TAREMPA, KOMPAS — Para petambak di Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, belum bisa mengekspor ikan napoleon (Cheilinus undulatus). Sebab, aturan soal prosedur pengangkutan ekspor belum jelas sampai sekarang.
Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun mengatakan, kuota untuk Anambas sudah dinaikkan dari maksimal 500 ekor menjadi 10.000 ekor per tahun. Masalahnya, pengiriman belum bisa dilakukan karena ketidakjelasan aturan soal sarana pengangkutan. ”Saya menerima pengaduan para petambak, kapal pengangkut tidak bisa masuk ke sini,” ujarnya, Senin (12/6) di Anambas.
Napoleon harus diekspor dalam kondisi hidup untuk menjaga kualitasnya. Karena itu, pengiriman disertai bak-bak berisi air. ”Sekarang, petambak kirim napoleon harus pakai pesawat,” ujarnya.
Aturan itu mustahil diterapkan di Anambas yang tidak dilayani pesawat berbadan besar. Pesawat-pesawat tujuan Anambas rata-rata untuk mengangkut paling banyak 20 orang. Penerbangan rutin hanya tiga per pekan dari Tanjung Pinang, ibu kota Kepri, ke dua bandara di Anambas, Palmatak, dan Jemaja. ”Jangankan bawa barang berton-ton, angkut orang saja dibatasi,” kata Dado, salah seorang petambak napoleon di Anambas.
Selama ini, ekspor dari Kepulauan Riau dilayani dengan kapal-kapal angkut. Dari Singapura atau Hongkong, kapal-kapal itu menuju Anambas dan Natuna, tempat ratusan ribu ekor napoleon dipeliraha di keramba jaring apung. Setiap beberapa pekan, kapal-kapal itu membawa napoleon menuju Hongkong atau Singapura.
Sejak 2015, kapal-kapal itu tidak bisa masuk karena keran ekspor napoleon ditutup. Setelah diprotes, pemerintah mengizinkan ekspor dengan kuota 2.000 ekor untuk seluruh Kepulauan Riau. Kuota itu tetap menimbulkan protes sampai akhirnya pemerintah menaikkan kuota. Namun, ekspor tetap belum bisa dilakukan karena aturan pengangkutan ekspor.
Berlebih
Nurdin mengatakan, Anambas punya 146.000 ikan napoleon. Dengan kuota sekarang, perlu hampir 15 tahun untuk menghabiskan seluruh napoleon itu.
Harga per ekor napoleon rata-rata Rp 1 juta. Napoleon hanya diterima pasar jika berukuran dari 0,8 kilogram hingga 1 kilogram. Jika kurang atau lebih dari berat itu, pasar tidak bisa menerima. Akibatnya, ikan yang dipelihara dalam waktu lama itu tidak laku lagi. ”Modal pelihara napoleon tidak sedikit. Sebelum bisa diekspor, paling singkat dipelihara tiga tahun,” ujarnya.
Selain napoleon, warga juga menjual kerapu dengan harga berkisar dari Rp 70.000 hingga Rp 200.000 per kg. Sekali pengiriman yang rata-rata 15 ton, paling banyak didapat Rp 3 miliar. Sebelumnya, warga bisa mendapat hingga Rp 3 miliar dari penjualan napoleon saja. Mereka juga masih mendapat miliaran rupiah lagi dari penjualan kerapu. Hasil penjualan itu dibagi ke ribuan nelayan yang menjual ikan melalui kapal pengangkut ke Hongkong.
Andi Sahar, nelayan Anambas lainnya, membenarkan bahwa sampai sekarang belum bisa dilakukan pemijahan buatan untuk mendapat bibit. Telur-telur menetas di luar keramba lalu ikannya dibiarkan tumbuh hingga lima sentimeter sebelum ditangkap. ”Penangkapnya dari anak-anak sampai orang tua. Pakai kelambu bekas atau baju. Sudah dua musim ini tidak ada yang menangkap bibit,” ujarnya.
Hasil ekspor napoleon dan kerapu sudah menghidupi banyak orang di Anambas dan Natuna. Tahu-tahu, sekarang dilarang gara-gara katanya ini hewan langka. Di tempat lain boleh langka. Di sini bisa melimpah setiap musim.
Musim penetasan berlangsung antara Desember dan Januari. Telurnya sebagian besar berasal dari induk yang dipelihara di keramba. Menjelang bertelur, induk dipisahkan ke keramba khusus yang berdekatan dengan bakau. Setelah dikeluarkan, telur dihanyutkan arus ke bakau lalu menempel di akarnya.
”Hasil ekspor napoleon dan kerapu sudah menghidupi banyak orang di Anambas dan Natuna. Tahu-tahu, sekarang dilarang gara-gara katanya ini hewan langka. Di tempat lain boleh langka. Di sini bisa melimpah setiap musim,” ujarnya.