SURABAYA, KOMPAS — Indonesia memerlukan pengembangan kawasan industri maritim terpadu untuk meningkatkan daya saing industri maritim. Hal itu untuk memaksimalkan kontribusi dari sektor maritim yang hingga saat ini dinilai belum maksimal. Padahal, 75 persen wilayah Indonesia berupa lautan yang kaya akan sumber daya.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi kelompok terarah bertajuk ”Peta Jalan Kemaritiman” yang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan penyusunan Peta Jalan Industrialisasi Indonesia 2045 yang digelar Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Selasa (23/5) di Surabaya, Jawa Timur. Hadir dalam acara tersebut perwakilan dari KEIN, akademisi Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan Universitas Indonesia.
Ketua Kelompok Kerja Industri Peternakan, Perikanan, dan Maritim KEIN Muhammad Nadjikh mengatakan, jika industri kemaritiman berada dalam satu kawasan tidak terpencar, bisa meningkatkan minat investor menanamkan modal di industri maritim. Koordinasi yang dilakukan antarsektor maritim pun menjadi lebih mudah. ”Daya saing akan meningkat karena koordinasi dan biaya lebih murah,” ujarnya.
Selama ini, belum ada kawasan terpadu bagi industri maritim. Industri terkait berada di wilayah Jawa dan luar Jawa yang jaraknya sangat jauh. Akibatnya, potensi yang seharusnya bisa dimaksimalkan belum tergarap sempurna karena dukungan dan kerja sama antar-instansi tidak maksimal.
Dengan luas laut yang mencapai 75 persen dari wilayah, Indonesia seharusnya sektor maritim dapat memberikan kontribusi yang besar bagi negara. Namun, hingga saat ini kontribusi sektor maritim hanya sekitar 12 persen. Persentase ini lebih rendah dibandingkan negara tetangga, seperti Malaysia (22 persen) dan Amerika Serikat (30 persen).
Padahal, potensi dari sektor maritim sangat banyak, antara lain perikanan dan pengolahan ikan, transportasi laut, pariwisata bahari, galangan kapal dan pelabuhan, sumber daya alam dan minyak bumi, serta keanekaragaman hayati kelautan. ”Jika pengembangan potensi itu tidak terkoordinasi, hasil yang didapatkan tidak maksimal karena satu sama lain terkait,” kata Nadjikh.
Pengembangan tersebut harus disertai fungsi koordinasi yang kuat dari Badan Keamanan Laut (Bakamla). Bakamla harus mengoordinasi pengembangan kawasan militer karena dinilai memiliki sumber daya yang kuat.
”Sementara pengembangan kawasannya bisa berlokasi di wilayah seperti Madura atau Banyuwangi yang berada di tengah Indonesia dan wilayah sekitarnya sudah tumbuh industri maritim,” paparnya.
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS Daniel M Rosyid menilai, Indonesia sebaiknya menggunakan satu zona waktu untuk meningkatkan efisiensi di sektor industri. Dengan tiga zona waktu seperti saat ini, wilayah yang berada di zona waktu Indonesia Timur kehilangan empat jam untuk berkoordinasi dengan wilayah Indonesia bagian barat. Sebab, dua wilayah itu berbeda dua jam sehingga jam kerjanya berbeda.
”Transaksi di zona waktu Indonesia Timur harus menunggu di wilayah zona barat siap sehingga ada waktu terbuang. Nilai efisiensinya berkurang sehingga keunggulan kompetitif tidak maksimal,” katanya.