DENPASAR, KOMPAS — Memori budaya berkaitan dengan perilaku, artefak, dan nilai. Ini juga bisa dikaitkan dengan strategi penguatan muatan lokal. Penguatan ini berhubungan dengan menjawab tantangan ke luar ke bangsa lain.
Peristiwa belakangan yang mengkhawatirkan ke arah disintegrasi bangsa menjadi keprihatinan budayawan Bali. Mereka sepakat memori budaya dan sejarah perlu digali kembali bukan sebagai nostalgia belaka, melainkan menjadi kontrol bagi seluruh bangsa agar tetap bersatu, negara Indonesia.
Hal ini muncul pada Diskusi Kompas berupa Focus Group Discussion (FGD), Seri Budayawan Indonesia Bicara: Memori Budaya dan Integrasi Kebangsaan di Kantor Perwakilan Harian Kompas Bali, Denpasar, Selasa (6/6) sore. Diskusi ini bekerja sama dengan Bali Mangsi Foundation dan Teras Bebas Bicara.
Budayawan yang hadir dalam acara itu yakni Umbu Landu Paranggi, Dr Maria Matildis Banda MS, Dr Jean Couteau, Dr Wayan Kun Adnyana, Anak Agung Gde Rai, I Wayan Jengki Sunartha, Hartanto, I Wayan Westa, dan Nyoman Erawan. Adapun moderator oleh Warih Wisatsana.
Anak Agung Gde Rai dan I Wayan Westa menyoroti bagaimana pendidikan bangsa ini kurikulumnya makin miskin prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti Pancasila dan UUD 1945. ”Sayang, kurikulum pendidikan makin berkurang konten memori budaya dan sejarah Indonesia,” kata Anak Agung Gde Rai.
Kurikulum pendidikan makin berkurang konten memori budaya dan sejarah Indonesia.
Nyoman Erawan juga menegaskan bahwa warga Indonesia lahir dengan memori kebangsaan yang hebat. Ia pun sebagai orang Bali tetap bisa berbaur dengan yang lain bukan dari Bali. Hanya saja, ia prihatin politik yang mengotak-ngotakkan warganya sendiri, seperti melalui partai politik.
Karena itu, diskusi ini mengharapkan bangsa ini mampu menyadari memori budaya untuk kebersamaan bukan untuk perpecahan dan terpecah-pecah. Hartanto menambahkan, perlu mengunggah kesadaran bersama akan masa darurat kebinekaan yang bisa mengancam Indonesia.