logo Kompas.id
NusantaraBanjir Parah Landa Buru
Iklan

Banjir Parah Landa Buru

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Kabupaten Buru, Maluku, dilanda banjir terparah sepanjang sejarah daerah itu. Seorang warga meninggal serta 624 rumah, 5 kompleks perkantoran, 2 pasar, dan 450 hektar sawah di empat kecamatan terendam. Hilangnya resapan air akibat penambangan emas liar jadi penyebab banjir.Hingga Sabtu (17/6), hujan dengan intensitas sedang hingga lebat mengguyur daerah itu. Sejumlah sungai meluap, tanggul penahan air dan saluran irigasi jebol. Rata-rata ketinggian air sekitar 80 sentimeter dan cenderung naik sejak banjir menggenangi permukiman penduduk, Rabu lalu. Empat kecamatan itu adalah Namlea, Waeapo, Waelata, dan Lolongguba. Warga yang terdampak sekitar 2.000 orang."Ini banjir terparah sepanjang sejarah. Sampai seperti ini karena hutan-hutan, seperti di Gunung Botak, habis. Jadi, air hujan yang turun tidak meresap lagi," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Buru Hadi Zulkarnain saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Sabtu.Lokasi banjir umumnya berada di lereng kawasan tambang liar, seperti Kecamatan Waelata yang berada di kaki Gunung Botak. Ketinggian air di kawasan itu mencapai 1,5 meter. Air bercampur material tanah dan pohon yang tercerabut membanjiri permukiman warga. Material banjir itu kebanyakan berasal dari Gunung Botak yang gundul akibat penambangan liar.Kawasan dengan ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut yang semula utuh itu kini terbelah. Tanah dikeruk sehingga terbentuk tebing dan jurang. Habitat pohon kayu putih juga hilang. Gunung Botak ditambang sejak Oktober 2011 hingga November 2015, dilanjutkan Januari 2017 hingga ditutup kembali pada April lalu. Kini, masih ada petambang yang nekat masuk pada malam hari.Kondisi yang sama terjadi di kawasan tambang liar Gogorea dan Gunung Nona. Tambang Gogorea menyebabkan banjir di Kecamatan Namlea, sedangkan tambang di Gunung Nona menyebabkan banjir di Kecamatan Lolongguba. Adapun banjir di Kecamatan Waeapo disumbang dari tiga lokasi itu. Kecamatan Waeapo dilalui Sungai Waeapo yang anak sungainya terhubung pada tiga kecamatan lain sehingga sungai meluap. Banjir juga menggenangi persawahan sekitar 450 hektar. Empat kecamatan itu merupakan sentra pangan di Maluku, hasil rintisan para tahanan politik Orde Baru era 1969-1979. Pulau Buru menyumbang 30 persen produksi beras di Maluku. Belum diketahui kerugian warga akibat bencana hidrometeorologi itu. "Kerugian masih dihitung," ujar Hadi. Bencana hidrometeorologi adalah bencana akibat menurunnya daya dukung lingkungan yang di antaranya disebabkan ulah manusia.Hadi mengatakan, kondisi Buru ke depan semakin parah jika tidak ada penataan lingkungan. Tambang liar harus dihentikan. Bencana semacam itu terus menghantui dengan kerugian semakin besar. Dalam satu tahun, kerugian material akibat bencana di Indonesia sekitar Rp 30 triliun di luar korban jiwa. Sebanyak 80 persen adalah bencana hidrometeorologi (Kompas, 16/11/2016).Pulau AmbonPulau Ambon yang terdiri dari Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah juga dilanda banjir dan longsor di sejumlah titik. Sekretaris Desa Alang, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, jalan utama yang menghubungkan dua kecamatan, Leihitu Barat dan Leihitu, di Kabupaten Maluku Tengah dengan Kota Ambon terancam putus. Lokasinya di Desa Alang.Jalur itu merupakan akses utama. Warga di dua kecamatan itu yang beragama Islam menggunakan jalur tersebut ke Kota Ambon untuk membeli kebutuhan Lebaran. "Aliran air mengikis jalan. Jalan sudah longsor 2 meter dan tinggal 4 meter. Kalau hujan sampai besok dan tak ada penanganan, jalan bisa putus," ujarnya.Berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Stasiun Meteorologi Pattimura Ambon, pada laman resminya, hujan dengan intensitas sedang hingga lebat di Pulau Ambon dan Buru berlangsung hingga beberapa hari ke depan. Cuaca buruk itu terjadi sejak Mei dan diperkirakan hingga Juli. Pada Mei, curah hujan mencapai 700 milimeter (mm). Selama Juni ini, curah hujan melampaui 800 mm. Kondisi ini sudah tergolong ekstrem. Batas maksimalnya 500 mm. Warga diminta waspada karena kondisi tanah mulai labil dan rawan longsor. Tahun 2013, belasan warga meninggal akibat longsor. Kamis pekan lalu, seorang warga Kota Ambon meninggal tertimbun longsor. (FRN)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000