BANDA ACEH, KOMPAS — Masyarakat Transparansi Aceh meminta keterbukaan informasi dari pejabat pengelola informasi dan dokumentasi utama Provinsi Aceh, terutama terkait dokumen hak guna usaha perkebunan kelapa sawit di Aceh.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, Rabu (24/5), mengatakan, masyarakat mempunyai hak atas informasi sebagaimana diatur Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008. ”Sudah menjadi kewajiban bagi badan publik untuk membuka informasi seluas-luasnya kepada masyarakat,” ujarnya.
Dalam permohonan informasi publik yang dilayangkan pada 12 Januari 2017, MaTA meminta dokumen 5 hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit yang beroperasi di Aceh. Pada 22 Januari, MatA mendapat tanggapan, tetapi tidak menjawab permohonan informasi yang diminta. MaTA kemudian menyampaikan keberatan kepada Sekretaris Daerah Aceh selaku atasan PPID Aceh.
Hingga berakhirnya batas waktu yang telah ditentukan aturan perundang-undangan, menurut Alfian, permohonan informasi MaTA ini berujung dalam penyelesaian sengketa informasi publik di Komisi Informasi Aceh (KIA).
Dalam sidang perdana di KIA pada 20 April dengan agenda pemeriksaan awal, kedua pihak kemudian bersepakat untuk menyelesaikannya lewat proses mediasi. Namun, setelah dua kali mediasi yang turut menghadirkan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) pembantu, kesepakatan tidak tercapai. MaTA akhirnya menarik diri dari proses mediasi dan mengajukan penyelesaian sengketa ke ajudikasi.
Dalam sidang ajudikasi yang dipimpin ketua majelis Afrizal Tjoetra bersama dua anggota Tasmiati Emsa dan Nurlaily Idrus, Selasa, pihak termohon yang diwakili Timor Firdos dari Bagian Hukum Pemprov Aceh dan Rahmawati dari PPID utama Pemprov Aceh belum menuai hasil.
Alfian menyatakan keheranannya ketika PPID utama tidak bisa menjawab secara tegas pertanyaan dari majelis sidang mengenai status informasi yang diminta MaTA, terbuka atau tidak. ”Artinya informasi-informasi yang bisa dibuka atau tidak hingga UU Keterbukaan Publik sampai sekarang mulai sejak diberlakukan 2010 lalu kita belum punya mekanisme yang jelas,” paparnya.
Alfian juga menyatakan bingung dengan kebijakan Gubernur Aceh. Di satu sisi, kata Alfian, Gubernur melanjutkan moratorium logging, moratorium tambang, mengeluarkan peraturan tentang moratorium sawit, tetapi di sisi lain Pemprov Aceh menutup-nutupi informasi publik.