Jejak Pecinan di Kota Santri
Jejak akulturasi terasa begitu lekat di sana, khususnya pada bulan Ramadhan. Menjelang waktu berbuka puasa, hampir semua warga berkumpul di sepanjang jalan di tepi Sungai Batanghari untuk menikmati hidangan berbuka.
Puncaknya adalah pada hari Idul Fitri. Selepas shalat Id, semua warga berkumpul di masjid dan surau terdekat dengan membawa beragam jenis makanan dari rumah masing-masing. Di sana mereka kembali bersilaturahim dan makan bersama.
Sekoja diyakini sebagai komunitas awal tumbuhnya ajaran Islam di Jambi sejak abad XIII. Uniknya, kawasan yang dihuni para pemilik tanah etnis Melayu itu juga merupakan persinggahan awal petani pendatang ataupun saudagar-saudagar asal China.
Ramli Aziz (80) masih ingat betul kisah kedatangan Shin Thay pada abad XVII menjadi tonggak pembauran yang harmonis antartiga etnis besar di kawasan itu. Shin Thay merupakan pedagang asal China pertama yang singgah di sana. Sebagai saudagar kaya, ia mengembangkan perdagangan lada dan bekerja sama dengan Kesultanan Melayu Jambi.
Ia juga dikenal sebagai pendakwah dermawan sehingga dianugerahi gelar datuk dan menikah dengan putri keluarga sultan. Ia kemudian membangun perkampungan yang kemudian disebut sebagai Kampung Pacinan (pa-cina-an).
Secara administratif, kawasan Pacinan meliputi lima kampung, yakni Olak Kemang, Ulu Gedong, Tengah, Jelmu, dan Arab Melayu. Meski masuk dalam kawasan Pacinan, Kampung Arab Melayu lebih banyak dihuni keturunan para pendakwah asal Yaman.
Kehadiran Shin Thay, kata Ramli, awalnya disambut dengan sinisme oleh sebagian warga. Namun, kondisi itu tak mengubah sikap Shin Thay. Setiap kali seusai berdakwah, ia berderma dengan membagikan kain sarung kepada warga yang dikunjungi. Ia juga tak pernah menolak hasil bumi orang Melayu.
Semua dihargai sama rata. Shin Thay membangun hubungan sosial keagamaan dan sosial ekonomi harmonis antara masyarakat Tionghoa, Melayu, dan Arab. Akhirnya pembauran damai tercipta di kawasan itu.
”Hingga kini, kami hidup damai, baik dengan penduduk etnis Melayu maupun keturunan Arab,” ujar Ramli yang merupakan keturunan Shin Thay ke-10.
Bangun rumah
Jejak akulturasi juga tampak pada bangunan. Rumah panggung orangtua Ramli di Kampung Ulu Gedong, misalnya, berornamen naga dan ukiran barongsai di bagian atap dan dinding. Ada pula sejumlah tulisan Arab di dinding rumah.
Si pemilik ingin membaurkan nuansa Arab, China, dan Melayu sekaligus. Jendela-jendelanya yang banyak pada hampir semua sisi memudahkan angin masuk. Pemilik rumah dapat mudah melihat ke luar sembari duduk di lantai dekat jendela.
Ada pula rumah almarhum Sayid Idrus bin Hasan yang sudah sangat tua di Kampung Olak Kemang. Dinding-dindingnya dipenuhi lumut, langit-langit rumahnya pun rusak. Rumah itu sudah belasan tahun tidak dihuni pemiliknya. Namun, inilah rumah batu pertama yang dibangun pada masa kolonial Belanda.
Sayid Idrus adalah penyiar agama Islam pertama yang masuk Jambi. Para penyiar agama berasal dari Arab, salah satunya Sayid Idrus yang kemudian membangun rumah besar di sana. Banyak orang bilang, rumah itu dulunya istana.
Pada masa penjajahan, rumah itu bisa dibilang yang termegah. Pemiliknya mengundang seniman China untuk membentuk sejumlah ornamen naga dan ukiran barongsai di dinding rumahnya. Si seniman juga membaurkan gaya China dengan Melayu.
Menyusuri kawasan Sekoja akan mudah didapati warga keturunan China dan Arab. Namun, sehari-harinya mereka telah berdialek Melayu. Menurut Sekretaris Badan Musyawarah Melayu Kota Seberang Jambi Edi Sunarto, budaya China diwarisi masyarakat setempat lewat tradisi bertani. Pada masa lalu, banyak petani China datang untuk mengolah tanah milik orang Melayu. Perempuan petani menggunakan tengkuluk yang diyakini sebagai warisan petani dataran China.
Sementara pengaruh Arab yang kuat menjadikan kawasan itu tumbuh sebagai kota santri. Selama masa itu, anak-anak keturunan Arab dididik agama secara kuat. Mereka berbaur dengan masyarakat Melayu dan pendatang asal China. Penyebaran agama dipermudah dengan perkawinan dan adopsi anak. ”Pasangan Melayu yang belum dikaruniai anak kerap mengadopsi anak-anak keturunan Tionghoa,” ucapnya.
Kampung Arab Melayu bisa dibilang sebagai pusat perbauran pendatang Arab dengan Melayu. Sementara Kampung Tengah merupakan komunitas Arab yang kawin dengan keturunan China. Komune ini terus berkembang hingga terbentuk kampung-kampung lain di sekitarnya sebagai hasil akulturasi damai.