisan Arya berjudul ”Bruto” jadi bukti. Lekuk dan warna-warni tumpukan kaleng bekas cat sablon dan percetakan jadi obyek utamanya. Komposisi warna gelap dan terang memikat mata. Kisah di balik lukisan juga menguatkan pesan yang disampaikan. Arya mengatakan kaleng-kaleng itu menggambarkan masa lalu Jelekong.
Minim pengetahuan, warga Jelekong terbiasa melukis menggunakan cat sablon dalam kaleng. Kini, kaleng itu sudah ditinggalkan. Seiring ilmu yang bertambah, warga Jelekong tak lagi menggunakan cat sablon dalam kaleng.
”Masa lalu Jelekong menjadi masa depan saya. Ini akan jadi gaya saya melukis. Idenya muncul selama di sini,” kata Arya, yang sebelumnya menekuni lukisan realis, seperti warga Jelekong lainnya.
Inovic Dhu juga menemukan rasa serupa. Kebingungan dalam menuangkan kata bijak ayahnya, tak lagi ia rasakan. Dari sekadar melukis pemandangan dan buah-buahan, ia menggunakan lukisan sebagai media perenungan spiritual bersama siluet gemuk ayahnya dalam kanvas.
Simak pesan ayahnya, yang ditorehkan dalam salah satu lukisannya. ”Jangan mengeluh. Harus bersungguh-sungguh. Boleh gunakan waktu semalam suntuk tapi jangan tinggalkan subuh,” pesan ayahnya.
Kontrol emosi
Perubahan juga dirasakan Hedi Soetardja. Setelah 14 tahun mencari gaya dalam melukis, ia menemukannya di transit#4. Pergulatan hidup dan seninya menjadi inspirasi dalam menciptakan karya baru. ”Saya sebut gayanya abstrak ekspresionis. Entah benar atau tidak, terlihat pas saja,” katanya.
Hedi tidak pernah belajar di sekolah seni formal. Minat melukisnya muncul saat pindah rumah ke Jelekong, sekitar 20 tahun lalu. Kesempatan hidup sejahtera di perusahaan properti milik keluarga, ditinggalkannya untuk melukis.
”Awalnya, keluarga menolak. Namun, saat melihat gairah saya melukis, dukungan mengalir deras. Utamanya, saat saya diundang ikut program ini,” kata Hedi.
Dukungan itu membuatnya lepas berekspresi. Lukisan tanpa nama berlatar merah dan semburat hitam jadi buah manis. Sepintas terlihat mudah, tetapi butuh ketenangan hati yang besar untuk membuatnya.
RE Hartanto mengatakan, para pelukis muda dari Jelekong itu kini semakin luwes menuangkan gagasan. Ide tetap mengalir deras, tetapi telah mampu dikendalikan untuk menciptakan beragam karya baru.
”Sebelumnya, mereka seperti tak percaya diri. Banyak obyek dan warna dijadikan satu dalam satu kanvas. Hal itu, justru membuat pesan lukisan tak terlihat,” katanya.
Hartanto mengatakan, gaya itu mirip fenomena horror vacui atau ketakutan pada ruang kosong. Para pelukis Eropa pada abad pertengahan menganggap ruang kosong dalam lukisan rentan disinggahi mahluk halus.
Gaya itu, kata Hartanto, tidak selalu membuat lukisan tampak buruk. Lukisan ”Liberty Leading the People” karya Eugene Delacroix jadi bukti. Lukisan menggambar Revolusi Perancis itu, kata Hartanto, menempatkan sosok utama Lady Liberty dengan teknik pencahayaan dan pilihan warna yang tepat.
”Pelukis Jelekong belajar mengontrol emosi itu di sini,” katanya.
Abdul Munir tahu benar pentingnya menahan diri. Setelah berdiskusi dengan Sunaryo, ide menempatkan aparat hukum membawa senjata dan balon warna warni tak jadi hadir dalam lukisan berjudul ”Gara-Gara Tikotok”. Kedua komponen itu mengaburkan tokoh utama si ayam jantan yang diadili gara-gara membuang kotoran sembarangan.
"Setelah menahan diri, ternyata hasilnya jauh lebih bagus," kata Munir.
Masa depan
Menjelang sore, hujan kembali mengguyur Bandung. Saat itu, Sunaryo kembali menyirami pelukis Jelekong lainnya dengan inspirasi demi inspirasi.
Selain empat pelukis kontemporer, ada 20 pelukis klasik yang diundang dalam program transit#4. Berbeda dengan pelukis kontemporer, mereka biasanya disibukkan dengan membuat karya yang cepat laku dijual.
Iman Budiman (30) adalah salah satu pelukis di antaranya. Duduk lesehan di sebelah Sunaryo, ia memperlihatkan lukisan petani dan anaknya yang sedang menggembalakan kerbau.
Awalnya, ia menganggap lukisannya sempurna. Namun, Sunaryo berkata lain. Lukisannya, kata Sunaryo, masih butuh komposisi dan perbaikan teknik gelap terang serta warna yang tepat.
Masukan Sunaryo, telah membuka mata Iman. Lukisannya selama ini ternyata tak ideal. Selanjutnya, jika ada pengepul meminta dibuatkan lukisan seperti gayanya yang lama, Iman dengan mantap akan menolaknya.
”Mungkin gaya lama masih bisa menghasilkan belasan hingga puluhan lukisan per hari. Namun, jika masih saja mengesampingkan kualitas, masa depan Jelekong justru rentan terancam. Harus belajar lebih banyak agar warna-warni Jelekong terus ada,” kata Iman.