logo Kompas.id
NusantaraSejahtera dengan Kotoran Sapi
Iklan

Sejahtera dengan Kotoran Sapi

Oleh
Winarto Herusansono
· 5 menit baca

Taslimah (36), warga Dusun Cabean Kidul, Desa Sidorejo, Demak, Jawa Tengah, dengan bangga memamerkan nyala biru api di kompor gas dapurnya yang sederhana. Sejak memanfaatkan biogas hasil pengolahan kotoran sapi, belanja elpiji bisa dipangkas dan dialihkan untuk kebutuhan lain. Ia bahkan mampu menabung."Sudah tiga bulan saya memanfaatkan biogas untuk memasak dan untuk lampu di malam hari," ujar Taslimah, Sabtu (27/5) siang. Taslimah dan warga Desa Sidorejo memanfaatkan biogas sebagai sumber energi untuk memasak dan pembangkit listrik. Gas metana yang menjadi sumber energi tersebut diperoleh dari mengolah kotoran sapi dengan reaktor (digester) yang terletak di samping kandang sapi. Kendati diolah dari kotoran sapi, gas yang dihasilkan sama sekali tidak bau. Dengan upaya itu, Taslimah dan warga desa bisa berhemat. Sejak memasak dengan biogas, pengeluaran untuk pembelian elpiji tabung 3 kilogram bisa dikurangi. Uang yang dihemat Taslimah cukup besar. Setiap bulan berkisar Rp 50.000 hingga Rp 70.000. Satu rumah tangga rata-rata menghabiskan tiga tabung elpiji ukuran 3 kilogram untuk keperluan memasak dalam sebulan. Dana itu dialihkan untuk biaya pendidikan anak dan membeli makanan lebih bergizi bagi keluarga.Hal sama dinikmati Khaironi (41), warga Dusun Putatsari, Desa Sidorejo. Sekitar tiga bulan terakhir ia juga memanfaatkan energi dari biogas. Kelebihan yang dirasakan Khaironi dengan bahan bakar biogas adalah keleluasaan menggunakan bahan bakar. "Mau masak semakin terasa bebas, tidak lagi dibatasi ketersediaan gas seperti jika pakai elpiji melon (ukuran 3 kilogram)," katanya. Masalahnya, untuk membeli gas ke warung atau toko terdekat, jaraknya mencapai 15 kilometer. Penyebabnya, Sidorejo termasuk desa terpencil. Warung di desa tidak ada yang menyediakan tabung elpiji.PercontohanKetua Pengelola Biogas Desa Sidorejo Darsono menuturkan, setahun terakhir, desanya menjadi percontohan desa mandiri energi di Jawa Tengah. Hal ini tidak lepas dari keberhasilan upaya pengembangan sapi potong sejak 2012. Desa Sidorejo merupakan salah satu sentra peternakan sapi di Demak. Warga tergabung dalam Kelompok Ternak Subur Makmur dengan jumlah sapi pada 2016 mencapai 110 ekor. Kantor Lingkungan Hidup dan Pemkab Demak sejak pertengahan tahun 2016 membangun sembilan reaktor (digester) pengolahan biogas yang tersebar di enam dusun di desa tersebut. Sampai saat ini, sembilan reaktor biogas itu mampu melayani lebih dari 40 rumah warga.Dengan reaktor biogas, usaha peternakan berfungsi ganda. Selain mendapat hasil dari penggemukan sapi, peternak juga dapat menghemat uang untuk keperluan bahan bakar rumah tangga.Kini, kata Darsono, peminat biogas di desanya kian bertambah. Ke depan, menurut rencana, setiap tiga reaktor biogas akan melayani kebutuhan 10 unit rumah. "Kebutuhan kotoran setiap tiga reaktor idealnya dipasok 15-20 ekor sapi yang ditempatkan di kandang terpadu. Hal ini sedang kami upayakan," ujarnya. Masalahnya, tidak semua warga memiliki cukup sapi untuk menghasilkan kotoran dengan kapasitas yang mampu diolah reaktor. Salah satu peternak sapi yang termasuk pengguna biogas mandiri adalah Kaswi (42), warga Dusun Cabean Kidul. Dengan memiliki 18 sapi, kotoran yang dihasilkan dari kandang ternaknya lebih dari cukup untuk diolah menjadi biogas. Oleh Pemkab Demak, Kaswi dibuatkan satu reaktor dengan kapasitas 8 meter kubik di samping kandang sapinya. Nilai pembuatan reaktor disesuaikan kapasitas. Dengan kapasitas lebih dari 8 kubik, nilai pembuatannya bisa mencapai Rp 30 juta. Namun, harga bisa lebih murah jika kapasitas reaktor kian kecil. Reaktor tertanam di tanah, dilengkapi sumur pengolahan. Semua reaktor didesain untuk mempermudah pengisian ulang kotoran ternak secara berkala. Kotoran sapi ditampung hingga menjadi lumpur, kemudian dimasukkan ke dalam reaktor. Penyaluran biogas menggunakan dua keran. Satu keran menyalurkan biogas melalui pipa paralon ke rumah untuk keperluan energi bagi kompor gas dan lampu penerangan. Satu keran lain lagi berfungsi membuang sisa kotoran cair.Saluran biogas di rumah selalu dilengkapi manometer, alat untuk mengukur tekanan biogas. "Bila tekanan gas berkurang, saya menambah lumpur kotoran ke reaktor. Saya dan istri belajar dari warna api. Jika warna api biru, artinya biogasnya tepat, tidak banyak kandungan air," ujar Kaswi.Karena kandang Kaswi tepat di belakang rumah, jaringan pipa penyaluran biogas di rumah hanya sepanjang 10 meter. Namun, pada kasus lain, pipa penyaluran biogas dari reaktor hingga kompor di rumah bisa lebih dari 100 meter. Seperti terlihat di rumah Khaironi. Jaringan pipa sambungan panjangnya lebih dari 200 meter. Penyebabnya, kandang sapi komunal milik warga, termasuk dirinya, terletak di tengah sawah yang cukup jauh dari permukiman. Tambah pengetahuan Khaironi mengatakan, unit pengolahan biogas mendorong peternak belajar pengetahuan beternak. Misalnya, pembuatan kandang sapi yang mendukung penanganan kotoran. Pada kandang-kandang konvensional, sapi-sapi ditempatkan saling berhadapan. Padahal, semestinya ditempatkan berderet saling membelakangi. Hal ini supaya kotoran terbuang di satu jalur/wilayah. "Lantai dibuat miring sehingga kotoran mudah mengalir jika disemprot air dan langsung masuk ke penampungan reaktor," ujar Khaironi.Penggunaan biogas secara komunal ditangani cukup profesional. Dari 13 sapi milik enam pemilik, dihasilkan biogas yang mampu disalurkan ke 10 rumah. Setiap rumah memanfaatkan 1-2 kompor gas dan 2-3 lampu cadangan, terutama jika terjadi pemadaman listrik dari instalasi PLN. Pelanggan biogas dikenai iuran Rp 15.000 per bulan. Dana ini untuk upah penjaga sapi di kandang, biaya perawatan, dan ongkos cari pakan sapi.Khaironi mengemukakan, setiap peternak diharapkan memiliki komitmen melestarikan reaktor biogas. Salah satunya dengan tidak menjual sapi indukan, kecuali anakan yang sudah besar. Setiap satu sapi yang dijual, harus segera dicarikan sapi pengganti. Hal ini guna menjaga keberlangsungan pasokan kotoran sapi untuk biogas. Pemanfaatan kotoran mendorong peternak semakin semangat memelihara sapi. Sapi-sapi yang terpelihara baik harganya di pasaran terdongkrak. Sapi berumur 1-2 tahun laku dijual Rp 13 juta hingga Rp 18 juta per ekor. Sisa kotoran cair dari pengolahan biogas bisa diolah menjadi pupuk organik padat ataupun cair. Pupuk organik bisa dipakai sendiri atau dijual ke sentra tanaman hias dan kebun buah sebagai tambahan penghasilan. Kotoran sapi terbukti berhasil mengangkat penghidupan peternak.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000