Penjual ”Saboak” Keliling di Kota Kupang Jarang Diminati
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·2 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penjual buah lontar, yang oleh warga disebut saboak, jarang dilirik konsumen di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Meski demikian, para penjual sangat tekun menjual buah lontar yang sudah dikuliti ini. Buah lontar di Kota Kupang khususnya dan NTT umumnya jarang dimanfaatkan. Buah itu terbuang begitu saja di hutan.
Alek Manafe (51), penjual saboak keliling, warga Kelurahan Lasiana, Kota Kupang, ditemui di Jalan El Tari, Kupang, Rabu (19/7), mengatakan, dirinya memikul isi buah lontar itu di bahu sejak pukul 07.00 Wita. Isi buah lontar itu seberat 6 kilogram.
”Tiap hari saya jual saboak keliling Kota Kupang dengan berjalan kaki. Saya melewati gedung-gedung pemerintah, pusat pertokoan, kompleks perbankan, dan sekolah-sekolah sambil memikul saboak ini. Tidak ada yang melirik kecuali beberapa anak sekolah. Harga satu ikat, sekitar 0,5 kg, Rp 5.000,” tutur Manafe.
Dalam satu hari, ia hanya mendapatkan uang rata-rata Rp 20.000 dari menjual saboak. Jika tidak laku, buah-buah tersebut ia bawa pulang dan titipkan di kulkas tetangga agar tetap segar. Jika hingga tiga hari tidak laku dijual, buah itu diberi untuk dijadikan makanan ternak.
Ia menyebutkan, saboak sangat disukai ternak karena manis dan isinya padat. Di Jawa, buah ini dijadikan kolang-kaling. Namun, di NTT buah ini jarang diminati masyarakat.
Penghasil saboak di NTT terdapat di Rote Ndao, Kota Kupang, dan Kabupaten Kupang, Sabu Raijua, Alor, Manggarai Barat, Flores Timur, Lembata, dan Sikka. Hanya masyarakat Rote, Sabu, dan Kota Kupang yang memanfaatkan lontar untuk berbagai keperluan, seperti gula air (gula merah), batangnya untuk bahan material rumah/kandang ternak, dan daun untuk atap rumah.